Oleh Yadri Irwansyah, alumnus HMI dan peneliti/penggiat studi sejarah dan budaya Universitas PGRI Silampari
Tidak banyak sumber yang membahas jika Lafran Pane (pendiri HMI) adalah seorang Muhammadiyah tulen. Di forum-forum resmi HMI, ketika membahas Sejarah Perjuangan HMI mengenai sosok Lafran Pane, sangat terbatas dan cendrung menghindari membicarakan Lafran Pane dan keterkaitannya dengan Muhammadiyah. Mungkin karena persoalan menyangkut independensi HMI yang harus tetap dijaga.
Bahkan, dalam tulisan-tulisannya, sejarawan HMI sekelas Agussalim Sitompul tidak tegas menyinggung soal pengaruh Muhammadiyah dalam pembentukan intelektual dan spiritual seorang Lafran Pane sehingga minim informasi yang kita dapat. Namun, pada prinsipnya, sejarah yang baik adalah yang disampaikan dan dinarasikan agar berdampak langsung untuk kepentingan kemanusian yang lebih besar.
Ada satu hal yang kembali harus kita pertanyakan, mengapa di 75 tahun lalu, tepatnya 5 Februari 1947, seorang Lafran Pane lebih memilih mendirikan organisasi mahasiswa Islam, bukan organisasi mahasiswa yang berhaluan nasionalis ataupun komunis, padahal pada saat itu ideologi-ideologi tersebut sedang mendapat tempat terbaik di zamannya?
Jawabannya, tentu bukan satu hal yang normatif dan tidak sederhana karena belum adanya representasi dari organisasi mahasiswa Islam itu sendiri, tetapi berangkat dari latar belakang pemikiran seorang Lafran Pane yang lebih dahulu dibentuk oleh organisasi dan pendidikan Islam bernama Muhammadiyah. Ya, Lafran Pane seorang yang berdarah Muhammadiyah tulen.
Jika mengutip Bourdiue, kita mengenal istilah habitus untuk membaca tindakan individu selaku aktor. Tindakan selalu dipengaruhi oleh struktur sosial yang diinternalisasikan melalui pendidikan ataupun interaksi sosial lainnya. Jadi, habitus adalah mekanisme pembentuk bagi praktik sosial yang beroperasi dalam dari individu sebagai aktor.
Lafran Pane lahir pada 5 Februari 1922 di Sipirok, Tananuli Selatan. Dia adalah putra Sutan Panguraban Pane, salah satu pendiri Muhammadiyah di Sipirok. Masa kecilnya dia habiskan belajar di pesantren Muhammadiyah Sipirok, kemudian melanjutkan sekolah ke HIS Muhammadiyah, Mulo Muhammadiyah, lalu menamatkan pendidikannya juga di AMS Muhammadiyah (sekarang setingkat SD, SMP, dan SMA Muhammadiyah).
Lafran Pane lahir dan besar dalam tradisi pendidikan Muhammadiyah yang kental. Dia juga hidup pada zaman di mana perang berlangsung. Menyaksikan bangsanya kehilangan kehormatan dan harga diri karena kolonialisme.
Dua hal ini sebenarnya adalah faktor penggerak yang mendasari tekad dari Lafran Pane untuk konsisten terhadap pikiran-pikirannya, yang kelak akan bermuara pada pendirian HMI.
Dalam pengembaraan intelektualnya dari Medan, Jakarta, hingga sampai ke Yogyakarta (menjadi mahasiswa STI tahun 1946), Lafran Pane memedomani dan mengamalkan nilai dan ajaran yang didapat selama menempuh pendidikan di Muhammadiyah.
Hal ini juga yang membuat dia mengagumi sosok dan pemikiran Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang kemudian mempertemukannya dengan salah satu cucu Kiai Dahlan (Maisaroh Hilal), yang kelak ikut bersama-sama mendirikan HMI pada Rabu Pon 1878/14 Rabiulawal 1336 H atau 5 Februari 1947 M di Yogyakarta. Tercatat setidaknya ada beberapa orang berdarah Muhammadiyah yang ikut mendirikan HMI (lihat Lafran Pane, Maisaroh Hilal, dan Bidron Hadi).
Mengenai komitmen keislaman dan keindonesian pada fase awal pendirian HMI, bahwa akar dari genealogi pemikiran tersebut sebenarnya dapat kita lacak dengan mudah dan akan sampai pada Muhammadiyah dan sosok Kiai Dahlan itu sendiri. Namun, dalam proses dan perjalanannya, HMI telah menetapkan blueprint tersendiri dalam rangka melaksanakan dan melanjutkan pengabdian untuk umat dan bangsa (baca Tafsir Independensi HMI).
HMI pasca-Lafran Pane dan hingga saat ini tetap konsisten berjuang untuk kepentingan umat dan bangsa. Jika dahulu ikut memanggul senjata demi mempertahankan kemerdekaan, hari ini menawarkan solusi sekaligus memproduksi kader-kader yang siap ditempatkan di semua lini pengabdian umat dan bangsa. Ini adalah wujud ketersambungan dari sebuah komitmen sejarah yang sama sekali tidak terputus antara generasi pendahulu dan generasi hari ini di HMI.
Lafran Pane seorang yang besar, tetapi memilih jalan hidup sederhana, menolak kemewahan, menjadi pengajar hingga akhir hayatnya, bahkan dia tak sempat memiliki rumah (baca Hariqo WS, Lafran Pane). Perjuangan dan teladan yang dilakukan Lafran Pane ini jika kita telaah, mirip yang dilakukan oleh Kiai Dahlan saat mendirikan dan membesarkan Muhammadiyah.
Di akhir hayatnya, keluarga bahkan memilih memakamkan Lafran Pane di pemakaman
yang sama dengan Kiai Ahmad Dahlan (Makam Islam Karang Kajen Yogyakarta), mendampingi Kiai Dahlan dan kiai-kiai Muhammadiyah lainnya. Mungkin bisa diartikan sebagai salah satu bentuk kecintaan keluarga besar Lafran Pane terhadap Muhammadiyah dan sosok Kiai Dahlan itu sendiri.