Oleh: Mohtar Umasugi, S.Ag., M.Pd.I (Kordinator Presidium MD KAHMI Kepulauan Sula).
Dalam sejarah perjalanan politik di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah melahirkan banyak kader yang kemudian menjadi tokoh nasional dan daerah. Organisasi ini tidak hanya menjadi ruang pembentukan intelektual dan aktivis, tetapi juga menjadi arena persemaian idealisme bagi generasi muda Muslim Indonesia. Namun, ketika idealisme itu dibenturkan dengan realitas politik praktis, muncul pertanyaan besar: sejauh mana alumni HMI mampu mempertahankan nilai-nilai idealisme yang diwariskan organisasi tersebut?
Menurut Dr. Yudi Latif, seorang cendekiawan yang mendalami studi kebangsaan dan Islam, HMI sebagai organisasi mahasiswa muslim telah memainkan peran strategis dalam mengintegrasikan nilai keislaman dan kebangsaan. “HMI mengajarkan anggotanya untuk menjadikan Islam sebagai nilai etik dalam berpolitik, bukan hanya simbolisme”, ujar Yudi Latif dalam salah satu diskusinya. Namun, ia juga menekankan bahwa godaan pragmatisme politik sering kali menjadi tantangan terbesar bagi alumni HMI saat terjun ke ranah praktis.
Hal senada disampaikan oleh Azyumardi Azra, seorang pakar sejarah Islam. Ia menyebut bahwa salah satu kontribusi terbesar HMI adalah memperkenalkan pendekatan Islam modern yang inklusif. Namun, ia mengkritisi sebagian alumni HMI yang terjebak dalam politik transaksional. “Idealisme yang dibangun sejak di kampus sering kali terkikis oleh kepentingan jangka pendek, terutama ketika kekuasaan menjadi tujuan utama,” jelas Azyumardi.
Dalam konteks ini, realitas politik memang tidak sepenuhnya dapat dihindari. Seperti yang diungkapkan oleh pakar politik Prof. Miriam Budiardjo, politik adalah seni kemungkinan. Dalam teori ini, kompromi adalah keniscayaan. Namun, bagi alumni HMI, kompromi seharusnya tidak mengorbankan nilai-nilai dasar yang mereka pegang.
Contoh nyata dapat dilihat dari beberapa alumni HMI yang berhasil menjaga integritasnya. Misalnya, Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, yang dikenal sebagai salah satu tokoh yang tetap mengedepankan politik gagasan. Namun, ada juga sejumlah alumni yang justru terjebak dalam skandal korupsi, menunjukkan bagaimana idealisme dapat runtuh jika tidak diimbangi dengan penguatan nilai-nilai etika dalam berpolitik.
Melalui sudut pandang sosiolog Emile Durkheim, organisasi seperti HMI dapat dianalogikan sebagai “moral community” yang memberikan kerangka etis bagi anggotanya. Namun, Durkheim juga menekankan pentingnya struktur sosial dalam membentuk perilaku individu. Artinya, alumni HMI yang masuk dalam sistem politik pragmatis harus menghadapi tantangan dari struktur sosial dan budaya politik yang koruptif.
Dalam pandangan kritis, idealisme alumni HMI dapat dilihat sebagai “double-edged sword.” Di satu sisi, ia menjadi modal sosial untuk membangun tata kelola politik yang lebih baik. Di sisi lain, idealisme tersebut dapat menjadi ilusi jika tidak diiringi dengan upaya nyata untuk merubah sistem dari dalam.
Untuk tidak dipandang Alumni HMI sebagai double-edged sword, maka Alumni HMI harus terus menjaga idealisme, memperkuat solidaritas, dan menghadirkan politik yang berbasis pada nilai etika dan keberpihakan pada rakyat. Sementara itu, HMI sendiri perlu memastikan konsistensi pembinaan dan dukungan kepada alumninya agar tetap berada di jalur perubahan yang konstruktif.
Wallahualam Bissawab.