Jakarta— Prof. Dr. Iswandi Syahputra, Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Yogyakarta, menanggapi isu seputar gelar Doktor yang diperoleh Bahlil Lahadalia dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI).
Menurut Prof. Iswandi, gelar tersebut sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku, berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menekankan prinsip pendidikan seumur hidup serta nondiskriminatif.
“Perguruan Tinggi tidak bisa menolak warga negara yang ingin menempuh pendidikan lanjutan. Setiap warga negara memiliki hak untuk melanjutkan studi di jenjang yang lebih tinggi,” ujar Prof. Iswandi.
Ia menjelaskan bahwa otonomi kampus PTNBH (Perguruan Tinggi Negara Berbadan Hukum) memungkinkan fleksibilitas dalam pengelolaan program studi, termasuk program lintas disiplin di jenjang pascasarjana.
Lebih lanjut, Prof. Iswandi menjelaskan bahwa program-program lintas disiplin, seperti yang diikuti Bahlil, bertujuan untuk memberikan solusi atas masalah kebangsaan.
“Ini sangat bagus karena mendekatkan perguruan tinggi dengan para pengambil kebijakan, seperti Bahlil yang juga menjabat sebagai Menteri ESDM,” tambahnya.
Menanggapi kritik yang menyebut gelar Doktor Bahlil sekadar formalitas, Prof. Iswandi melihat niat tulus Bahlil untuk benar-benar belajar.
“Jika dia hanya mengejar gengsi, dia bisa mendapatkan gelar Honoris Causa tanpa harus mengikuti kuliah. Namun, Bahlil memilih jalur reguler dan serius mengikuti pendidikan hingga ujian terbuka,” tegasnya.
Prof. Iswandi juga membantah tuduhan plagiarisme dalam disertasi Bahlil. Iswandi menyebut setiap disertasi pasti melewati pemeriksaan similarity dengan standar yang ketat.
“Jika ada yang meragukan, mereka mungkin tidak paham prosedur akademik,” ujarnya. Ia menekankan bahwa kritik yang tidak berdasarkan fakta justru lebih bersifat personal.
Prof. Iswandi juga mempertanyakan mengapa gelar Bahlil dipermasalahkan, padahal semua prosedur telah dilalui sesuai aturan. “Jika Bahlil diinvestigasi, apa yang sebenarnya ingin diinvestigasi?” tutupnya.
*Kembali ke Mekanisme Internal UI*
Hal senada juga disampaikan Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB, DR. Sofyan Syaf. Menurutnya, setiap perguruan tinggi memiliki metode dan mekanisme yang berbeda dalam program pascasarjana, terutama terkait jalur riset dan kuliah.
“Di program pascasarjana, ada banyak metode. Jalur kuliah dan riset di tiap perguruan tinggi berbeda. Ada yang satu atau dua semester, paling cepat tiga tahun, dan lama studi bergantung pada kemampuan mahasiswa,” jelas DR. Sofyan Ketika dihubungi Minggu (20/10).
Ia menambahkan bahwa jalur riset di program pascasarjana sering kali melibatkan jurnal riset yang diakui secara internasional dan memiliki mekanisme khusus.
Mengenai gelar Doktor yang diperoleh Bahlil Lahadalia dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI, DR. Sofyan menegaskan bahwa UI memiliki mekanisme tersendiri dalam mengelola program tersebut.
“Pak Bahlil itu mengikuti mekanisme di UI. Kita serahkan kepada UI untuk merespons. Memang ada kampus lain yang mempertanyakan, tapi kita harus arif dan bijaksana karena UI memiliki mekanismenya sendiri,” ujarnya.
DR. Sofyan juga menekankan pentingnya untuk tidak membandingkan proses pendidikan antarperguruan tinggi. “Menurut saya, jangan dibandingkan. Normal atau tidaknya, UI yang menentukan karena setiap perguruan tinggi punya mekanismenya masing-masing,” tegasnya.
Kedua pernyataan ini cukup penting di tengah perdebatan mengenai gelar akademik yang diperoleh tokoh publik dan perolehan gelarnya sering kali dipertanyakan oleh pihak luar kampus.