in

Penjahit perkawanan yang mahal ongkosnya

Ichsan Loulembah. Detikcom/Ari Saputra
Ichsan Loulembah. Detikcom/Ari Saputra

Oleh Fathorrahman Fadli, Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR)

Membicarakan Bang Ichan ibarat datang pada penjahit baju yang mahal sekali ongkosnya. Namun, ongkos di sini bukan berarti uang, tetapi lebih luas dari itu semua. Ichan itu orang yang bersedia melepas perbedaan, ketidaksetujuan, bahkan kebenciannya kepada seseorang atas nama pentingnya merawat pertemanan. Saya tahu hal ini setelah 10 tahun menemaninya menghidupkan diskusi-diskusi yang selalu energik di Institut Peradaban (IP) bersama para tokoh-tokoh senior di Jakarta dalam berbagai profesi, mulai politisi, jenderal tentara, pejabat negara, tokoh birokrasi, pengamat ekonomi, pengamat politik, akademisi, hingga tokoh-tokoh LSM.

Ichan memiliki jaringan pertemanan yang luas. Pertemanan ini sebagai konsekuensi logis dari pekerjaannya belaka. Ia memang membutuhkan jejaring perkawanan yang luas untuk kepentingannya menjadi narasumber atas berbagai acara diskusi yang ia gelar setiap minggu. Ia menjaga dan membangun terus jejaring perkawanan itu secara apik. Beberapa di antaranya kemudian menjadi teman dekatnya yang menempel plek dari hari ke hari.

Saya sendiri hanya bertemu setiap hari Rabu siang, sekitar pukul 12.00 hingga azan Magrib tiba atau bahkan di atas Isya jika diskusinya memanas. Di luar itu, hanya bertemu dalam acara-acara yang memungkinkan untuk dihadiri secara bersama.

Tidak mudah meniru Ichan

Rasa-rasanya tidak mudah meniru Ichan. Sebab, ia tercipta hanya dalam edisi yang terbatas. Sosoknya unik, punya pendapat sendiri atas sesuatu. Ia sosok yang tak bisa didikte. Sering juga bersilang pendapat dalam banyak topik diskusi di Institut Peradaban. Namun, semua tetap berjalan dengan apa adanya. Dalam diskusi dengan Salim Said, yang kami anggap sebagai guru, Ichan tak segan-segan memotong penjelasan sang guru itu. “Enggak begitu jugalah, Bang. Gini-gini, Aku jelasin dulu konteksnya,” pinta Ichan.

Namun, Pak Salim juga tak mau kalah. Ia kerap membenamkan kemauan Ichan itu dengan berkata, “Ichan, let’s me finish, please!”

Menyaksikan keduanya berdiskusi selalu asyik. Misalnya, Salim Said melihat politik dari sudut sejarah yang memang digelutinya, sedangkan Ichan menghidupkannya dalam dimensi realitas politik kekinian yang sedang berjalan dan bagaimana konteks peristiwa politik itu terjadi. Pergaulan Ichan yang luas sangat dimungkinkan ia mendapat informasi yang baru dan segar mengenai dinamika politik yang teejadi di Tanah air. Ichan sangat diandalkan kami dalam mendapatkan informasi-informasi mutakhir selama sepekan. Kemudian, kami bersama-sama membahasnya dari sudut-sudut lain guna memperkaya wawasan.

Baca Juga :  Public Ethics Management

Perkawanan yang mahal

Bagi Ichan, perkawanan itu mahal sekali harganya. Ia mampu mempertahankan perkawanan itu meski ongkosnya sangat mahal. Salah satu ongkos yang mahal itu adalah bagaimana dia membenamkan rasa benci dan ketidaksukaan atas seseorang. Ia hanya bisa luapkan hal itu pada orang-orang yag dianggap close untuk mengutarakannya. Berkali-kali bahkan bisa dianggap sering ia curhat soal seseorang yang tidak ia sukai kepada saya disela-sela senggang membersamai kami. Namun demi menjaga perkawanan itu ia menjaganya agar tidak dikonsumsi publik. Di sinilah pandainya Ichan dalam menjaga adab berteman. Meskipun untuk itu ia harus bersedia untuk terbakar sendiri. Disini pula mahalnya ongkos perkawanan versi Ichan yang unik itu.

Sosok yang moderat

Pertanyaan penting yang perlu dikemukakan adalah mengapa Ichan menjadi moderat? Menurut hemat saya, sikap moderat yang dipilihnya dengan sadar itu adalah konsekuensi logis dari kebutuhan dia akan pertemanan yang luas. Keinginan dia untuk terus berenang dalam pergaulan yang luas dan berbeda itu disadari atau tidak adalah konsekuensi logisnya adalah bersikap moderat. Sangat tidak masuk akal jika Ichan justru mengambil sikap radikal dan fundamentalis. Untuk semua itu, maka dia harus melonggarkan sejumlah nilai yang dianggapnya tidak selaras dengan keinginannya. Dia harus menjadi muara dari sejumlah perbedaan yang ada di antara aneka rupa pertemanan yang berbeda secara ideologis dan pilihan politis bahkan perbedaan agama dan mondialitas seseorang. Sebab, bagi Ichan, perbedaan itu adalah sesuatu yang taken for granted belaka.

Keberadaannya tidak perlu dipertentangkan dan dipertajam begitu rupa. Ichan seolah mengajak untuk sama-sama menjahit perbedaan itu menjadi rajutan tenun kebinekaan yang indah rupa dan enak dipandang. Namun, menurut saya, hal itu impian yang terlalu indah. Sebab, pada jamaknya kehidupan, pergesekan, perbenturan, bahkan konflik adalah bagian integral dari kehidupan itu sendiri. Konflik sangat dibutuhkan dalam usaha mendinamisasi keadaan agar tidak menuju titik jenuh. Justru salah satu maksud Tuhan menciptakan setan agar dunia bergerak secara dinamis. Di sinilah kita akan lihat dan menyaksikan manusia tamak dengan muka yang lucu. Dari pemandangan itu membuat kita bisa tertawa sehat.

Baca Juga :  Ramadan sebagai bulan transformasi (4)

Penyuka film dan kulineran

Mendengarkan Ichan dan Umar Husin bicara tentang film dan dunia intelijen sungguh sangat kaya. Mereka berdua sangat menyukai film. Informasi Ichan soal film biasanya sangat up date. Begitu pula Cak Umar Husin. Keduanya penyuka film dan dunia intelijen. Ia kerap merekomendasi sejumlah film baru yang layak kita tonton. Saya yang minim soal film hanya menyaksikan diskusi mereka dengan decak rasa kagum belaka.

Di samping menggandrungi film-film berkelas, Ichan juga menyukai aneka kuliner yang menurutnya enak rasanya. Jika lagi banyak duit, Ichan tak segan-segan mentraktir saya dan Zaki Mubarak untuk makan-makan. Suatu ketika, kami makan malam di restoran ala Timur Tengah di kawasan Santa, Kebayoran Baru. Begitu duduk, dengan muka tersenyum geli, dia bicara pada saya, “Ong, coba kau baca itu.” Kami kemudian memasangkan mata ke tulisan yang berbunyi, “Makanan ini paling enak nomor dua se-Timur Tengah.”

Kemudian, Ichan berucap, “Resto kau itu tulis saja seperti itu: masakan ini paling enak nomor dua se-Madura, yang nomor satunya suruh mereka cari, kan?” kelakarnya sambil tertawa lebar.

Gagasan-gagasan Ichan

Ichan terbilang man of ideas yang produktif. Sebagai pemikir, ia memiliki banyak sekali ide dan gagasan yang tumpah ruah. Saat duduk sebagai anggota DPD yang pertama, Ichan memiliki banyak ide, yang menurut saya, masih relevan untuk diwujudkan segera. Misalnya, Ichan melihat pentingnya menyebar sejumlah kantor kementerian yang selama ini terpusat di Jakarta ke berbagai daerah di Indonesia. Lakukan saja secara bertahap, misalnya dimulai dari penyebaran kantor BUMN yang relevan dengan karakter wilayahnya seperti kantor BUMN yang sudah ada. PT PAL di Surabaya, PT KAI di Bandung, PT Dirgantara Indonesia (eks PT Nurtanio) di Bandung, PT Bukit Asam di Sumatra, dan lain-lain.

Baca Juga :  "Dakwah Khusus" yang Membuat Kita Iri

Dalam hal kementerian, misalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Yogyakarta, Kementerian Kelautan di Sulawesi, Kementerian Lingkungan Hidup di Kalimantan, Kementerian Investasi dan Perencanaan Pembangunan di Jakarta, dan seterusnya. Harapan Ichan, agar orang daerah tidak tertarik ke Jakarta semua sebab daerah juga menarik perhatian mereka untuk hidup sejahtera.

Merintis koran politik

Suatu ketika, saya dipanggil Ichan untuk rapat bersama Bang Hamid Basyaib. Kami rapat bertiga untuk merintis sebuah koran politik yang diharapkan dapat menjadi salah satu referensi utama para pembaca, wabilkhusus para pengambil kebijakan negara. Kami berbagi tugas, Ichan menjadi Pemimpin Umum, Hamid Basyaib sebagai Pemimpin Redaksi,dan saya sebagai Redaktur Pelaksana. Sambil menunggu Ichan dapat investor, saya dan Bang Hamid Basyaib bekerja keras untuk membangun database mempermudah kerja-kerja jurnalistik selanjutnya. Bagi kami yang berlatar jurnalis, database itu sangatlah penting untuk mendukung akurasi dan kecepatan dalam menulis berita atau analisis. Kami sudah membicarakan secara detail aksi-aksi korporasi yang akan dilakukan. Kami bertekad untuk membangun kesadaran baru masyarakat Jakarta untuk bertoleh ke media yang akan kami bangun. Misalnya, koran politik akan memasang iklan-iklan jumbo di tempat-tempat strategis Jakarta, seperti Jalan Raya Sudirman, segitiga emas Kuningan, dan jalan-jalan tol di mana sejuta mata tertuju padanya.

Sayangnya, hingga beberapa bulan berlalu, rencana itu pun belum juga terwujud. Saya dan Bang Hamid Basyaib akhirnya menyerah pada keadaan. Andai saja koran itu terbit, tentu saja akan ikut menghiasi belantika politik nasional kita sebagai bangsa.

Dari pergaulan dengan Ichan dan teman-teman yamg mengitarinya, kita banyak belajar tentang arti pentingnya berteman. Namun, percayalah padaku bahwa berteman dengan cara Ichan sungguh mahal ongkosnya: memandam sakit hati dan ketidakcocokkan yang harus terpelihara. Saya pribadi tidak bisa menjadi Ichan. Lebih baik saya memilih berteman secara apa adanya belaka. Titik!

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.