in

Catatan LK2 Nasional HMI Cabang Yogyakarta: Bertemunya pemikiran berbasis normatif, teori klasik, dan ilmu sosial modern

Ilustrasi Latihan Kader (LK) HMI. Dokumentasi pribadi
Ilustrasi Latihan Kader (LK) HMI. Dokumentasi pribadi

Oleh MHR Shikka Songge, pemateri perkaderan HMI Bidang Filsafat dan NDP HMI

Alhamdulillah, saat ini saya sedang berada di Yogyakarta. Agenda selain bersilaturahmi dengan kawan dan sahabat, junior dari Lamakera yang sedang belajar dengan penuh semangat menggapi cita di Kota Pelajar Yogyakarta, juga mengisi materi di forum LK2, Intermediate Training Tingkat Nasional HMI Cabang Yogyakarta.

LK2 kali ini diikuti oleh 50 orang peserta, ditangani oleh kepanitaan dari Pengurus Korkom HMI UIN Yogyakarta, yang berlokasi di Balai Besar Pemerintahan Desa RI di Kalasan, Yogyakarta.

Forum kaderisasi tingkat nasional ini sangat dinamis karena diikuti oleh beragam peserta dari beragam kampus, beragam cabang, terutama peserta yang pernah nyantri di pondok pesantren. Tentu mereka memiliki basis normatif dengan teori klasik dan peserta berbasis pendidikan umum yang menguasai basis ilmu sosial modern.

Baca Juga :  K-Pay dan Kecerdasan Eksponensial

Dari sini terjadi perdebatan kompilatif kritis dengan berbagi sudut pandang keilmuan yang berbasis pada teori, logika, mantik, nahu, dan ushul fiqh.

Inilah lautan kekayaan ilmu yang tak berbatas dalam kandungan Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang harus terus-menerus digali untuk lebih menjawab realitas keumatan dan kebangsaan. Membedah NDP dengan pisau analisis yang tajam dimaksudkan untuk membongkar tirai kosmologi kejumudan yang saat ini membelenggu dunia pergerakan HMI. Tirai kosmologi kejumudan HMI dan umat Islam adalah lahan yang subur mendorong tumbuhnya tirani kekuasaan minoritas.

Studi NDP bagi kader HMI merupakan proses pelembagaan nilai-nilai fundamental untuk membentuk bangunan kerangka berpikir kader yang senantiasa berorientasi ke depan dan menjadi bagian dari agen perubahan masa depan. Oleh karena itu, kader HMI harus berwatak merdeka, yakni watak yang terbebaskan dari belenggu kemusyrikan. Membiarkan tumbuhnya sifat kemusyrikan sama halnya dengan mematikan keberanian sehingga tak mampu lagi mengusung daya kreatif, kritis, inovatif, dan bergerak progresif untuk merebut perubahan. Merawat sifat kemusyrikan berarti mematikan langkah keberanian dalam menegakan kebenaran atau melumpuhkan kebenaran.

Baca Juga :  Ketua MPR Dukung Pekan Olahraga KAHMI

Janji perubahan itu hanya bisa diraih oleh setiap kader HMI jika memiliki energi keberanian. Dan keberanian itu bisa tegak dalam kondisi apa pun ketika setiap kader HMI sanggup meneguhkan tauhidnya hanya kepada keesaan Allah semata.

Saya Berbahagia berada di sini, pulang kampung.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.