Jakarta, KAHMINasional.com – Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto, menyambut positif rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Sebab, diyakini meningkatkan kinerja dan membangun citra positif kepolisian.
Apalagi, regulasi tersebut sudah berusia 22 tahun dan tak sesuai perkembangan zaman. “Tantangan Polri semakin kompleks sehingga institusi Polri harus segera menyesuaikan jika tidak, [akan] tertinggal,” ucapnya.
Karenanya, menurut Rasminto, revisi tersebut jangan hanya menyangkut usia pensiun personel Polri. Pangkalnya, masalah ini bukan hal mendasar yang harus dikoreksi.
“Masih belum urgensi jika wacana revisi UU Polri terkait usia pensiun, yang kini 58 tahun menjadi 60 tahun. Apalagi, disamakan dengan jabatan fungsional ASN (aparatur sipil negara) lainnya hingga 65 tahun,” jelas fungsional Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI) itu.
Rasminto berpendapat, salah satu isu yang perlu menjadi atensi adalah komposisi anggota dengan daftar susunan personel (DSP), yang baru 50,7%. Jumlah anggota Polri saat ini sekitar 447.000.
“Ini menunjukkan rasio anggota dengan penduduk 1:1.000. Masih ada kekurangan sekitar 410.000 personel lagi atau 40,3% jika memenuhi DSP riilnya, jika ingin memenuhi rasio ideal 1:300,” bebernya.
Selain itu, revisi UU Polri juga harus diarahkan untuk membangun kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Dengan begitu, tidak perlu lagi muncul fenomena “no viral, no justice”.
Revisi UU Polri pun mesti menyentuh persoalan aspek kultural Polri. Misalnya, penguatan jati diri, doktrin, Tribrata, Catur Prasetya, dan kode etik.
“Penting dalam revisi UU Polri penekanan penyesuaian arah agenda reformasi dengan melakukan redefinisi jati diri Polri melalui demiliterisasi, bahwa Polri adalah sebagai polisi sipil dan bukan bagian militer, yang sifatnya militeristik dengan mengedepankan penanganan kasus-kasus hukum dengan senjata seperti yang dimiliki oleh militer,” bebernya.