Oleh Rasminto, akademisi Universitas Islam ’45 (Unisma) Bekasi, pengurus harian MN KAHMI, dan Direktur Eksekutif Human Studies Institute
Pada hari ini 116 tahun yang lalu, para pemuda dan tokoh bangsa berikrar untuk bangkit dari belenggu penjajahan, membuka jalan menuju kemerdekaan dan kemajuan. Semangat kebangkitan ini tidak hanya berbicara tentang kebebasan politik, tetapi juga tentang pencerdasan bangsa melalui pendidikan.
Gerakan kebangkitan nasional dimotori para pemuda saat itu, Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Sutomo, dan rekan-rekan, dengan mendirikan organisasi Budi Utomo. Organisasi ini menjadi simbol kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan untuk membebaskan diri dari kebodohan dan ketertinggalan. Mereka menyadari bahwa pendidikan adalah kunci membuka pintu kemajuan dan martabat bangsa.
Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan momen refleksi bagi kita semua. Ini adalah waktu untuk merenungkan betapa pentingnya pendidikan dalam membangun karakter, kecerdasan, dan keterampilan generasi penerus. Di tengah tantangan zaman modern, pendidikan menjadi landasan kokoh dalam menghadapi berbagai perubahan dan menggapai cita-cita besar.
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional, kita diingatkan akan pentingnya memajukan sistem pendidikan yang inklusif, adil, dan bermutu. Setiap anak bangsa, tanpa memandang latar belakangnya, berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang, sebagaimana amanat Pasal 31 ayat (1) UUD 1945: setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pasal tersebut menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia. Sejatinya pendidikan merupakan salah satu fondasi utama dalam pembangunan sebuah masyarakat yang maju.
Melalui pendidikan, kita tidak hanya membangun pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur, seperti toleransi, kerja keras, dan cinta tanah air. Pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-116, marilah kita menguatkan tekad untuk terus memperjuangkan pendidikan yang lebih baik. Dengan semangat yang diwariskan oleh para pendahulu kita, mari kita bersama-sama membangun bangsa yang cerdas dan berdaya saing, menjadikan pendidikan sebagai cahaya penerang di setiap langkah menuju masa depan yang gemilang.
Modal menuju Indonesia Emas 2045
Kita membayangkan sebuah bangsa yang telah mencapai puncak kemakmuran dan kesejahteraan dalam visi besar Indonesia Emas 2045, yang menggambarkan cita-cita luhur membawa negeri ini ke masa depan yang cerah: setiap warga negara menikmati kehidupan yang lebih baik dan penuh peluang. Modal utama untuk mencapai visi ini adalah pendidikan.
Pendidikan lebih dari sekadar transmisi pengetahuan sebab fondasi dari segala kemajuan. Melalui pendidikan, kita tidak hanya membekali generasi muda dengan keterampilan dan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan semangat kebangsaan. Pendidikan yang berkualitas menciptakan individu-individu yang kreatif, inovatif, dan siap menghadapi tantangan global.
Untuk menuju Indonesia Emas, kita memerlukan sistem pendidikan yang adaptif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Era digital dan revolusi industri 4.0 menuntut keterampilan baru, yang meliputi literasi digital, pemikiran kritis, dan kemampuan beradaptasi. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan harus terus diperbarui dan disesuaikan agar relevan dengan kebutuhan masa depan.
Selain itu, akses terhadap pendidikan yang merata dan inklusif adalah prasyarat utama. Setiap anak Indonesia, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau geografis, berhak mendapatkan kesempatan belajar yang sama. Program beasiswa, pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah terpencil, dan pelatihan guru adalah langkah konkret mewujudkan pendidikan yang adil dan merata.
Pendidikan juga berperan dalam membangun karakter bangsa. Melalui pendidikan karakter, kita menanamkan nilai-nilai, seperti integritas, kerja keras, gotong royong, dan cinta tanah air. Generasi muda yang berpendidikan baik tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga memiliki kepribadian yang tangguh dan bertanggung jawab.
Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting dalam memajukan pendidikan. Investasi dalam pendidikan tidak hanya berasal dari anggaran negara, tetapi juga partisipasi aktif berbagai pihak dalam bentuk kemitraan, program CSR, dan inisiatif komunitas. Dengan bersinergi, kita bisa menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan inovatif.
Hari ini, kita memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa visi Indonesia Emas 2045 bukan hanya angan-angan, tetapi sebuah kenyataan. Pendidikan adalah modal utama kita dalam perjalanan ini.
Tantangan kemajuan hangsa
Di tengah impian kita untuk melihat Indonesia maju dan sejahtera mencapai Indonesia Emas 2045, terselip kenyataan pahit yang menghambat langkah menuju masa depan gemilang: mahalnya biaya pendidikan hingga kian tak terjangkau banyak lapisan. Pendidikan, yang seharusnya hak dasar dan jalan menuju kemajuan, kini menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati sebagian kecil masyarakat.
Bayangkan ketika seorang anak di pelosok negeri yang memiliki mimpi besar untuk menjadi dokter, insinyur, atau guru. Sayangnya, mimpi itu sering kali terhenti di depan pintu sekolah yang menuntut biaya tinggi. Biaya pendaftaran, seragam, buku, dan sumbangan sekolah menjadi penghalang nyata bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Bagaimana mungkin kita bisa maju jika anak-anak bangsa terhalang oleh tembok tinggi mahalnya pendidikan?.
Ketidakadilan ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara yang kaya dan papa. Anak-anak dari keluarga kaya dapat menikmati fasilitas pendidikan terbaik, sedangkan anak-anak dari keluarga miskin harus puas dengan apa yang ada—sering kali dengan kualitas yang jauh dari memadai. Kesenjangan ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan sosial, tetapi juga menghambat potensi besar yang dimiliki generasi muda kita.
Fakta lainnya, kita dihadapkan mahalnya biaya uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (UKT). Fakta ini menjadi sebuah ironi yang kontras dalam konteks komersialisasi pendidikan. Hal ini tentunya bertentangan pada Pasal 4 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang menyatakan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Pernyataan Sekretaris Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie, yang menyebut pendidikan tinggi sebagai tertiery education atau edukasi tersier sangat menyayat hati masyarakat. Pernyataan tersebut dinilai tidak simpatik sekaligus menguatkan persepsi jika kuliah atau pendidikan tinggi bersifat elitis dan hanya untuk kalangan tertentu saja. Kita perlu meluruskan literasi bahwasanya yang dimaksud dengan tertiery education bukanlah sifat pendidikan tinggi yang merupakan kebutuhan tersier, tetapi tahapan dalam levelitas jenjang pendidikan tinggi yang banyak dianut dalam sistem pendidikan barat, di mana tahapan pendidikan diawali primary education, secondary education, dan tertiary education.
Namun, yang menjadi esensinya bahwa kondisi pendidikan mahal juga berdampak pada kualitas tenaga kerja masa depan. Ketika hanya segelintir orang yang mendapatkan pendidikan berkualitas, kita kehilangan banyak talenta yang sebenarnya bisa berkontribusi besar bagi kemajuan bangsa. Sumber daya manusia yang tidak optimal ini berdampak langsung pada berbagai sektor, mulai dari kesehatan, teknologi, hingga ekonomi nasional. Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu tindakan nyata dan komprehensif. Pemerintah harus lebih serius dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan, tidak hanya terfokus pada jenjang pendidakan tertentu, tetapi harus mengalokasikan secara proporsional berdasarkan asas berkeadilan.
Pemerintah juga diharapkan memastikan dana pendidikan dalam APBN 20% atau lebih dari Rp600 triliun, yang dapat digunakan secara efektif dan tepat sasaran. Selain itu, program beasiswa pendidikan yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebesar Rp139 triliun harus diperluas dan dipermudah aksesnya serta mencakup lebih banyak generasi muda dari berbagai latar belakang, bukan hanya kalangan elite tertentu saja.
Kita juga perlu merefleksikan kembali tujuan dari sistem pendidikan, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempersiapkan generasi muda yang siap menghadapi tantangan masa depan. Evaluasi peraturan pendidikan yang kontraversi untuk memastikan bahwa kita tidak terhambat oleh mahalnya biaya pendidikan. Dengan tekad dan kerja keras, kita bisa menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, adil, dan berkualitas sehingga setiap anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk meraih masa depan yang lebih baik. Hanya dengan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas, kita dapat mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.