Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York
Beberapa bulan terakhir ini sedang dilangsungkan primary election atau babak penyisihan calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (United State of America/USA), November mendatang. Sebagaimana kita ketahui, bahwa di Amerika hanya ada dua partai politik besar, Demokrat dan Republik.
Babak penyelisihan capres ini berlangsung untuk dan oleh kedua partai. Calon dari Demokrat adalah petahana, Presiden Biden. Yang sedang mencari kandidat secara serius adalah Partai Republik. Hingga kemarin, tinggal dua kandidat yang bertahan: mantan Presiden Donald Trump dan Nikki Haley, mantan Dubes Presiden Trump untuk PBB.
Dengan selesainya “Super Tuesday” (pemilihan serentak di semua negara bagian hari Selasa), Republik telah menentukan capresnya. Donald Trump, mantan rival Joe Biden pada pilpres lalu. Dengan demikian, Biden dan dia rival beratnya ini akan kembali bertarung memperebutkan kursi kepresiden negara super power USA.
Dengan kembali bertemunya Biden dan Trump pada pilpres mendatang, Amerika dipastikan lagi-lagi akan memilih dua kandidat tua dan uzur. Biden berumur 81 tahun, sedangkan Trump saat ini berumur 78 tahun. Sehingga, dapat dipastikan sekiranya bukan karena isu panas di Amerika, khususnya pertarungan kebijakan antara lebijakan-kebijakan yang bersifat konservatif versus liberal dalam bidang imigrasi, aborsi, dan lain-lain, tetapi anak-anak muda tidak lagi tertarik untuk ikut memilih capres/cawapres itu.
Beberapa isu domestik dan global akan mendominasi perdebatan capres kali ini. Isu domestik, antara lain, banjirnya imigran yang datang ke Amerika secara ilegal. Di beberapa negara bagian atau kota, saat ini bahkan menjadi keadaan darurat. Begitu banyak pendatang ilegal yang baru, khususnya dari negara-negara Latin. Sementara itu, kemampuan finansial dan infrastruktural juga terkendala. Belum lagi masalah-masalah sosial yang timbul karena pendatang baru itu. Kejahatan, misalnya, terjadi dilakukan pendatang baru di tempat-tempat penampungan.
Selain itu, berbagai isu sosial yang memang membedakan antara Republik yang bercirikan konservatisme dan Demokrat yang bercirikan liberalisme. Isu kesehatan reproduksi kaum hawa menjadi isu utama. Republik cenderung mengkriminalkan aborsi tanpa batas. Sementara itu, Demokrat cenderung melegalkan tanpa batas. Ini menjadi perdebatan politik yang bahkan berdampak pada pengangkatan para hakim agung (supreme judge).
Secara umum, permasalahan ekonomi menjadi isu utama. Selama pemerintahan Biden, masyarakat Amerika merasakan tekanan ekonomi yang cukup tinggi. Terjadi inflasi tinggi. Harga-harga meninggi dengan kemampuan belanja yang tidak mengalami penguatan. Kelompok masyarakat ekonomi menengah juga semakin mengecil. Kemiskinan dan homeless meningkat di berbagai kota.
Semua itu dan banyak lagi faktor lainnya, termasuk kejahatan yang kian merajalela seperti penembakan, menjadikan Biden berada di ujung tanduk. Dapat dipastikan jika Biden gagal mengambil hati kaum minoritas, termasuk komunitas muslim, dia akan gagal menduduki kursi kepresiden Amerika pada periode keduanya. Dengan demikian, Trump akan kembali menjadi presiden.
Perkiraan bahwa Donald Trump akan gagal bahkan dikriminalkan karena peristiwa “January 6th insurrection” ternyata tidak terlalu berdampak terhadap popularitasnya. Tampaknya karena dendam politik kaum putih yang meningkat. Mereka gelisah dengan menguatnya kaum berwarna, khususnya komunitas Hispanik, Asia, dan komunitas muslim. Popularitas Trump ini juga tidak bisa dilepaskan dari dendam politik kaum putih atas terpilihnya Barack Obama.
Kebijakan Luar Negeri
Menguatnya Donald Trump sebenarnya memiliki dua wajah yang paradoks. Di satu sisi, ada wajah seram yang mengkhawatirkan masa depan demokrasi dan hak-hak sipil (civil rights) di Amerika. Di sisi lain, Trump dipandang wajah tersenyum masyarakat Amerika yang mulai muak dengan peperangan dan ambisi global dominance Amerika.
Donald Trump di satu sisi dianggap ancaman bagi masa depan demokrasi karena peristiwa 6 Januari 2021. Ia juga dianggap ancaman terhadap hak-hak sipil karena tendensi dan karakternya yang rasis. Dua kelompok minoritas Amerika yang paling merasakan ini adalah komunitas Hispanik dan muslim.
Namun, di sisi lain, Trump dianggap harapan dan angin segar untuk menyetop peperangan yang Amerika menjadi biang keroknya. Dari Afghanistan, Timur Tengah, hingga ke beberapa negara Latin bahkan di Ukraina, kesemuanya tidak bisa dipisahkan dari lebijakan luar negeri Amerika yang berambisi mendominasi dunia global. Di sinilah Donald Trump dianggap membawa harapan baru karena dianggap tak terlalu memiliki ambisi dominasi global itu.
Memang ada perbedaan tajam antara Republik dan Demokrat dalam menyikapi beberapa kebijakan luar negeri, khususnya yang berkaitan dengan perang Rusia-Ukraina saat ini. Namun, ketika sudah bersentuhan dengan kebijakan Timur Tengah, khususnya isu Palestina-Israel, kedua partai ini hampir tidak memiliki perbedaan. Lebih spesifik lagi, Biden dan Trump memiliki kejiwaan dan karakter serta pemikiran yang sama tentang konflik Palestina-Israel.
Pembantaian bangsa Palestina dalam beberapa bulan terakhir disikapi dengan cara yang sama. Pemerintahan Biden telah berkali-kali memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB soal gencatan senjata. Artinya, Biden memang ingin pembantaian terus berlanjut entah hingga kapan. Namun, Trump sesungguhnya lebih sadis lagi. Kita masih ingat bahwa ia yang memberkan pengakuan atas Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Trump pula yang memutuskan memindahkan Kedutaan Amerika dari Tel Aviv ke Jerusalem. Dan kini, Trump secara terbuka mengatakan, “Israel has the right to finish the business in Gaza”. Artinya, Israel punya hak menghabisi orang-orang Palestina di Gaza.
Pada akhirnya, komunitas muslim di Amerika harus mengambil sikap. Ikut memilih atau diam. Dengan situasi seperti ini memang sangat dilema. Seolah maju kena, mundur kena. Karenanya, komunitas muslim sedang memikirkan matang-matang apa yang akan dilakukan pada pilpres mendatang.
Dan sebagaimana biasanya komunitas terpecah dalam menyikapi keadaan itu. Ada yang akan tetap memilih dan mendukung salah satu kandidat dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Mereka yang memilih Trump karena pertimbangan konservatisme sosial (anti-perkawinan sejenis, antiaborsi, dan lain-lain). Namun, mereka yang memilih Biden karena pertimbangan kebebasan sipil. Umat Islam merasa lebih luas dalam pergerakan dakwah untuk melakukan perubahan dan perbaikan di bawah pemerintahan Biden.
Sebagian lain melihat bahwa demi solidaritas kepada saudara-saudara bangsa Palestina dan demi pertanggungjawaban ukhrawi, mereka memutuskan untuk tidak memberikan dukungan dan pilihan. Pada tataran tertentu, ini cukup dikhawaturkan oleh Biden. Di Michigan, misalnya, lebih dari 20% suara memilih uncommitted alias tidak mendukung. Tanpa dukungan komunitas dan masyarakat minoritas lainnya, hampir dipastikan kekalahan Biden di pilpres mendatang.
Wajar saja dalam dua hari ini Biden dan Kamala menyerukan gencatan sejata—walaupun setengah hati—karena hanya untuk 6 minggu. Tampaknya, tujuan seruan itu selain untuk mendapat dukungan komunitas muslim dan Timur Tengah, tetapi juga agar masa 6 minggu itu dimaksimalkan untuk membebaskan orang-orang Israel yang masih ditahan Hamas.
Namun, sebodoh itukah komunitas Islam untuk ditipu lagi? Cukuplah Indonesia jadi pelajaran!