Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center
Ada satu hal yang menarik dari sepak terjang penguasa komunis China yang perlu dicermati. Bagaimana kelicikan penguasa komunis itu untuk melanggengkan kekuasaannya. Cara-cara licik ini juga tampaknya banyak ditiru di berbagai belahan dunia bahkan terkadang atas nama demokrasi.
Kita mengenal bahwa China adalah negara yang sangat maju dan kuat. Bahkan, hampir-hampir saja menyalip negara-negara besar dan maju lainnya, termasuk Amerika Serikat. Akan tetapi, harus pula diakui bahwa kemajuan perekonomian yang telah dicapai oleh China yang sedemikian dahsyat ternyata belum mampu memberikan kemakmuran yang luas dan merata bagi rakyatnya. Mayoritas rakyat, yang jumlahnya lebih 2 miliar itu, masih bodoh dan miskin.
Di atas realita pahit dan perih rakyat luas inilah pemimpin komunitas China berjoget ria. Mereka menikmati apa yang dikampanyekan mereka selama ini sebagai kemajuan, era emas, dan slogan lainnya. Lalu, para penguasa dan segelintir pemilik kekayaan negara itu melakukan kolaborasi di setiap lima tahun untuk meyakinkan rakyat seolah mereka berhasil dan memuaskan. Tidak jarang, walau penuh manipulasi, survei pujian kepada penguasa sangat tinggi di luar nalar sehat manusia.
Di setiap pesta lima tahunan itu, mereka menampilkan mirage (fatamorgana) pembangunan, kemajuan, dengan berbagai fasilitas negara yang selama ini mereka akumulasi dan nikmati. Saat-saat itu, mereka menampilkan diri sebagai heroes untuk rakyat miskin. Mereka hadir menampilkan diri sebagai “juru selamat” dadakan bagi kaum papa yang termarjinalkan.
Padahal, jika kita selami lebih dekat dan dalam, kita akan mendapatkan bahwa sesungguhnya selama lima tahun itu minimal yang terjadi adalah pemiskinan dan pembodohan yang terstruktur. Kemiskinan dan kobodohan rakyat luas sengaja dipelihara dan dipoles dengan polesan yang menghibur. Situasi yang menyakitkan nan perih inilah yang kemudian diberi “obat penenang” di saat diperlukan (musim kampanye/politik). Bantuan sosial, misalnya, digelontorkan bahkan dinaikkan secara masif di saat musim kampanye itu.
Pola-pola jahat nan licik inilah yang kita lihat di berbagai belahan dunia yang disebut dunia ketiga (third world). Pembangunan tampak masif. Infrastruktur dibangun di mana-mana. Duit memang banyak bahkan dengan utang yang membengkak. Namun, rakyat tetap ditinggalkan begitu saja. Justru kerap harus tergusur atas nama pembangunan dan kemajuan.
Untuk meredam suara-suara kritis masyarakat, tidak jarang mereka dihibur selain dengan janji-janji yang menggiurkan juga bantuan sosial yang digelontorkan tadi. Jika cara ini tidak efektif, maka yang terjadi adalah represi atau tekanan bahkan kekerasan atas nama pengamanan dan ketertiban.
Realita di atas ini mengingatkan kita akan cara-cara licik dalam memenangkan hawa nafsu kekuasaan di banyak negara. Betapa rakyat yang mayoritasnya tidak terdidik biasanya terpelihara dan seolah menjadi “tabungan” pemenangan bagi kerakusan kekuasaan di musim pemilu. Mereka yang lemah, bodoh, dan miskin menjadi mainan politik. Kampanye-kampanye pun bukan untuk mendidik masyarakat tentang siapa calon yang lebih baik, baik dalam karakter dan kepribadian punya ide dan gagasan, tetapi siapa yang bisa memberi hiburan sesaat: joget ria dan sembako murahan.
Kampanye yang mendidik, mencerahkan, dan mencerdaskan dianggap seolah tidak berlaku. Rakyat jelata pun semakin dikorbankan dengan ragam pembodohan. Yang cerdas, mencerahkan, dan berwawasan di balik secara sistemik menjadi seolah tidak memberi harapan. Kampanye-kampanye usang dipoles sesuai kadar pemikiran yang dipelihara selama ini. Figur-figur politik, usaha, dan dunia hiburan pun berkolaborasi untuk semakin meninabobokan rakyat dalam kebodohan dan kemiskinannya.
Sementara itu, pihak yang hadir untuk mengubah nasib tragis rakyat kecil, ingin menghadirkan perubahan yang mendasar di kehidupan masyarakat di balik seolah ancaman yang membahayakan. Suatu realita yang sesungguhnya tidak asing. Begitu pulalah nasib Musa ketika menghadapi Firaun atau ketika Ibrahim menghadapi Namrud: ketika kebenaran menghadapi kebatilan.
Semoga kebenaran akan menampakkan diri dan menang pada waktunya. Saya sangat yakin kemenangan itu akan selalu berada di pihak kebenaran. Kemenangan bagi kebenaran itu bukan lagi dengan kata if (jikalau), tetapi dengan kata when (kapan). Ini masalah waktu, Bung!
Pertanyaannya adalah, apakah Anda menjadi bagian dari sejarah memenangkan kebenaran atau justru Anda menjadi kolaborator kejahatan dan berbagai manipulasi dalam kehidupan manusia? “Ask your heart!”