Oleh MHR Shikka Songge, Wasekjen Bidang Kaderisasi MN KAHMI 2022-2027; Instruktur Nasional NDP; Wakil Ketua DNTN
Selamat datang di arena Kongres HMI di Pontianak, para intelektual muda muslim, kader umat, dan kader bangsa. Adinda semua memikul mission HMI untuk diantarkan ke setiap tempat tujuan di mana adinda berada.
Tugas mengantarkan mission organisasi itu merupakan tugas peradaban yang sungguh mulia. Di sini peran dan posisi adinda selaku kader, saya ibaratkan bagai anak panah peradaban yang melesat ke sasaran terjauh untuk bisa mengubah medan yang buruk, medan penindasan, ketidakadilan, antinilai-nilai kemanusiaan universal menjadi medan peradaban yang sarat dimensi kemanusiaan.
Lebih dari itu, seorang kader HMI laksana pemimpin penggerak perubahan masyarakat bangsa plural, yang saya istilahkan bagai lokomtif yang menarik gerbong panjang peradaban umat manusia yang plural menuju kampung peradaban darussalam.
Saya ucapkan selamat untuk semua juniorku, ketua umum HMI cabang se-Indonesia, ketua delegasi kongres, serta semua peserta kongres, yang saat ini berada di medan kongres. Bahwa kepengurusan adinda semua berada di periode kongres.
Adinda beruntung dari periode sebelumnya karena memiliki momentum menjadi pimpinan HMI dan mendapat mandat menjadi delegasi kongres mewakili anggota HMI di cabang masing-masing.
Pada event kongres, adinda mempunyai kesempatan yang terhormat untuk berartikulasi, merefleksikan pemikiran besar, pandangan masa depan, juga konsep peradaban berorganisasi maupun peradaban bernegara. Apalagi, adinda semua merupakan pemimpin terpilih pada salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar di negeri ini.
Event kongres merupakan forum yang tepat bagi adinda para peserta kongres untuk menguji sosok dan profilmu sebagai kader yang berkarakter dan berintegritas. Di sini, komitmen, loyalitas, dan militansimu memperjuangkan tegaknya muruah organisasi teruji.
Sebagai pimpinan HMI dan delegasi kongres, adinda perlu menyadari bahwa adinda semua sedang berproses menapaki jalan berliku dan medan terjal untuk mengukir sosok kader. Adinda semua menjadi pemimpin yang terdidik dan terpelajar, sosok kader yang memiliki kometmen yang kuat pada visi dam misi HMI, serta sosok kader yang mempunyai loyalitas yang utuh dan militansi tanpa pamrih mengawal organisasi mencapai tujuan.
Profil dan karakter yang demikian itu harus menjadi sosok yang hidup dan aktif menguasai gelanggang kongres, yang memainkan peran penting mengarahkan arah kongres. Dengan harapan kongres tidak jatuh di tangan penguasa dinasti, kongres tidak dikendalikan oleh para agen oligarki. Kongres harus selamat mendarat di dermaga lima kualitas insan cita.
***
Kongres kali ini merupakan momentum yang tepat untuk mengukur seberapa besar relevansi dan urgensi HMI sebagai organisasi kader di tengah luasnya dinamika berbangsa dan bernegara: sudah seberapa jauh atau seberapa besar PB HMI periode Rayhan melakukan pembenahan pada aspek kualitas dan kuantitas perkaderan dan kekaderan? Seberapa optimal PB HMI melakukan konsolidasi organisasi, meluruskan arah juang garis organisasi dari level PB HMI-pengurus Komisariat dan anggota dalam satu garis komando, yaitu tunduk dan patuh pada konstitusi dan independensi HMI?
Selain itu, secara internal pula bisa diukur intensitas PB HMI melakukan upaya pelembagaan nilai dasar sehingga nilai itu tertanam kuat menjadi jiwa kehidupan, lalu tumbuh menjadi attitude atau karakter dan pola aktivitas kader, pola berorganisasi HMI. Dengan begitu, semua kader HMI memiliki kesanggupan yang terorganisir mengusung agenda besar mission organisasi secara terstruktur, terinstitusi, dari level atas, Pengurus Besar, hingga pengurus Komisariat, level yang terbawah.
Tampaknya agak sulit mengukur profil kader ideal, sebagaimana diharapkan, karena kegagalan dalam konsolidasi pada level nilai dan struktur. Nilai pun tidak melembaga membentuk idealisme dan watak organisasi. Bahkan, konsolidasi struktur pun saya tidak mengatakan gagal, tetapi tidak terarah bahkan tercabik-cabik.
Bayangkan, satu cabang bisa berbulan-bulan bahkan tahunan tidak mendapatkan SK Pengesahan Kepengurusan. Bahkan, ada pengurus Badko sampai membubarkan diri tanpa arah karena begitu lama menunggu SK.
Bisa dibayangkan ada cabang sampai memiliki dua bahkan tiga kepengurusan dan itu berdampak ikutan sampai kepengurusan tingkat komisariat pun terpecah-pecah. Ada SK yang ditandatangani oleh ketua umum, sekjen, juga kabid PA.
Kesamrawutan dan wajah bopeng HMI ini menunjukkan lemahnya dan ketidakberdayaan kepemimpinan adinda Rayhan serta seluruh staf yang mendampingi. Realitas perwajahan struktur HMI yang bopeng ini semestinya menjadi fokus telaah peserta kongres.
Secara etik maupun konstitusional, kongres juga harus bisa mengukur pemaknaan dan konsistensi sikap independensi PB HMI dalam merespons berbagai dinamika eksternal pada konteks negara, umat, dan bangsa.
Secara eksternal, nyaris tidak terdengar suara HMI pada kasus kekerasan yang menimpa pimpinan-tokoh umat dan aktivis ormas keagamaan. Kasus KM 50 merupakan tragedi buruk yang menimpa wajah bangsa. Di sini, sejumlah aktivis Islam mati secara biadab. Mereka mati di tangan para serdadu yang menghujani dengan peluru negara. Beberapa ormas Islam pun dibubarkan tanpa proses pengadilan dan tanpa rasa keadilan. Padahal, ini negara hukum bukan negara kekuasaan. Hukum semestinya menjadi panglima dalam penegakan hukum yang berkeadilan tanpa diskriminasi oleh negara.
Kebijakan investasi modal asing yang berdampak invasi sehingga menimbulkan penggusuran warga, pengosongan lahan, penggeseran tempat huni warga. Semua itu menimbulkan keresahan dan kecemasan serta hilangnya rasa kenyamanan warga. Kasus serupa terjadi di banyak tempat, di mana pemerintah melakukan kekerasan dengan memobilisasi polisi dan TNI bahkan preman untuk mengintimidasi rakyat sehingga terjadi kekerasan. Pada ujungnya, tidak sedikit rakyat yang menjadi korban kekerasan oleh alat negara. Rakyat pemilik lahan pada akhirnya dituduh pengacau dan perusuh sehingga digiring ke markas polisi, lalu dijadikan tersangka.
Peristiwa kekerasan yang melibatkan oknum aparat, alat negara, seperti polisi dan TNI, ini terjadi di banyak tempat, antara lain, Morowali, Bengkayan, Seruyan, Konawe, Pohwatu, Wadas, Weda, dan paling terakhir di Rempang, Kepulauan Riau. Dan di Rempang ini, investasi berbau invasi dengan relokasi tanpa lokasi dipimpin langsung Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, yang juga alumni HMI. Padahal, penduduk suku Melayu telah berabad-abad menempati Pulau Rempang sebelum penjajah datang menjajah bahkan pra-kemerdekaan.
Aspek investasi, yang belakangan menjadi riuh terdengar dan nyaris masif, hadir ke berbagai daerah penghasil tambang batu bara, nikel, emas, pasir, pangan diawali dengan penyederhanaan regulasi melalui omnibus law (Undang-Undang Cipta Kerja).
Pengesahan omnibus law membuat negara bertransformasi menjadi agen imperialis karena menindas rakyatnya sendiri atas nema investasi. Sebetulnya dalam konteks globalisasi dan modernisasi, kerja sama antarnegara sesuatu yang mesti terjadi dan tidak bisa dihindari. Akan tetapi, negara perlu memilih dan memilah watak investasi itu. Investasi itu harus menghormati kedaulatan rakyat sebagai pemilik lahan.
Investasi memberikam atmosfir kesetaraan dan kesederajatan sosial ekonomi warga negara. Investasi merupakan proses instrumental bagi peningkatan martabat ekonomi, hukum, dan politik warga negara. Oleh sebab itu, negara perlu memilih mana yang layak secara rasional berinvestasi di Tanah Air sejalan dengan prisip kedaulatan negara dan hak kemerdekaan warga negara.
Investasi tidak boleh berwatak invasi yang menjajah dan menindas rakyat di negeri sendiri. Apabila negara gagal mencegah hadirnya investasi yang berdampak invasi, boleh jadi negara turut serta merusak kedaulatan rakyatnya sendiri karena negara melakukan pembiaran investasi berlanjut menjadi invasi.
Yang menjadi masalah serius yang tengah dihadapi adalah investasi yang diikuti tenaga buruh murah hingga diskriminatif upah antara buruh asing dan lokal. Buruh asing diperlakukan sebagai tenaga ahli sehingga dibayar lebih mahal daripada buruh lokal.
Investasi berwatak investasi menafikan hak warga sebagai pemilik lahan. Menko Polhukam, Mahfud MD, tentu harus bertanggung jawab dalam berbagai kesemrawutan yang diakibatkan omnibus law. Pak Mahfud tidak boleh cuci tangan dari lari dari berbagai persoalan kemanusiaan yang diakibatkan investasi.
Selain itu, ada masalah yang lebih serius di era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi): pemindahan ibu kota negara (IKN), dari Jakarta ke Nusantara (Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara), Kalimantan Timur (Kaltim), tanpa referendum untuk bertanya kepada rakyat, setuju atau tidak.
Pemindahan IKN itu hak rakyat. Olehnya, perlu bertanya kepada rakyat. Kapan Presiden Joko Widodo bertanya kepada rakyat, meminta pendapat rakyat tentang setuju atau tidak, perlu atau tidak pindah ibu kota negara? Begitu pula urgensi dan relevansi ibu kota baru, sangat perlu dikaji secara rasional sehingga kelak hari tidak menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan publik.
Begitu pula apakah sudah ada uji analisis dampak lingkungan (amdal)? Sudah adakah pernyataan rakyat pemilik hak ulayat membolehkan Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara menjadi lokasi IKN? Sehingga, tidak terkesan pemindahan IKN semata-mata merupakan ambisi yang sarat dengan manipulasi tanpa rasionalitas dan konstitusional.
Tindakan pemindahan IKN itu terkesan ambisi ego seorang Presiden Joko Widodo semata yang sangat dipaksakan. Apabila hal demikian ini tidak melalui kajian yang mendalam, akan sangat buruk, bahaya di waktu-waktu akan datang.
Pemindahan IKN dari Jakarta ke Kaltim juga menghilangkan nilai-nilai sejarah peradaban yang telah dicapai generasi pejuang pendiri bangsa sebelumnya. Nama kota Jakarta, Jayakarta, Batavia yang amat bersejarah, menyimpan peristiwa besar, tentu akan hilang dengan sendirinya, tidak akan lagi disebut generasi pasca-IKN. Sebutan Jakarta sebagai tempat bersejarah bagi bangsa Indonesia, misalnya tempat pembacaan teks sumpah pemuda, perumusan teks proklamasi, tempat perdebatan Piagam Jakarta atau Pancasila. Semua itu seiring proses waktu akan pudar dengan sendirinya. Berarti menghilangkan nama besar tokoh-tokoh yang memengaruhi peristiwa sejarah tersebut dengan sendirinya. Tentu bisa kita duga masih banyak hal lain yang masih menjadi teka-teki atau misteri di balik keinginan Jokowi memindahkan IKN.
Belum lagi pembangunan IKN itu butuh investasi besar. Untuk bisa mengundang investor, bisa membangun IKN, Joko Widodo menyiapkan kompensasi investasi dengan menyiapkan lahan hak guna usaha (HGU) selama 195 tahun. Bisa dibayangkan investor bisa menguasai tanah dalam usia yang panjang di atas tanah dengan kekayaan potensi sumber daya alam (SDA) berlimpah. Kompensasi tanah yang luas-waktu yang panjang, di tilik secara material, merugikan rakyat dan negara.
Persoalan Gibran Rakabuming yang menjadi calon wakil presiden (cawapres) Prabowo pada Pilpres 2024 tidak kalah menarik dan menyita perhatian publik. Gibran, yang belum genap 40 tahun dan baru 2 tahun menjadi Wali Kota Solo, diusung menjadi cawapres dari Partai Golkar, sedangkan Gibran bukan kader Partai Golkar.
Hadirnya Gibran di Partai Golkar bagai putra mahkota, yang dengan singkat meruntuhkan ribuan reputasi kader Golkar terbaik yang bertahun-tahun bergelut dan bergumul mengaderi diri. Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan perubahan Undang-Undang (UU) Pemilu terkait usai calon presiden (capres)-cawapres yang belum mencapai 40 tahun dengan menambahkan norma pernah menjadi kepala daerah.
Andaikan revisi UU oleh MK ini kelahirannya dilatari kebutuhan kaum muda dan dimaksudkan mempersiapkan generasi muda/aktivis pemuda, seperti ketua KNPI, ketua umum HMI, PMII, PMKRI, GMKI, Pemuda Muhammadiyah, IMM, ketua dewan mahasiswa untuk menjadi pemimpin negara di masa depan, saya kira, suatu gebrakan yang harus mendapat apresiai di ruang konstitusi. Maka, harus disetujui dengan persetujuan yang tulus oleh kita semua. Namun, jelas latar belakang putusan MK itu lebih pada memenuhi ambisi Jokowi untuk memperpanjang kepemimpinannya melalui putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.
Apalagi, sebelumnya berhembus wacana Presiden Joko Widodo untuk maju kembali mencalonkan diri menjadi presiden yang ketiga kalinya. Upaya ini berulang kali didengungkan Bahlil atas kehendak para investor. Selain itu, terhembus juga wacana memperpanjang periode kepimimpinan Presiden Jokowi. Namun, keduanya mendapat penolakan publik. Kalau saja hal ini benar, maka sesungguhnya Presiden Joko Widodo sedang berupaya membangun politik dinasti atau dinasti Jokowi.
Hemat saya, politik dinasti jauh lebih berbahaya daripada nepotisme. Sejarah reformasi mencatat, salah satu poin penting dari gerakan reformasi 1998 adalah menolak dan mengutuk tindakan kekuasaan yang bercorak nepotisme pada akhir rezim Soeharto.
Nepotisme dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan politik kekuasaan yang bertentangan dengan moral atau etika bernegara oleh Pak Harto. Maukah kita semua suatu saat nanti diadili oleh pengadilan sejarah bahwa kita melegalkan politik dinasti di negeri Pancasila?
***
Dari sekian daftar persoalan yang dihadapi bangsa dan negara, apa yang telah dilakukan HMI sebagai organisasi kemahasiswaan Islam, ekstrakampus terbesar dan tertua di Tanah Air? Tampaknya, PB HMI periode Rayhan alpa, tidak hadir, gagal membawa mission di tengah hiruk pikuk konstelasi politik nasional. HMI kehilangan jejak peradaban, tertimbun oleh beban kekuasaan Joko Widodo ketimbang menegakkan independensi untuk membangun daya kritis anak umat dan anak bangsa yang tengah berkiprah di HMI.
HMI menghadapi episode kelam dan terburuk dalam sejarah. Kenapa HMI mandul, HMI memilih jalan aman dan nyaman ketimbang menyuarakan suara kritis pada kekuasaan yang bergelimang dengan berbagai ketimpangan dan pengkhianatan? Apakah HMI punya utang budi pada kabinet Presiden Joko Widodo sehingga enggan menampilkan pamflet kritik tentang kebatilan kekuasaan Joko Widodo? Padahal, kritik atas penyimpangan perilaku bernegara merupakan bentuk kepekaan dan ciri kaum intelektual progresif.
Melayangkan suara kiris tentang buruknya sistem pengelolaan negara adalah hak HMI. Sebagai organisasi mahasiswa, organisasi kaum intelektual muda muslim, senantiasa peduli dan kritis pada kerusakan kekuasaan adalah karakter HMI. Pandangan dan sikap kritis, sebagai ciri kaum intelektual, tentu menambah bobot poin bagi HMI. Bahkan, lebih dari itu, HMI mencetaķ nama besar yang berpengaruh, dihormati, disegani oleh organisasi kemahasiswaan se-Tanah Air. Dan sudah pasti, tidak akan ada risiko pembubaran organisasi mengingat rezim sudah berganti, era otoritarianisme sudah berakhir.
Mengkritik kekuasaan, bagi kader HMI, adalah jalan mencetak kekayaan pengalaman juga investasi untuk meraih kekuasaan di masa depan. Jadi anak manis tanpa kritis kelak menjadi beban yang terhina bagi negara pada masa depan. Ketika HMI mendiamkan perilaku rezim anomali yang melakukan berbagai pelanggaran etika bernegara, membawa titik balik yang merendahkan HMI sendiri. Negara tentu akan terus terpuruk ke jurang kehancuran ketika HMI diam seakan tak peduli. HMI pun semakin pudar, tidak diperhitungkan kawan dan lawan, bahkan tertimbun di balik berbagai kebijakan ambigunya terhadap kekuasaan Presiden Joko Widodo.
***
Saran saya kepada semua peserta kongres: harus bisa memulihkan legacy dan dignity nama besar HMI, yaitu menegakkan kembali fondasi independensi HMI. Di otak setiap peserta kongres tersimpan daya intelegensia-moralitas, yang merupakan modal, untuk menegakkan martabat dan kehormatan HMI. Untuk itu, tegakkan independensi etis dan independensi organisasi yang dirohi oleh nilai-nilai dasar perjuangan. Maka, HMI akan tegak bermartabat dan terhormat.
Untuk itu, peserta kongres harus bisa tampil dengan kecerdasan dan integritas: mengkritisi secara objektif, membedah secara jernih laporan pertanggungjawaban PB HMI periode kepemimpinan Rayhan. Sebagai alumnus yang intens melakukan kaderisasi di seluruh sudut negeri dan mengawasi HMI secara dekat, saya tidak melihat karya kebijakan Ketum Rayhan untuk membesarkan dan membanggakan bagi kader HMI. Tidak ada konsolidasi terstruktur dan terorganisasi untuk memperkuat mission dan kekohesian organisasi di semua level.
Struktur kepemimpinan Rayhan adalah representasi dan rekonsiliasi antartim sukses dari para kandidat yang bertarung dalam kongres. Kepengurusan Rayhan bukan representasi dari para kader terbaik pilihan yang direkomendasikan cabang se-Indonesia. Olehnya, pengurus periode ini bekerja bukan semata-mata untuk menyolidkan kewibawaan gerakan HMI dan memperkuat basis perkaderan, melainkan menghidupkan faksi-faksi yang diwarisi kongres. Inilah wajah bopeng dari kepengurusan adindaku Rayhan.
Untuk itu, sebagai bentuk pembelajaran bagi pengurus HMI di semua level juga kontinutas kaderisasi HMI yang akan datang, dapat memetik pelajaran dari kegagalan periode ini dengan merawat organisasi tetap progresif dan independen. Sebab, peserta kongres harus dengan tegas menolak laporan pertanggungjawaban Ketua Umum Rayhan dan memecat semua kepengurusan Rayhan Aryatama mengingat periode kepengurusannya sangat kontraproduktif dengan hakikat HMI sebagai organisasi kader, mahasiswa, dan independen. HMI lemah, seakan menjadi bagian dari kekuasaan rezim yang berkuasa sekarang.
Dan putusan dalam poin rekomendasi eksternal:
1. Meminta Presiden Joko Widodo untuk mengakhiri kekuasaannya sebagai Presiden RI pada tahun 2024 dengan husnulkhatimah;
2. Presiden Joko Widodo berhenti melakukan cawe-cawe sebab tindakan berkonspirasi dengan para elite parpol untuk menyiapkan calon presiden dan calon wakil presiden adalah potret buruk berdemokrasi. Tindakan cawe-cawe itu melukai warga negara yang memiliki pilihan yang berbeda dan perbedaan pilihan itu merupakan hak asasi setiap warga negara yang dibolehkan oleh demokrasi; dan
3. Batalkan semua kebijakan negara yang kiranya telah dan seterusnya merugikan kedaulatan dan kehormatan negara, seperti:
a. Putusan MK Nomor 90 tentang cawapres sudah pernah menjabat kepala daerah. Putusan ini berbau diskriminatif dan hanya mementingkan Gibran yang kebetulan anak Presiden. Namun, di sisi lain, membunuh potensi anak muda terbaik yang bukan anak Presiden. Gibran dianggap darah biru kekuasaan. Hanya dia yang dianggap pantas mewarisi kepemimpinan politik Indonesia, sementara kita tahu isi dan pandangan Gibran tidak melewati pergumulan intelektual dan kepemudaan,
B. Omnibus law. UU yang lahir di gelap malam ini wujud dari persekongkolan segelitir elite politik. UU ini membuka ruang secara legal untuk merampok harta kekayaan sumber daya alam yang masih tersimpan dalam kandungan bumi Indonesia. Perampokan legal dilakukan saudagar pribumi bersekutu dengan kekuatan modal asing, dan
C. Pemindahan IKN di Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara, Kaltim, di atas lahan 200.000 hektare lebih milik para pengusaha. Proyek ini ke depan hanya menguntungkan pengusaha/pemodal yang berbagi keuntungan. Konsesi lahan IKN hanya untuk pengusaha raksasa, bukan untuk rakyat. Kongres, melalui rekomendasi, perlu meminta supaya proyek itu dibatalkan. Sebab, semua proyek itu dipandang tidak memberikan manfaat ekonomis dan martabat kemanusiaan bagi warga negara Indonesia. Apabila diteruskan, justru bisa membelah bangsa dan negara di kemudian hari.
Mengutip ungkapaan Jendral Soedirman, “HMI bermakna ‘Harapan Masyarakat Indonesia'”, apabila kader HMI peserta kongres terpanggil menyelamatkan bangsa dan negara dari kezaliman kekuasaan. Sejumlah rekomendasi eksternal tersebut merupakan jalan bagi HMI untuk membawa negeri tercinta bebas dari kemungkinan buruk yang akan terjadi.