Oleh Hasan M. Noer, Peneliti dan Pengamat Sosial-Keagamaan; Khadimul Ma’had Pondok Madinatunnajah Kesultanan Menanga Solor, Flores, NTT
Buya Hamka (1908-1981) melalui sebuah buku yang sudah menjadi klasik, Dari Lembah Cita-cita (1967), membuat kesaksian tentang bagaimana peran pemuda dalam mengubah dunia. Para pemuda pilihan itu ditempa oleh penderitaan rakyatnya, membuat mereka tampil revolusioner untuk membebaskan bangsanya dari penjajah.
“Dua orang pemuda telah datang kepadaku dan bertanya tentang apa rahasianya sehingga bangsa Arab yang semula berpecah belah dan hidup dalam gelap gulita kejahiliahan itu, dalam masa yang amat singkat—hanya 23 tahun—telah dapat disatukan dan dibangkitkan oleh Nabi saw menjadi bangsa yang besar dan kuat, gagah perkasa, mampu membuat riwayat umat menjadi gilang gemilang berabad-abad lamanya, sampai-sampai tidak ada ahli tarikh yang dapat memungkirinya” (Hamka, 1967: 9).
Sungguh besar posisi kedua pemuda itu dalam pandangan Hamka. Di saat tokoh pujangga baru terkemuka dan penulis roman terkenal, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini duduk berhadapan dengan mereka dan terkenanglah beliau akan riwayat beberapa pemuda hebat yang telah mengukir sejarah dunia.
Kedua pemuda itu ingin mendengar dari Hamka tentang bagaimana menjadi pemuda yang berguna bagi bangsa di tengah zaman revolusi, yang oleh Bung Karno disebut-sebut sebagai “zaman yang berkobar-kobar” itu (Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, 1965).
Terkenanglah Hamka pada beberapa pemuda sekolah militer Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) mengadakan perkumpulan rahasia untuk menumbangkan kekuasaan Sultan Turki Utsmani. Teringatlah Hamka pada pergerakan pemuda Mesir di bawah pimpinan Mustafa Kamil Pasha (1874-1908) untuk merebut kemerdekaan Mesir dari tangan penjajah.
Teringatlah Hamka pada pemuda Gandhi (1869-1948), advokat di Afrika Selatan dengan gaji besar demi melihat bangsanya dipandang hina oleh bangsa Inggris. Timbul gelora api perjuangan di dadanya untuk membela bangsa India.
Ditinggalkan penghasilannya yang besar dari membela perkara orang di muka hakim, ia berangkat menuju tanah airnya sendiri untuk menjemput kesengsaraan dan kemiskinan rakyat. Ia hendak berjuang membela nasib bangsanya dari penindasan bangsa Inggris.
Terkenanglah Hamka pada pemuda Sun Yat Sen (1866-1925), anak seorang petani China yang geram melihat bangsanya diperlakukan secara hina oleh bangsa kulit putih. Tergeraklah hatinya untuk memperbaiki bangsanya yang terhinakan agar dia naik ke atas puncak mercusuar kemuliaan.
Pada usia 28 tahun, ia mulai menanam benih kemerdekaan tanpa lelah dan putus asa hingga maut menjemputnya pada tahun 1925, sebelum tercapai kemerdekaan bangsa China. Ia pergi membawa “utang cita-cita” kemerdekaan bangsanya, tetapi utang itu dilunasi generasi penerusnya dengan merebut kemerdekaan China pada tahun 1945.
Teringatlah Hamka pada pemuda Hatta (1902-1980), dalam usia 25 tahun berhasil mendirikan perkumpulan politik Perhimpunan Indonesia di Leiden, Belanda. Bahkan, dalam usia 26 tahun, ia telah memimpim Kongres Liga melawan imperialisme dan menulis pleidoi pembelaannya, “Indonesia Merdeka” di depan Pengadilan Den Haag.
Teringatlah juga Hamka kepada pemuda Soekarno (1901-1970) dalam usia 28 tahun pula, seperti pemuda Sun Yat Sen, telah membacakan pleidoinya yang terkenal, Indonesia Menggugat, di Landrad Bandung.
Hanya orang “gila” yang bersedia menempuh bahaya di depannya. Pemuda Nurcholish Madjid (1939-2005) juga disebut “gila” oleh masyarakatnya tatkala dalam usia 31 tahun, berani memproklamirkan “ide pembaruan pemikiran Islam di Indonesia” pada era 1970-an.
Maka, tepat sekali perkataan Rasulullah saw, “Pemuda adalah satu bagian dari gila”. Rasulullah saw sendiri disebut “gila” oleh masyarakat di zamannya karena dia mengatakan yang belum dikatakan, dia berpikir yang belum dipikirkan, dia membuat riwayat yang belum diriwayatkan. Dia melawan arus, menggulung ombak, menaklukkan samudra. Sungguh, dia memang “gila” untuk sebuah zaman gelap gulita.
Pulang Kampung
Muhammad Asad (1979) menyebut kunci di balik sukses Rasulullah saw adalah terletak pada visi tsaurat al-rahmah (revolusi cinta), yang digerakkannya sepanjang sejarah 23 tahun mengemban misi kenabian. Visi besar ini berhulu pada konsep Islam agama rahman (QS. 21: 107). Konsep ini hadir menjadi lokus dari mana “revolusi cinta” bersandar, membuat sejarah meneguhkannya sebagai “telos dunia”.
Di sini, kita justru menemukan ide dan cita “revolusi cinta” itu pada tindakan politik seorang politisi muda, Ahmad Yohan (AYO). Ia memilih pulang kampung untuk mewujudkan “revolusi cintanya” yang berkobar-kobar.
Strategi politik Ahmad Yohan itu mengingatkan kita pada seorang teman ketika kami dengan bangga menerima selembar ijazah sebagai sarjana, ia berbisik pelan kepadaku, “Menjadi sarjana itu kita harus berani merevisi beberapa unsur cita-cita.”
Ya, sebagai sarjana baru, terkadang cita-cita kita tak realistis, terlalu artifisial (mengada-ada), bahkan absurd (tak masuk akal). Ia membutuhkan sebuah revolusi.
Melalui slogan “pulang kampung bangun kampung”, Yohan dengan tepat merumuskan revolusi cintanya dengan merevisi beberapa unsur cita-citanya agar bisa berdiri di sisi rakyat kecil di kampung-kampung. Seakan-akan ia dengan sadar mengambil alih cita-cita kawan kita di atas sambil meneguhkan posisi dirinya di pentas politik nasional.
Ia dengan disiplin, tekun, dan sabar menuntun hatinya untuk menegaskan pergulatan politiknya: Dari Kampung Aku berbakti untuk Indonesia! Ini tindakan revolusioner. Sebuah cita-cita mulia, realistis, dan masuk akal.
Secara substansif, slogan politik ini dimaksudkan sebagai peneguhan identitas politik personal sekaligus sebagai wujud panggilan moral kolektif untuk berbakti kepada lewo tanah dan suku ekang. Secara atraktif, Yohan telah memperlihatkan revolusi cintanya itu melalui kiprah sosialnya yang membesarkan hati.
Ia bukan saja menunjukkan kepeduliannya pada jeritan rakyat di kampung-kampung, tetapi juga datang untuk membalut luka yang tergores perih di dada mereka. Ia seakan menyimak dengan baik kata-kata indah seorang penyair
luka yang tergores perih,
tak kuasa kubawa berlari,
sampai jemari kasihmu,
sanggup membalut lukaku,
hingga hilang pedih perih.
Ya, Yohan telah membalut luka itu dengan jemari kasihnya. Ia memilih memungut serpihan-serpihan harapan rakyat yang tercecer di balik transaksi kedustaan. Ia menuntun hatinya untuk berharap kepada Allah agar ia diberikan daya untuk membangun dan menata kampung halamannya.
Dia ingin melihat masa depan negeri ini melalui kampung-kampung. Ya, bagaimana kampung-kampung itu diurus. Sejauh yang bisa dipantau, Yohan telah berada dalam proses membangun dari kampung ke kampung itu.
Di atas segalanya, dibutuhkan sekarang adalah kesaksian yang jujur dan tulus tanpa menyembunyikan kenyataan, positif maupun negatif. “Barang siapa yang menyembunyikan kesaksian, maka sesungguhnya ia telah membutakan hatinya” (QS. 2: 283). “Sebab, yang buta itu bukan mata, melainkan hati yang bersarang di dada” (QS. 22: 46).
Rupa-rupanya Yohan telah membalut luka di hati masyarakatnya bukan dengan tangannya, melainkan dengan hatinya. Inilah revolusi cinta anak-anak orang susah menapak anak tangga untuk menggenggam sebungkah amanah.
Yohan sangat menyadari tentang ide dasar dari mana Rasulullah saw tumbuh menjadi obor dunia karena kepekaan sosialnya: mengibarkan bendera revolusi cinta karena simbol kekuatan cinta adalah hati. Ya, ada pada hati yang peduli.
Yohan tampaknya sangat memahami bahwa saat membangun Kampung Madinah, Rasulullah saw memulai dengan “mempersaudarakan, mempersamakan, dan membebaskan” masyarakat dari sistem dominasi sosial yang zalim. Melalui strategi ini, “dunia baru pun ditemukan!” (Stoddard, 1966).
Kita tidak tahu, dari mana sumber ilham Ahmad Yohan memungut ide dasar pulang kampung bangun kampung. Namun, satu hal yang saya tahu pasti, Yohan menyadari dengan sungguh-sungguh, “Kampung adalah jiwa sebuah bangsa.”
Jika baik sebuah kampung, baiklah bangsa itu; jika buruk sebuah kampung, buruklah bangsa itu. Sebab, hadirnya bangsa karena kampung, hilang kampung musnahlah bangsa.
Misi pembebasan, persamaan, dan persaudaraan masyarakat telah menjadi “getah kemanusiaan” yang ditawarkan Ahmad Yohan untuk menautkan ulang keterbelahan politik, merekatkan lagi keterpisahan ideologi, dan memulihkan kembali keretakan sosial.
Oleh karena itu, kesediaannya pulang kampung adalah rahmat. Sebab, dengan begitu ia mampu meraih mandat rakyat untuk merebut kursi parlemen di Jakarta. Dari Jakarta, dengan cinta yang berkobar-kobar, ia berlari membangun kampung halamannya.
Tipikal Yohan adalah refleksi dari revolusi cinta orang-orang kecil yang berjuang mengubah takdirnya dengan logika terbalik, dengan bukti-bukti yang sulit dicerna akal sehat. Namun, itulah kuasa Ilahi.
Bangun Kampung
Pada posisi seperti itulah kita hendak melihat figur Ahmad Yohan sebagai potret kecil animasi sosok Gandhi, Soekarno, Hatta, Musthafa Kamil, Kemal Attaturk, Sun Yat Sen, atau Nurcholish Madjid pada ide dan cita “kegilaan” yang mereka tawarkan sebagai wujud dari revolusi cinta yang berkobar-kobar.
Kata kunci yang mereka bawa adalah bukti bukan bualan. Maka, benar kata Yohan dengan mengutip petuah bijak orang-orang tua di kampung, “Orang muda seperti kita ini jika berkata tanpa bukti, akan mudah ditinggalkan orang.”
Figur Ahamd Yohan tampil samar-samar di tingkat nasional meski ia adalah Ketua Umum Barisan Muda Partai Amanat Nasional (BM PAN). Ia memang tidak setenar tokoh politik nasional lainnya, tetapi melihat kiprah sosial-politiknya, ia jelas menjanjikan sebuah masa depan yang cerah.
Tokoh muda ini adalah anggota parlemen Fraksi PAN, alumnus UIN Yogyakarta, dan aktivis tulen HMI. Ia tampil di hadapan konstituennya dengan slogan autentik: Pulang Kampung Bangun Kampung. Sebuah slogan yang mengalirkan “energi cinta” pada penderitaan rakyat sebagai wujud dari pergulatan politiknya yang menggema keras akhir-akhir ini. Pergulatan politik inilah yang ingin ia tebarkan ke tengah khalayak.
Ia bagaikan Gandhi yang pulang kampung dari menikmati kenyamanan hidup sebagai pengacara hebat di Afrika Selatan menuju India yang telantar dan tak terurus. Ia berdiri tegak dengan teguhnya di sisi rakyat India yang bergelimang debu-debu kemiskinan dan berselimut bekas-bekas ketakberdayaan.
“Jika kampung halaman memanggilku tetapi Aku tak sanggup mendatanginya karena keterbatasanku, biarlah Dia Yang Mahakuasa mendatangi mereka dan berdiri tegak di belakang mereka sebagai pembelanya!” demikian Gandhi bertekad.
Yohan, sebagaimana Gadhi, terpanggil untuk pulang kampung karena menyaksikan kemiskinan dan ketakberdayaan masyarakatnya. Ia dengan riang mendatangi konstituennya dari kampung ke kampung, malah dari rumah ke rumah. Apa yang bisa diberikan, dia berikan. Apa yang mampu dibantu, dia bantu.
Apabila dia melihat ada masdrasah atau sekolah yang rusak, apabila dia melihat ada masjid atau gereja yang patut diperbaiki, dia mengulurkan tangan bantuannya. Kegiatan anak-anak muda, ia bantu dengan segenap keutuhan hatinya.
Pernah suatu hari ia berkisah. Ia mendatangi sebuah masjid untuk memperkenalkan diri sebagai calon wakil rakyat, tetapi jemaah di masjid itu menolaknya mentah-mentah. Alasannya logis, mereka sudah memiliki calon lain untuk diusung. Secara politik, tindakan masyarakat ini jelas mencederai demokrasi. Sungguhpun demikian, Yohan tak patah arang. Ia justru membalut luka di hatinya dengan sabar dan ikhlas.
Keikhlasannya membawa hikmah. Terbukti, setelah ia terpilih sebagai wakil rakyat dari NTT di Senayan, masjid pertama yang ia datangi dan memberikan bantuan adalah mesjid pertama yang menolak kehadirannya di saat kampanye.
Jemaah di masjid yang pernah menolaknya itu menerima bantuannya dengan berlinang air mata. Subhanallah, Inilah akhlak Rasulullah saw yang pernah dengan anggun ditunjukkan Yohan kepada konstituennya.
Kekuatan terbesar Ahmad Yohan justru ada pada komitmen personalnya untuk melakukan “investasi sosial” di tengah masyarakat. Ia sukses melakukan itu meski tantangannya sungguh berat.
Sesungguhnya politisi yang baik pasti bukanlah mereka yang datang di saat pemilu, lalu pergi setelah terpilih, tetapi mereka yang datang di saat rakyat susah dan pergi di saat rakyat tersenyum.
Ia seakan menghayati betul pesan John F. Kennedy dengan sedikit revisi, “Jangan bertanya tentang apa yang telah diberikan rakyat kepadamu, tetapi bertanyalah tentang apa yang telah engkau berikan kepada rakyat.”
Di sini juga kita menemukan tokoh muda ini bagaikan sosok Soekarno dan Hatta yang rela berkorban untuk rakyat sebelum rakyat berkorban untuk mereka. Karenanya, Soekarno pada detik-detik terakhir di Lapangan Ikada Jakarta meminta rakyat untuk berdiri di belakang Soekarno-Hatta agar nyala api kemerdekaan tak jadi padam.
“Jika bangsa ini memberiku 1.000 orang tua, Aku akan sanggup mencabut batang Semeru hingga ke akar-akarnya; tetapi jika bangsa ini memberiku 10 pemuda, Aku akan sanggup menggoncangkan dunia” (Hamka, 1967).
Soekarno telah membuktikan kata-katanya dan dunia mencatat kata-kata itu sebagai slogan politik paling heroik sepanjang sejarah. Yohan tak perlu menjadi Soekarno untuk meraih dukungan politik. Ia bahkan menjadikan pemuda untuk mewujudkan revolusi cintanya yang menyala-nyala.
Ia memilih dan menempatkan para pemuda pilihan sebagai agen politik untuk meraih kepercayaan sosial (social trust). Ia pun menanamkan nilai-nilai sosial (social values) dan menciptakan jaringan sosial (social networks) sejalan dengan dukungan dan partipisipasi politik masyarakatnya (Field, 2010: 26).
Melalui jaringan sosial itulah Yohan menemukan pijakan: perbedaan adalah kenyataan dan persatuan adalah keharusan. Ya, hanya dengan persatuan kita mampu membangun kampung dan hanya dengan perbedaan kita dapat menemukan cinta.
Kalimat terakhir itu, akan dengan mudah terkatakan di saat orang menemukan lokus agama sebagai revolusi cinta dan menjadikan telos sosial sebagai revolusi politiknya.
Ahmad Yohan mungkin terlalu jauh jika dibandingkan dengan tokoh dunia di atas, apalagi disandingkan dengan figur agung semacam Rasulullah saw. Namun, apa yang dilakukannya untuk umat dan bangsa di kampung halamannya sungguh mengharukan.
Lebih-lebih lagi di kala rakyat terperangkap di dalam rumah akibat pandemi Covid-19 ini—seperti terbaca kiprah sosialnya melalui media sosial—ia dengan sigap mengulurkan tangan bantuannya kepada rakyat yang sedang didera kesulitan hidup.
Sesungguhnya di balik kemunculan berbagai kiprah personal yang ditebarkannya, memberikan isyarat kuat bahwa keberhasilan sebuah gerakan sosial terletak pada revolusi cinta yang ditaburkannya. Suka atau terpaksa, slogan pulang kampung bangun kampung telah menjadi ikon Ahmad Yohan dalam memaknai revolusi cintanya.
Slogan itu telah menuntunnya untuk menemukan legitimasi moral paling genuine bahwa revolusi cinta yang digerakkan oleh Rasulullah saw di atas panggung politik dunia itu telah diembannya dengan penuh tanggung jawab sesuai batas kemampuan yang ditakdirkan Qadli Rabbul Jalil untuknya.
Benar kata orang, “Setiap zaman ada tokohnya, setiap tokoh ada zamannya”. Semoga revolusi cinta Ahmad Yohan di pentas politik nasional mewakili rakyat NTT, menjadi indikasi kuat bahwa dialah tokoh yang tepat untuk mewakili zamannya. Wallahu a’lam.