Oleh Rudy Gani, Wakil Sekretaris Jenderal MN KAHMI
Menjadi aktivis adalah sebuah profesi yang seharusnya profesional. Sebab, dunia aktivis adalah dunianya kaum intelektual yang kritis dan penuh dengan dinamika. Maka, wajar apabila seorang aktivis profesional itu dianggap sebagai kelompok terpelajar yang selalu menggaungkan ide serta kritikan kepada pemerintah.
Namun, menjadi aktivis yang profesional tentu saja tidak mudah. Sebab, tantangan serta “godaan” kerap datang menyapa seorang aktivis. Baik dalam konteks godaan materi maupun jabatan. Karena itulah, seorang aktivis dituntut untuk selalu berpikiran jernih dan tahan banting, khususnya pada godaan-godaan materi serta jabatan tersebut.
Kembali dalam konteks aktivis yang profesional. Aktivis profesional adalah mereka yang bekerja secara tersistematis, disiplin, dan mencintai pekerjaannya itu sendiri.
Aktivis profesional adalah mereka yang mengejar cita-cita bersama dengan cara bekerja sama dengan seluruh kelompok berkepentingan. Tujuannya hanya satu, yaitu bagaimana agar pekerjaan mereka (cita-citanya) terwujud di masyarakat. Jadi, aneh rasanya jika seorang aktivis yang “mengklaim” dirinya aktivis, tetapi tidak memiliki arah serta memperjuangkan cita-cita bernegara alias tidak memikirkan masyarakatnya. Tidak bersikap dan bertindak kritis yang melekat dengan identitasnya sebagai aktivis serta sama sekali tidak pernah menyentuh persoalan utama masyarakat. Jika bertemu dengan aktivis model begini, maka sudah dipastikan ia tidak pantas disebut aktivis profesional.
Di beberapa kesempatan, banyak yang mengatakan bahwa puncak karier dari seorang aktivis itu adalah “politisi”, baik di DPR RI, DPRD provinsi, bahkan tingkat kabupaten/kota. Sekilas, pernyataan ini memang benarlah adanya.
Namun, jika ditelaah secara kritis, penulis menilai, bahwa pandangan ini tentu saja tidak tepat sepenuhnya. Mengapa demikian? Sebab, menyatakan bahwa puncak dari karier seorang aktivis itu hanyalah sebagai politisi tentu saja mengerdilkan perjuangan aktivis yang begitu luas.
Aktivis tidak saja “dikutuk” untuk menjadi seorang “legislator”, aktivis tidak hanya pandai “beretorika” seperti orang-orang di parlemen. Namun, seorang aktivis yang pro pada kecakapan, pro pada nilai keindonesiaan, pro pada keberlangsungan cita-cita bernegara adalah mereka yang memiliki kemampuan lebih tanpa harus “tergiring” menjadi seorang politisi di parlemen.
Faktanya, terdapat seorang CEO sebuah perusahaan berlatar belakang aktivis pergerakan. Juga menteri di republik ini yang latar belakangnya aktivis tanpa harus menjadi politisi lebih dahulu. Juga tak terhitung jumlahnya aktivis yang bergelut di dunia NGO dan memiliki pengaruh luar biasa bagi NKRI yang berlatar aktivis.
Mengopinikan bahwa aktivis harus menjadi anggota dewan sungguh sangatlah naif. Sebab, potensi seorang aktivis yang profesional tidak saja menjadi seorang anggota dewan. Artinya, ruang gerak aktivis profesional tidak saja ada di dunia politik meskipun interaksinya pasti berkait dengan dunia politik.
Inilah yang membedakan aktivis profesional dengan aktivis magang. Jika aktivis profesional bekerja untuk keberlangsungan NKRI, maka aktivis magang hanya berpikir bagaimana caranya memperoleh jabatan.
Jika aktivis profesional berpikir Indonesia untuk ratusan tahun mendatang, maka aktivis magang berpikir lima tahunan saja. Itulah perbedaan yang kemudian berimplikasi pada gerak dan tindakan aktivis yang profesional dan magang.
Lalu pertanyaanya, berapa banyakkah aktivis profesional saat ini? Jangan-jangan zaman ini telah memproduksi lebih banyak aktivis magang yang kerjanya hanya untuk mengejar materi dan jabatan semata. Jika benar ini terjadi, maka 2024, siap-siaplah melihat wajah Indonesia yang pasti “begini-begini saja”.