Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care
Ramadan baru usai, tinggallah kenangan manisnya: berinteraksi dengan Al-Qur’an. Saya menyimak buku lama yang pernah ditulis KH Ali Mustafa Ya’qub, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Islam Masa Kini. Yang saya nukil di sini, bagian mengenai kritik Allah kepada Nabi Muhammad, sang Penyampai Risalah.
Pada suatu ketika diceritakan, Nabi Muhammad saw semasih berada di Makkah, mengajarkan agama Islam kepada sekelompok orang dari kalangan rakyat jelata. Mereka ini antara lain Khubab bin al-Arrit, Abdullah bin Ma’ud, Shuhaib al-Rumi, Ammar bin Yasir, Salman al-Farisi, dan Bilal al-Habsyi. Tiba-tiba datang tokoh-tokoh bangsawan Quraisy menghadap Nabi saw. Mereka adalah Al-Arqa bin Habis al-Tamimi dan Uyainah bin Hishn al-Fazari.
Kepada Nabi saw, mereka berkata, “Kami adalah orang-orang terhormat di kalangan suku kami. Apabila kami duduk dalam satu majelis dengan Anda, kami tidak ingin suku kami melihat kami duduk bersama orang-orang seperti Bilal, Shuhaib, dan kawan-kawannya. Oleh karena itu, suruhlah mereka itu pergi meninggalkan tempat ini”. Demikian pinta para pembesar Quraisy itu kepada Nabi saw.
Berharap tokoh-tokoh kaum musyrikin Quraisy itu mau mendengarkan ajaran Islam sehingga nantinya mereka mau masuk Islam, Nabi saw akhirnya menyetujui permintaan itu. Namun, orang-orang Quraisy itu memandang tinggi kaumnya sehingga mereka tidak menerima penyampaian lisan dari Nabi saw, mereka ingin ada pernyataan “hitam di atas putih” bahwa apabila orang-orang Quraisy itu duduk dalam majelis bersama Nabi, kelompok Bilal dan kawan-kawan harus pergi meninggalkan majelis itu.
Permintaan ini lagi-lagi disetujui Nabi saw. Beliau memanggil Ali bin Abi Thalib untuk menulis perjanjian diskriminatif itu. Maka, dengan hati-hati Ali bin Abi Thalib menulis butir-butir perjanjian yang didiktekan Nabi saw atas permintaan tokoh-tokoh Quraisy itu. Setelah rampung, lalu dibacakan kepada Nabi saw. Naskah perjanjian itu disimpan oleh Ali bin Abi Thalib.
Sementara, Bilal dan kawan-kawan yang sejak dari tadi mendengar pembicaraan orang-orang Quraisy dengan Nabi saw tanpa disuruh mereka meninggalkan Nabi saw dan pergi menjauh dari beliau, kemudian duduk di suatu sudut. Barangkali Bilal dan kawan-kawannya menyadari bahwa mereka adalah kelompok marginal (pinggiran), di mana mereka “tidak pantas” duduk berdampingan dengan kelompok Quraisy tadi.
Akan halnya dengan Ali bin Abi Thalib. Setelah beliau selesai menulis perjanjian itu, tiba-tiba Allah menurunkan Surat Al-An’am ayat 52, di mana Nabi saw dikritik atas perbuatan mengusir kelompok Bilal dan kawan-kawan.
Perjanjian diskriminatif ini yang dikritik Allah melalui ayat-ayat-Nya. Yang eksplisit, antara lain Surat Al-An’am ayat 52 yang kontennya memuat kritik atas perbuatan mengusir kelompok Bilal itu. “Dan Janganlah kamu usir orang-orang yang selalu menyembah Tuhannya pada pagi hari dan petang, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul sedikit pun tanggung jawab atas perbuatan mereka dan mereka tidak memikul sedikit pun tanggung jawab atas perbuatan kamu, di mana hal itu menyebabkan kamu [berhak] mengusir mereka. Apabila demikian, maka kamu termasuk orang-orang yang zalim.”
Setelah ayat ini turun, Nabi saw memanggil Ali bin Abi Thalib dan minta naskah perjanjian itu diberikan kepada beliau. Naskah itu kemudian beliau robek-robek dan dibuangnya. Kemudian, beliau menemui Bilal dan kawan-kawanya yang sedang memojok jauh dari beliau. Dengan perasaan menyesal atas perbuatan tadi, Nabi saw merangkul Bilal dan kawan-kawannya satu persatu.
Kritik Allah yang Eksplisit
Sikap diskriminatif ala pemuka Quraisy ini masyhur dalam pembahasan penyikapan Nabi saw terhadap orang lain yang dipandang “kelas pinggiran” bahkan eksplisit dalam Al-Qur’an. Dalil lainnya, Nabi pernah “pilih hormat” dengan pembesar Quraisy lainnya, antara lain Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahl, Abbas bin Abd al-Muttalib, Ubay bin Khalaf, dan Umayyah bin Khalaf. Ini disebut eksplisit dalam Surat ‘Abasa ayat 1-2. “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya.”
Sikap Nabi sawlah yang menjadi sebab sehingga ayat ini turun, yaitu pilih hormat kepada pembesar Quraisy dan tidak memperhatikan bahkan bermuka masam ketika ditanya Abdullah bin Ummi Maktum dalam kesempatan yang berbeda. Hal yang tak kunjung direspons Nabi itu pertanyaan singkat, “Ajarilah aku tentang agama yang diturunkan Allah kepada Anda”. Sebegitunya Allah kritik Nabi saw dan masuk dalam Al-Qur’an bahkan disebut sebagai salah satu surat dalam Al-Qur’an (‘Abasa).
Sejak surat itu turun, Nabi saw selalu bersikap hormat kepada Abdullah bin Ummi Maktum. Nabi selalu menyambut dan menghormatinya. Beliau selalu berkata, “Selamat datang, wahai orang yang menyebabkan diriku dikritik Allah.”
Nabi saw secara nasab (silsilah) sejatinya bukan orang biasa. Beliau keturunan orang-orang terkemuka dalam kabilahnya. Toh, itu tidak menjadikan beliau diposisikan lebih tinggi daripada orang lain. Allah tetap mengkritisi Nabi saw atas kekhilafan sikapnya. Nash (dalil dari Al-Qur’an) lainnya disebut dalam Surat Al-Kahf ayat 28. “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyembah Allah pagi dan sore dengan mengharap rida-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya, sementara keadaannya itu melewati batas.”
Orang-orang yang menyembah Allah pagi dan sore dengan mengharapkan rida-Nya itu orang-orang yang kebetulan kelompok kelas bawah, kelas pinggiran. Kelompok inilah yang mendominasi para pengikut para Nabi saw sejak nabi-nabi dahulu sampai Nabi Muhammad saw. Mereka orang-orang polos dalam menyembah dan mengabdi kepada Allah. Tidak ada motivasi apa pun bagi mereka kecuali hanyalah mengharap rida Allah. Dalam beberapa hadis yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, kelompok orang-orang mukmin seperti itu akan memasuki surga 500 ratus tahun lebih dahulu daripada kelompok mukmin “kelas gedongan”.
Etik Dakwah
Sejumlah ayat, khususnya tentang kritik Allah yang eksplisit dimuat dalam Al-Qur’an berikut sebab-sebab yang melatarbelakangainya (asbab al-nuzul), menjadi dasar kode etik dakwah Islam, yaitu tidak melakukan diskriminasi sosial. Karena itu, seorang dai atau mubalig tidak boleh sama sekali memilih masyarakat yang hendak didakwahinya. Tidak boleh mendahulukan kelas gedongan dan elite, sementara kelas kampung yang becek ditinggalkan. Apalagi, jika kelas becek–terkadang telah disanggupi lebih dahulu–itu tiba-tiba dibatalkan karena ada permintaan dari kelompok elite.
Apabila ini dilakukan oleh dai atau mubalig, maka ia berhadapan dengan ayat-ayat tadi, di mana konsekuensinya adalah mendatangkan murka Allah meski boleh jadi di mata manusia hal itu kelihatan “hebat”.