Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Pembina Indonesia Care
Pedagang atau pebisnis, bukan. Apalagi pengusaha. Namun, begitu kaya. Menurut media yang mempersoalkannya, mereka ini–bukan satu dua orang–berani “membeli jabatan”. Yang dibeli “status” dan status yang dibeli–anehnya–juga tersedia. Pertanyaan saya berikutnya, apakah pembeli juga sekaligus–include di dalamnya–dengan kesediaan menanggung “dosa dari jabatan publik” yang ia beli?
Dari sisi legalitas, sudah pasti bukan “transaksi terbuka”. Bahkan, yang menjual sama-sama tidak ingin diketahui umum saat hal itu mereka lakukan. Dalam timbangan hukum dunia, hal itu selain tidak lazim, bahkan melanggar hukum formal di Indonesia. Bahasa orang awam, aktivitas jual beli itu pantas dicokok sebagai praktik yang patut dijerat hukum. Rasanya, tidak ada orang (pembeli jabatan) dengan sukarela mau dihukum, dibui karena pelanggaran. Dan penjual jabatan idem ditto, juga tidak ingin transaksinya diketahui umum.
Kepada jurnalis yang konon bersedia tidak menyebutkan sumber pun, potensial di satu sisi bisa menyatakan “sebagai saksi” dalam naungan justice collaboration karena sikapnya membantu penegak hukum; di sisi lain, jurnalis yang “tutup mulut”, tidak mau mengungkap sumbernya, alih-alih melindungi pelaku/penjual jabatan, dia pun bisa dijerat hukum atas nama justice collaboration karena keengganannya membantu penegak hukum. Alih-alih atas nama kebebasan pers, dalam perkara korupsi–termasuk jual beli jabatan–disamakan dengan melindungi kriminal. Saya teringat kata-kata bergambar pada sebuah t-shirt campaign antikorupsi, bunyinya, “Buanglah koruptor pada tempatnya!” T-shirt bergambar seekor tikus yang dibawa dengan jari, siap untuk dibuang.
Perang Tanpa Akhir Versus Korupsi
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 197 angka (1) huruf F, mengatur dan menyebutkan tentang surat putusan pemidanaan yang salah satu bagiannya membahas tentang “keadaan memberatkan dan meringankan terdakwa”. Dalam hal ini, keadaan meringankan meliputi memberikan keterangan yang tidak berbelit-belit, kooperatif, belum pernah dihukum sebelumnya, berusia muda, baik/sopan selama persidangan, dan memiliki tanggungan anggota keluarga.
Selain itu, keberadaan justice collaborator (JC) juga didukung dengan Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan Ketua LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) tentang Perlindungan bagi Pelapor, Whistle Blower, dan Justice Collaborator. Hampir sama dengan ketetapan dalam Pasal 37 UNCAC 2003, yaitu Pasal 26 United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime Tahun 2000 yang diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2009. Kriteria untuk menjadi JC tercantum dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 pada angka (9a) dan (b) dan keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM, yaitu digunakan dalam mengungkap tindak pidana yang luar biasa/terorganisasi; JC bukanlah pelaku utama; keterangan yang diberikan pelaku harus signifikan, relevan, dan andal; pelaku mengakui tindakan yang dilakukannya disertai kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dengan pernyataan tertulis; mau bekerja sama dan kooperatif dengan penegak hukum.
Masih mengenai JC, pada Pasal 37 ayat (2) UNCAC 2003 berbunyi, ” … mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan/penuntutan … .”
Pada bagian lain, Pasal 37 ayat (3) UNCAC 2003, disebutkan, ” … sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan ‘kekebalan penuntutan’ bagi pelaku yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan/penuntutan … .”
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berbunyi, “(1) Saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut atas laporan dan kesaksiannya; dan (2) saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.”
Ide Justice Collaborator
Gagasan justice collaborator bermula dari spirit untuk membongkar kasus yang lebih besar mengingat korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang melibatkan beberapa orang dalam satu lingkaran koordinasi untuk mencapai tujuan yang sama. Terkadang, para pelaku juga membentuk kerja sama yang kolutif dengan aparat penegak hukum serta membentuk jejaring komplotan koruptor yang solid. Berada dalam kelompok ini menimbulkan apa yang disebut dalam dunia psikologi sebagai paranoid solidarity, yaitu perasaan takut akan dikucilkan, dibenci, dan dijerumuskan dalam kelompok sehingga mau tak mau para pelaku akan saling melindungi satu sama lain.
Terlebih lagi, tindak pidana korupsi merupakan kelompok kejahatan kerah putih, yaitu kejahatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan dan kedudukan penting dalam institusi negara. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi biasa dilakukan oleh orang-orang yang cerdas, orang-orang yang mengerti seluk-beluk keuangan dan birokrasi dalam institusinya. Untuk menutupi perilakunya, para pelaku cenderung akan membuat sebuah skenario yang rapi dan sulit diidentifikasi oleh penyidik dan kejaksaan sehingga mempersulit proses pemeriksaan di dalam persidangan.
Sebagai contoh, kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Angelina Sondakh dan Nazaruddin yang juga menyeret nama Anas Urbaningrum. Dalam aksinya, mereka menggunakan istilah dan kode yang sulit dimengerti oleh orang awam, seperti “apel washington” dan “apel malang”. Oleh karenanya, akan sangat efektif dan efisien jika para penegak hukum mengajak para pelaku kejahatan untuk bekerja sama menyelesaikan kasus korupsi yang sedang ditangani dengan menjadi seorang JC, yang artinya para aktor itu sendiri yang akan “bercerita” tentang keseluruhan aksi korupsi yang dilakukan oleh komplotannya.
Dalam kasus lainnya, seperti kasus korupsi cek pelawat dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI), Miranda Goeltom, di mana Agus Condro berperan sebagai JC. Tudingan Agus terhadap 41 anggota DPR RI telah menerima suap dari Miranda Goeltom dan hal ini dibuktikan dengan penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Contoh lain adalah kasus korupsi pengadaan Wisma Atlet, di mana Mindo Rosalina Manulang dengan keterangannya berhasil menyeret Angelina Sondakh hingga berstatus sebagai tersangka bahkan sampai dijebloskan ke penjara.
Sebagian orang mengatakan bahwa keberadaan JC hanya digunakan sebagai sarana negoisasi para narapidana agar dapat lolos dari jeratan hukum dan opini yang tersebar mengatakan bahwa ini adalah wujud ketidakmampuan KPK dalam menangani kasus korupsi. Namun, kiranya kita perlu melihat sisi kemanfaatan dari keberadaan JC sebagai salah satu langkah yang luar biasa. Mungkin KPK akan mampu mengusut kasus korupsi tanpa bantuan JC sekalipun, tetapi sangat mungkin bahwa hal itu memakan waktu yang cukup lama, sedangkan keuangan dan stabilitas negara tidak dapat ditempatkan dalam kondisi yang tidak pasti karena dapat mengganggu laju pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di negara itu sendiri. Selain itu, besar kemungkinan bahwa aparat penegak hukum tidak akan menemukan ujung dari permasalahan ini sehingga kasus ini nantinya terbengkalai dan menguap begitu saja tanpa penyelesaian.
Sebut saja kasus wesel ekspor berjangka Unibank pada tahun 2006 yang menyebabkan kerugian hingga US$230 juta, kasus korupsi pengadaan jasa konsultan BPH Migas yang memakan uang sebesar Rp82 miliar, dan banyak kasus yang tak terselesaikan lainnya. JC juga bukanlah sarana negoisasi narapidana karena penjatuhan pidana berdasarkan asas pertimbangan rasa keadilan masyarakat tidak boleh terlanggarkan di sini. Sangatlah wajar apabila JC mendapatkan penghargaan atas keberaniannya mengungkap kejahatan besar yang diwujudkan dengan pemberian keringanan pemidanaan dan perlindungan. Kini, apa esensi dari memidana seorang koruptor dengan berat, tetapi keseluruhan dari jejaring pelakunya tidak terungkap? Maka, JC merupakan salah satu langkah konkret untuk menumpas korupsi hingga ke akar-akarnya. Wallahu a’lam bish-shawwab.