Oleh Rudy Gani, Wasekjen MN KAHMI
Ini kisah tentang Lebaran anak kiri. Berbeda dengan kisah Lebaran kaum glamor di kota-kota. Lebaran kiri adalah Lebarannya orang-orang pinggiran. Yang mudiknya saja harus kumpul uang berbulan-bulan lamanya.
Tujuan mereka sama, mengharap Tuhan menghargai usahanya saat Lebaran tiba. Mereka jarang mengagungkan sesuatu yang “baru” seperti layaknya orang-orang “the haves”. Meraka anti-kemapanan karena mereka memang tidak memiliki itu (baca: duit).
Bagi mereka, Lebaran adalah perkara iman. Kembali ke fitri, suci dan bersih. Makna ini berbeda dengan kelompok sebelah. Lebaran bagi anak kiri adalah sebuah keniscayaan bahwa perubahan itu ada dan akan tiba. Kapan datangnya, entahlah. Hanya Tuhan yang tahu.
Lebaran bagi anak kiri adalah momentum. Momen untuk beranjak dari derita dunia untuk mencicil surga. Bagi mereka, Lebaran adalah perayaan keagamaan yang berbeda dengan ritual agama lainnya. Sayangnya, Lebaran yang semestinya berangkat dari nilai ideal tersebut justru terlihat sebagai ajang pamer pencapaiaan “orang kota” di desa.
Ketika rombongan orang-orang kota datang ke kampung, desa, dan pelosok daerah, hanyalah kesombongan kota yang dipertontonkan mereka. Mudik tak ubahnya sebuah ritual yang nyatanya penuh derita dan kesombongan.
Mereka tanpa sadar memaksa orang desa mencapai apa yang orang kota capai. Jika “anak si anu bisa, kenapa anakku tak bisa?” Timbullah kompetisi. Berbondong-bondonglah keluarga desa menyuruh bahkan setengah memaksa anaknya ke kota agar berhasil pascamusim mudik tiba. Lalu, hilanglah generasi desa. Sawah tak diurus, Kebun tak bertuan. Hewan ternak digadai demi ongkosi sang anak selama di kota.
Bertahun sang anak di kota, harapan yang dinantikan tak kunjung tiba. Sang anak justru jadi kriminal di kota. Sebab, sang anak tak mendapat banyak asupan pengetahuan soal tinggal di kota. Ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri. Nasib inilah yang menimpa anak dari keluarga pemimpi. Kota tak menawarkan kemudahan seperti cerita orang-orang kota.
Petaka dan cerita ini timbul akibat kesombongan yang membuncah dari Lebaran ke Lebaran oleh orang kota. Mudik tak ubahnya ajang pesta pora penghamba materi dunia yang berjibaku memerangi yang cita dan realita!
Bagi anak kiri, mudik seharusnya adalah wadah pergerakan sosial bagi orang desa, bukan sebaliknya dikotori dengan “angin surga”. Sebab, yang selama ini terjadi, orang kota cuma pamer kepunyaan tanpa memikirkan bagaimana merevolusi pemikiran orang-orang di desanya.
Orang kota cuma menunjukkan punya rumah, punya jabatan, punya keluarga yang mapan, punya mobil, dan punya semua yang tidak dimiliki orang desa. Singkatnya, mereka pamerkan pencapaiaan semua yang dimilikinya kepada orang desa.
Mudik sudah menjadi ritual kapitalisme dalam beragama umat Islam Indonesia saat ini. Kapitalisme yang masuk hingga sendi-sendi keintiman umat Islam hingga meniadakan keadilan sejak dalam pikiran. Nilai-nilai kematerian yang berlebihan menyebabkan tumpulnya keberpihakan pada keadaan susah masyarakat desa. Ketika orang kota tiba, bukanlah penghormatan yang didapat, melainkan cibiran dan rasa iri yang muncul akibat telanjangnya orang kota memamerkan pencapaiaan yang diperolehnya.
Faktanya, kemiskinan di desa tetap saja berlangsung. Tak ada upaya memaknai silaturahmi Lebaran Idulfitri untuk mengangkat kemiskinan di desa menjadi semakin berkurang. Makna Lebaran menjadi hiasan belaka. Tak ada daya serta upaya serius menangani kemiskinan di desa-desa sebagaimana disinggung di atas.
Lebaran dan mudik tak ubahnya seperti rubah dan serigala, berkejaran dan tak sebanding. Makin jauh mudik dilakukan, makin jauh pula makna dan hakiki Lebaran yang sejatinya diinginkan. Di sinilah kritik anak kiri menemukan jalannya. Ritual agama hanya menjadi ritual tanpa makna. Lebaran hanya menjadi ajang tak berkesudahan untuk memamerkan pencapaian. Setelah itu, mereka kembali ke kota dengan sikap angkuh khas orang kota.
Akankah mudik selalu begini saja?