Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care
Ada yang begitu sulit diubah: persepsi. Berbilang tahun, kendati peristiwanya telah lama berlalu, selalu ada pelanjut aksi kekerasan bermotif dendam dari sejumlah orang yang merasakan terabaikan setelah anggota keluarganya menjadi korban kekerasan. Ada yang telah lama berlalu, keturunannya “merasa” mendapat mandat untuk membalas dendam nestapa kepala keluarganya. Pelakunya di masa lalu dibingkai aksi “pembersihan” sisa-sisa kelompok yang disebut GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Nyaris orang-orangnya diburu dan ditumpas. Menyisakan anak dan keturunannya, yang secara gradual tumbuh dewasa, mewarisi kisah kelam itu tanpa sempat mencicipi keadilan. Secara politik, peristiwa itu “terlupakan” dengan perubahan langgam politik. GAM ditimpali perdamaian Helsinki. Peristiwa yang mencuat sejak 1976 sampai berakhir dengan perdamaian Helsinki 2005 berhasil menjadikan perlawanan GAM dicoret dari catatan hitam NKRI. Boleh dikatakan, mereka–anak dan keturunannya yang diselimuti dendam–sadar bahwa pendulum politik telah berubah.
Di masa berikutnya, mencuat pula terorisme di Poso, yang cukup awet dalam memori publik. Meskipun tidak mengental seperti GAM, memori publik melihatnya ada aksi sporadis yang kemudian menjadi fenomenal dan memicu dendam. Mengapa? Publik telanjur memandang Poso sarang teroris dan pelakunya menjadi terstigma sebagai teroris. Tersebut nama Ali Kora sebagai pimpinan telah tewas ditembak. Kelompok ini disebut MIT (Mujahidin Indonesia Timur). Yang ini masih relatif kekinian, jejak digital peristiwanya masih terjadi perburuan pelaku sampai April 2020 (akhirnya ditembak mati).
Dalam peristiwa kekerasan, yang berakhir penembakan, ada dua hal yang mengemuka, penelusuran peristiwanya (terorisme) dan penembakannnya. Pertanyaannya, benarkah korban penembakan itu sebenar-benarnya teroris? Kebenaran tentu bukan pembenaran. Perlu kejelian dan kelegawaan memandang peristiwa terorisme. Legawa agar mampu mengulik yang benar itu benar dan yang salah itu salah karena persepsi sebuah peristiwa atas seseorang sangat bergantung pihak yang mengungkapkannya. Salah ungkap bisa mengundang kontroversi. “Keterlanjuran” penembakan itu potensial memicu dendam. Menegakkan keadilan tanpa kecuali menjadi solusi menepis dendam. Tanpa keadilan, bara dendam tidak pernah padam. Keadilan bisa menjadi koridor pengaman untuk mengakhiri dendam. Alangkah indahnya sikap ikhlas atas kematian yang menimpa seseorang jika korban dan keluarganya ikhlas. Allah membalasnya dengan surga jannatunna’im. Balasan tertinggal saat kematian itu diterima korban sebagai kesyahidan, balasan terindah bagi seorang hamba Allah. Problem belum tuntas bagi keluarganya. Meski sudah ikhlas, masih mendapat stigma keluarga teroris.
Kuncinya, Rasa Percaya
Penanganan teroris dilandasi rasa percaya atas perlakuan polisi, bahwa yang mereka buruk dan bunuh benar-benar teroris. Sehingga sah polisi memburu–lalu–membunuhnya. Publik bertanya, mengapa langsung “main bunuh” seolah-olah teroris itu hama? Alih-alih ditangkap, langsung dihabisi. Keahlian negosiasi menjadi SOP perburuan teroris meskipun “tembak mati” kerap menjadi penyelesaiannya. Seperti ada “keharusan” yang berkaitan dengan arus pembelian dalam jumlah besar senjata. Publik perlu diyakinkan dana pembelian senjata itu benar-benar untuk membasmi terorisme dan bukan pesanan policy negara (asing) produsen senjata.
Di sisi lain, gelombang perburuan teroris diusik sejumlah fakta kejadian “rencana pembunuhan” dan “pengakuan pelaku” pembunuhan atas ulama. Yang menonjol, pelaku “tiba-tiba gila” dan tak bisa diusut. Fakta ini memicu persepsi minor yang mengusi rasa percaya publik kepada polisi. Sebuah buku menarik yang ditulis Ngasiman Djoyonegoro, Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional (2018). Ngasiman menulis, “Privasi dan berbagai informasi rahasia dapat dengan mudah dihancurkan oleh para pelaku kejahatan siber ini, di mana bila eskalasinya meluas, dapat membuat keresahan yang meluas pada masyarakat.”
Dunia menghadapi alert (peringatan) adanya serangan, terutama instansi publik yang strategis. Yang belum ini terjadi, ada pihak yang menjual 29.000 akun email individu dengan harga USD5, sementara pada case lain, ada pihak yang dapat memberikan informasi terkait dengan rekening bank individu yang memiliki uang di atas Rp100 juta dengan uang USD300 atau situs yang menawarkan jasa merusak website dengan kisaran tarif USD3-5 per situs webnya. Pada zaman yang kian modern ini, alih-alih menggerakkan seluruh energi menghadapi kian beragam tantangan serangan kriminal siber, publik juga melihat pelibatan masif buzzer yang bekerja dengan motif politik.
Solusi
Merelaksasi pikiran dari dendam, spiritual healing, langkah realistis terutama kepada “pengidap dendam” sembari menegakkan keadilan. Memang untuk menegakkan keadilan tidak mudah, barrier untuk itu berlapis-lapis. Tidak mudah namun bukan tidak mungkin, asal ada keinginan menegakkan keadilan. Bahwa Yang Mahaadil akan memberi balasan seadil-adilnya karena Yang Mahaadil itu juga sekaligus Maha Membalas dengan keadilannya. Menyadari itu jauh lebih penting ketimbang mencari-cari cara lain. Dalam istilah dunia kemanusiaan, tidak ada yang lebih cespleng dari cara langit.
Kini, mengulik jagat siber, makin kompleks perangnya. Perang siber lebih dahsyat, menelusup dalam kognisi masyarakat. Mungkin tak sedahsyat dampak fisiknya, tetapi pikiran masyarakat dirusak. Konflik dan perang tidak lagi terjadi di alam nyata, tetapi merusak. Ini yang disebut ghazful fikri (perang pemikiran). Daya rusaknya tidak terlihat, tetapi tidak kalah impaknya. Kita tengah memasuki zaman yang disebut orang Jawa sebagai “kalabendu”, zaman penuh kesengsaraan. Ini masa di mana fitnah menyebar di mana-mana; keluarga terpecah-belah; kehidupan susah; korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela; dan para pemimpin kehilangan wibawa.
Pada alinea ini, saya menitip tanya, seperti judul tulisan ini, mengapa mengubah sudut pandang begitu sulit? Kesulitan itu ada pada kemauan mengubahnya atau ada pada impak dari “tidak mau melakukan” atau “tidak ingin melakukannya” karena punya implikasi tidak mau atau tidak ingin melakukannya. Wallahualam bissawab.