Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Untad serta Pembina Indonesia Care
Munas KAHMI yang akan digelar di Kota Palu, November 2022 mendatang, akan mengetangahkan tiga topik utama: konflik horizontal (menepis stigma negatif terhadap kondisi objektif di Poso hari ini); kebencanaan (mendorong recovery Pasigala [Palu-Sigi-Donggala, daerah yang pernah dipapar bencana] dan penyediaan lapangan kerja bagi penyintas); dan UMKM (mendorong aksi, kreasi, dan produksi UMKM berbasis komunitas/keumatan). Selain itu, ada topik lain: bagaimana KAHMI merespons rencana pembentukan Ibu Kota Negara/IKN (optimalisasi objektif atas potensi Sulawesi Tengah, dalam berbagai aspek dan sektor untuk mendukung kinerja Nusantara sebagai Ibu Kota Negara).
Salah satu yang akan diperbincangkan, ikhtiar mendalam untuk menggulirkan wacana yang disebut “smart syariah”. Ini semangat perlawanan atas gelombang masif gerakan sistemik deradikalisasi yang gebyah-uyah; asal mengusung Islam, dilabeli radikal! Termasuk bersyariah (mengedepankan segala sendi keagamaan sebagai hak asasi muslimin di Indonesia). Karena itu, dalam sebuah perbincangan, seorang alumnus Cabang Palu, Setia Budi, mengingatkan, “Jangan hanya menarik pada diksi, perlu dipikirkan langkah yang menukik pada kedalaman ide dan konsep yang menguatkan inklusivisme, yang menjadi dasar dari kultur ke-HMI-an.”
Tentang ide smart syariah ini, Andi Mulhanan Tombolotutu mengungkapkan, pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) didesain untuk bisa merespons produk lokal dan pabrikan. Hak itu bisa melalui dua pendekatan. Alumnus yang juga menjadi Ketua Majelis Wilayah (MW) Sulteng ini meneruskan, “Pendekatan itu, pertama, melalui KAHMIPay (KPay) yang sedang dipersiapkan oleh Majelis Nasional melalui PT Insan Cita Mandiri Sejahtera. Ini adalah model transaksi digital untuk berbagai kebutuhan sehari-hari. Kedua, dengan KAHMI Mart (KMart). Semalam kita rencana akan memberdayakan kios yang ada dengan mengajak kerja sama (redesign branding model/bentuk kios) diawali pelatihan manajemen, pendampingan pengelolaan, tambahan modal usaha, dan pasokan barang agar lebih lengkap.”
Untuk itu, “Butuh persiapan dalam bentuk proposal kegiatan, menyiapkan tim untuk melakukan kerja sama dengan pemilik kios dengan branding baru, KMart,” kata alumnus yang bisa disapa Kak Tonny ini. Ia pun melanjutkan, “Keuntungan dari program KMart adalah memberdayakan kios-kios yang ada dengan tambahan modal dan barang, pengelolaan secara profesional, tanpa investasi tempat usaha kecuali hanya untuk rebranding di setiap kios yang bersedia kerja sama dengan Tim Kerja KMart.”
Menyambung paparan Andi Mulhanan, alumnus lainnya, Nurmarjani Loelembah, mengatakan, “Ikhtiar mewujudkan itu, pemberdayaan pada pelaku UMKM, kita berawal dari masjid dan surau yang ada di Palu. Masjid menjadi sentra bisnis dari pelaku UKM yang dekat di masjid dan surau. Kita perlu menyiapkan infrastruktur dari hulu ke hilirnya, khususnya akses pelatihan dan permodalannya serta akses pasar di hilirnya.” Alumnus yang biasa disapa Nani ini melanjutkan, “Dengan gagasan itu, setidaknya ada dua tipe: masjid pasar yang memiliki toko/supermarket dan masjid atau surau produksi.” Termasuk Masjid Agung di Palu, tepat menjadi masjid toko seperti yang digagas Ketua DMI Sulteng dengan DMIMart.
Smart Syariah
Berangkat dari perspektif berpikir kekinian, memahami bisnis syariah tanpa memicu pandangan negatif, gagasan smart syariah sangat relevan. Alumnus lainnya, Mukhsin yang juga beraktivitas di Indonesia Care mengatakan, “Pewujudan smart syariah ini bisa dengan (1) menjadikan menjual produk UMKM yang dihasilkan jemaah sekitar masjid ke DMIMart, (2) KPay HMI layaknya link saja yang bisa digunakan jemaah untuk belanja di DMIMart, (3) logistik menggunakan gudang produk UMKM milik DMIMart.” Mukhsin melanjutkan, “Dari ketiga poin ini, jika kita bisa sinergikan dengan DMI, insyaallah luar biasa.”
Kesyariahan bisnisnya dikomentari Nurmarjani. “Jika programnya dilakukan oleh lembaga Islam apalagi masjid menjadi berdaya, tanpa embel-embel syariah pun mestinya dikelola secara syariah berdasarkan prinsip keislaman.” Tentang ini, Mukhsin setuju. “Bicara masjid, sudah otomatis seperti itu. Syar’i dan halal prosesnya.” Untuk memastikan efek pemberdayaannya, Nani menegaskan, “Pihak DMIMart harus menampung atau menjadikan DMIMart gerai yang mengakomodir produk-produk masyarakat seputar masjid sebagai bentuk keberpihakannya peda pemberdayaan yang berbasis kearifan lokal.”
Sebagai “pembelajaran”, saya mengungkap pembelajaran yang pernah dilakukan sebuah organisasi kemanusiaan nasional yang memadukan mart atau toko (murni profit) dengan sosial lewat pemberdayaan perempuan ibu tunggal yang punya anak yatim. Idealnya, mart (toko) ini menampung produksi yang tidak hanya pabrikan (olahan pabrik), tetapi juga mengakomodasi usaha masyarakat–katakanlah jemaah sekitar masjid. Secara gradual, produk primer yang tadinya ditampung mart (toko) itu “hilang”, semua isi toko barang pabrikan. Maka, dalam tempo singkat, mart (toko) itu hanya menjadi marketer dari perusahaan pemasok (barang pabrikan). “Toko itu tidak bisa dinikmati langsung oleh masyarakat/jemaah sekitar masjid. Supplier untung tanpa menggerakkan jemaah. Adanya gudang cuma tempat menyimpan stok produksi yang dibuat pihak supplier,” jelas saya.
Maka, saya tambahkan, “Sharing keuntungan dari marjin penjualan itu pun tidak pernah signifikan. Habis untuk menggaji petugas toko. Kecuali ada pembekalan teknis produksi, termasuk branding strategi, manajemen penataan toko, manajemen keuangan, strategi marketing, dan lain-lain. Ini tantangan pemberdayaan. Tanpa imbuhan kata masjid saja, usaha pemberdayaan UMKM sudah hal yang butuh effort.”
Alumnus asal Cabang Palu, Setia Budi, berpandangan, “Semangat DMIMart atau Kios KAHMI dimaksudkan berbasis pada produk UMKM, baik kuliner, fashion, kriya, merchandise, maupun produk kreatif lainnya.” Strategi bernuansa smart diwakili penggunaan KPayment dan berbasis aplikasi jemaah masjid yang bisa berbelanja di DMIMart.