Oleh Rudy Gani, Wakil Sekretaris Jenderal MN KAHMI
Diskusi persoalan seni dan budaya praktis belum menjadi wacana mainstream penggerak dan pengurus KAHMI, baik di pusat dan daerah. Hal ini terlihat jelas dari bagaimana wacana-wacana kesenian dan kebudayaan belum menjadi tema-tema diskusi yang diselengarakan KAHMI, baik di tingkat nasional dan daerah.
Oleh karena itu, berdasarkan fakta ini, penulis menyimpulkan bahwa gairah keseniaan dan berkeseniaan di KAHMI masih belum semarak apabila dibandingkan dengan wacana kekuasaan dan perebutan jabatan (politik an sich). Namun, bukan berarti KAHMI tidak konsen pada kehidupan seni dan kebudayaan bangsa. Tudingan ini tentu saja bisa dibantah.
Dalam konsep Trisakti yang digelorakan semangatnya oleh Bung Karno, selain politik dan ekonomi, kemandiriaan dalam hal kebudayaan juga menjadi satu kesatuan.
Ketika politik menjadi penglimanya, maka perilaku rakus dan tamak pada jabatan dan kekuasaan akan nampak lebih mengemuka. Sebagaimana mungkin yang dirasakan akhir-akhir ini. Begitu pula ketika ekonomi berbasis angka-angka menjadi satu-satunya orientasi yang dikejar pemerintah, maka terjadilah apa yang dinamakan oligarki, yang kini juga makin terasakan akibatnya.
Ekonomi berbasis modal justru menyuburkan oligarki: yang kaya makin kaya, yang miskin makin putus asa. Maka, kata Bung Karno, konsep politik, ekonomi, dan kebudayaan seharusnya dan memang bergandengan pada kemandiriaan dalam kebudayaan yang genuine langsung dari Indonesia.
Krisis multidimensi ini, menurut penulis, salah satunya disebakan kurang berbudayanya kita dalam kehidupan sehari-hari. Lihatlah bagaimana gempuran budaya luar masuk tanpa bisa kita filter untuk anak-anak kita. Lihatlah bagaimana adat ketimuran yang selama ini dijunjung tinggi tampak makin sirna dan hilang karena anak-anak muda terlanjur dicekoki budaya Barat yang serba “egaliter”. Padahal, adat kita sangatlah berbeda dengan nilai-nilai Barat yang menuhankan individualismenya dalam segi apa pun.
Budaya gotong royong telah sirna. Gotong royong sebagai sebuah nilai kebudayaan agung itu kini dimuseumkan alias enggak updated. Hasilnya, anak-anak muda kita kini menjadi warga negara yang cuek dan asosial sehingga tidak lagi memedulikan kesulitan yang orang lain terima.
Berbagai kondisi ini tentu saja akan panjang jika diuraikan satu persatu. Yang jelas, persoalan kita hari ini bukanlah “kurang pintarnya” pejabat, pengusaha, politisi, dosen, pemuka agama, dan aktivis-aktivis yang kita punya.
Tetapi, bagi republik yang sakit, pintar saja tidak cukup. Ia, sebagaimana kata Bung Karno, harus jadi manusia berbudaya, yaitu budaya Indonesia. Bukan kebarat-baratan, bukan pula kearab-araban. Ia harus berakar kuat dalam diri dan bersumber langsung dari kepribadiaan Pancasila.
Tanpa budaya, tanpa “rasa”, maka jangan berharap negara ini dikelola secara Pancasila karena yang akan muncul hanyalah ego dan mengutamakan tujuan pragmatis belaka. Sebab, manusia berbudaya akan menuhankan etika, adab, dan rasa malu dalam pergaulannya. Bukan sebaliknya, malah menuhankan segala materi dunia yang sesungguhnya bertolak belakang dengan konsep manusia berbudaya Pancasila. Oleh karena itu, sudah saatnya KAHMI mewacanakan kembali kebudayaan bangsa sebagai panglima yang membuat Indonesia bangga menjadi sebuah negara.
Karena jika suatu bangsa itu kehilangan karakternya (budaya), maka hilanglah semuanya. Harapannya, KAHMI dapat memfasilitasi berbagai persoalan yang ada, khususnya dalam bidang kebudayaan dan keseniaan.
KAHMI memiliki peran strategis untuk itu. Maka, satu-satunya cara untuk dapat membangun bangsa adalah dengan bersama-sama kelompok seniman dan budayawan menggerakkan lagi propaganda kebudayaan Indonesia yang genuine tanpa embel-embel agama dan etnis tertentu. Di sinilah letak strategis KAHMI dalam konteks kebudayaan dan keseniaan memainkan perannya saat ini.