Oleh Iqbal Setyarso, alumnus HMI Cabang Palu dan alumnus FISIP Universitas Tadulako 1992, Pembina Indonesia Care
Organisasi yang cukup berumur di Indonesia, Himpuan Mahasiswa Islam (HMI). Lahir 5 Februari 1947, bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H. Organisasi ini mengiringi berdirinya Republik Indonesia dan ikut pasang-surut negeri ini, ikut berjuang dalam perjuangan kemerdekaan. Dalam usia 75 tahun, HMI sangat intens mengembangkan diri dan hingga kini, cabang-cabangnya telah hadir di seluruh provinsi di Indonesia juga di beberapa negara. Dalam struktur organisasi HMI, ada 20 badan koordinasi (badko) dari Aceh hingga Papua Barat. Di tiap badko memiliki enam hingga 22 cabang di daerah setingkat provinsi.
Mengapa HMI dulu berdiri? Apa latar belakangnya? Menurut Agussalim Sitompul, latar belakang berdirinya HMI ada tiga faktor. Pertama, situasi Negara Kesatuan Republik Indonesia; kedua, kondisi umat Islam Indonesia; dan ketiga, situasi perguruan tinggi dan kemahasiswaan (Agussalim Sitompul, 2008). Berarti, ada kejuangan di satu sisi, dan dakwah pada sisi lainnya, dan sebutan “mahasiswa” menjadikannya mediator dalam aksi itu. Ini realitas saat didirikannya dahulu.
Bagaimana dilihat jauh setelahnya? Katakanlah setelah 75 tahun berdiri? Sejumlah hal sudah sangat jauh berubah. Geopolitik Indonesia sudah pasti berubah. Indonesia pernah mendorong dan menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika (April 1955), merintis perlawanan Oldefo (Old Established Forces, negara-negara kapitalis yang condong pada kolonialisme), dan Nefo (Newly Emerging Forces), gagasan Bung Karno pada Konferensi Negara-Negara Nonblok bulan September 1961.
Pendulum situasi juga berubah. Zaman Presiden Soeharto beda dengan zaman Presiden Joko Widodo. Kini, ada banyak menteri di kabinet Presiden Joko Widodo. Dari Mahfud MD, Muhadjir Effendy, Suharso Monoarfa, Sofyan Djalil, Syahrul Yasin Limpo, Bahlil Lahadalia, dan lain-lain. Ada pertanyaan awam, apakah keberadaan banyak menteri telah menunjukkan umat Islam makin baik kehidupannya? Sebuah pertanyaan retorik!
Sepotong Cerita Selebrasi
Tersiar kabar bahwa Majelis Nasional Korps Alumni HMI (KAHMI) menetapkan Musyawarah Nasional (Munas) XI KAHMI tahun 2022 di Kota Palu. Penetapan itu menjadi perhelatan nasional pertama dalam masa pandemi yang memasuki tahun ketiga ini. Hal itu menjadikan Palu sebagai kota terpilih setelah bersaing ketat dengan Manado karena kuatnya citra Palu sebagai kota yang mengalami tripel bencana: likuefaksi, gempa, dan tsunami.
“Munas direncanakan akan berlangsung 20-22 November 2022. Peristiwa nasional itu diperkirakan akan dihadiri lebih dari 5.000 peserta,” jelas Ketua Umum Majelis Wilayah (MW) KAHMI Sulawesi Tengah, Andi Mulhanan Tombolotutu. Melengkapi struktur kepanitiaan, Rakorwil MW KAHMI Sulteng menetapkan Mohammad Tavip Abdul Karim sebagai Ketua Panitia Munas, Ruslan T. Sangadji sebagai Sekretaris, dan Andi Kaimuddin sebagai Bendahara.
Bisalah saya katakan, inilah (Munas KAHMI) selebrasi kebangsaan dan sekaligus kemanusiaan. Tercetus tanya, apa yang menandai kata “kebangsaan” dan “kemanusiaan” pada acara Munas KAHMI itu? Ada dua sebab. Pertama, bertempat di titik parah bencana alam: Sulawesi Tengah. Kedua, kemanusiaan–sudah pasti menjadi tema yang sangat mengemuka pada event itu. Pada hari-hari tatkala peristiwa kemanusiaan itu berlangsung bahkan hingga hari ini–seperti disaksikan warga Sulawasi Tengah, sejumlah orang masih tinggal di selter. Ada salah satu surat yang diterbitkan Majelis Nasional KAHMI mengundang peserta untuk mengajukan usulan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KAHMI.
Berefleksi dengan sejumlah fakta, tulisan ini mendorong saya menyadari saat ini sejumlah situasi berubah. Dunia tengah berubah. Bencana alam kian intens. Juga pandemi nyaris tak berkesudahan. Telah memasuki tahun ketiga! Fakta ini menstimulus penyikapan kita pada lingkungan sekitar kita: kian aware, peduli protokol kesehatan (dengan mengenakan masker, rajin mencuci tangan, dan social distancing).
Kondisi ini bukan saja menstimulus kita aware, tetapi juga secara kolektif siaga bencana di satu sisi, juga siaga membantu sesama bagi yang mampu. Tanpa “perintah” atau “surat pemberitahuan”, manusia mana pun niscaya memedulikan sesama; niat untuk mengulurkan bantuan menjadi bagian dari kemanusiaannya.
Realitas hari ini–di satu sisi, bencana (alam) dan bencana kesehatan (medis) begitu keras mendera (ketika dunia diterpa pandemi Covid-19, di sisi lain–panggilan menolong sesama manusia nyaring berkumandang. Sulawesi Tengah–khususnya Kota Palu–menjadi ikon dengan tripel bencana: likuefaksi, gempa, dan tsunami. Itu alasan ampuh yang sukses membuat tim seleksi bakal lokasi munas memilih Kota Palu sebagai tempat Munas XI 2022. Dua tempat berkompetisi ketat: Manado, Sulawesi Utara, dan Palu, Sulawesi Tengah. Akhirnya, terpilihlah Kota Palu sebagai tuan rumah Munas XI KAHMI.
Perspektif Baru
Pada Munas XI ini mengemuka pandangan untuk menjadikan event ini melahirkan sejumlah kebaruan. Kebaruan menjadi keniscayaan dari segi perkembangan zaman telah mengalami perubahan. Misalnya, teknologi berkembang pesat. Ekosistem umat manusia juga telah banyak berubah. Perkembangan alam juga kian intens diterpa sejumlah bencana, baik alam maupun nonalam.
Hal-hal itulah pendorong insan HMI juga tak bisa menampik dorongan untuk berubah. Sejumlah hal disodorkan untuk bisa diubah. Pertama, kurikulum pengaderan menghadapi konsekuensi logis untuk berubah. Satu hal yang menarik, perubahan alam yang diikuti intensitas bencana mendorong dimuatnya kerelawanan sebagai materi pengaderan. Istilah lain untuk kerelawanan adalah sociopreneurship atau kemahiran sosial–sebuah kapasitas yang harus dimiliki kader HMI, yaitu “keterampilan sosial”, seni mengelola manusia: menolong dan menyelamatkan (korban kemanusiaan) dengan penguasaan medis dan skill rescue: water rescue, fire rescue, dan vertical rescue.
Memilih Kota Palu sebagai tempat Munas KAHMI telah menstimulus kebaruan performa pengaderan HMI. Menjadikan kader HMI dikuatkan jiwa kerelawanannya. Perbandingannya, HMI lahir saat kepahlawanan dibutuhkan negara. Pada zaman kini, kerelawanan menjadi roh kebaruan yang mengisi jiwa kader HMI.
Kedua, habit kader-kader HMI tidak lagi “biasa-biasa saja”. Secara verbal, memang ternyatakan sebagai “insan cita HMI: kualitas insan akademis, kualitas insan pencipta, kualitas insan pengabdi, kualitas insan yang bernapaskan Islam”. Lebih dari itu, ia juga bermental filantropis.
Dua hal kebaruan yang diimplan dalam pengaderan HMI bak dua sisi dari sekeping mata uang: kerelawanan dengan filantropi (kedermawanan). Ia satu tarikan napas, tiada kerelawanan tanpa kedermawanan; tiada kedermawanan tanpa kerelawanan. Yakusa, yakin usaha sampai.