Kahminasional.com, Jakarta – Pemerintah dinilai menggunakan “kacamata kuda” dalam mencabut ribuan izin usaha pertambangan (IUP) dan IUP khusus (IUPK) pada awal 2022. Pangkalnya, hanya memedomani Pasal 119 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Pengamat kebijakan pertambangan, La Ode Ida, berpendapat demikian karena sanksi itu dikeluarkan tanpa didahului peringatan secara lisan dan surat peringatan (SP) pertama hingga ketiga.
“Peringatannya harusnya lisan dulu, baru tertulis 1-2-3, baru mengambil kebijakan [pencabutan IUP/IUPK],” ucapnya dalam webinar “Legalitas dan Transparansi Pencabutan IUP Operasi Produksi dan Percepatan RKAB 2022 untuk PEN Sektor Minerba Pascapandemi Covid-19″, Rabu (16/3).
“[Tetapi] Ini tanpa peringatan. Artinya, ‘kacamata kuda’. Tidak boleh. Kebijakan yang berdasarkan kacamata kuda itu akan banyak berimplikasi negatif pada pihak-pihak yang harusnya dilayani dengan baik,” imbuh dia.
Imbasnya, masyarakat akan resah bahkan berpotensi memicu terjadinya masalah sosial baru. Misi meningkatkan pendapatan negara/daerah melalui investasi pun bakal sulit tercapai. Padahal, investasi di sektor pertambangan membutuhkan modal sekitar puluhan miliar.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 Januari mengumumkan, sebanyak 2.078 IUP dicabut. Dalihnya, sesuai Pasal 119 UU Minerba, seperti tak menyampaikan rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) tahunan atau melanggar regulasi, izin yang diperoleh tidak dikerjakan, dan/atau perusahaan dinyatakan pailit.
La Ode menerangkan, pihak-pihak yang dirugikan tidak hanya pengusaha yang IUP/IUPK-nya dicabut pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM setelah menerima rekomendasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tetapi juga masyarakat luas. Alasannya, kebijakan ataupun pelayanan publik bermuara pada kesejahteraan rakyat.
“Jadi, ketika memberikan pelayanan yang baik kepada pebisnis atau yang berkaitan dengan rakyat itu sebenarnya menjadikan rakyat memperoleh harapan hidup atau memperoleh pendapatan yang berasal dari kegiatan bisnis itu,” jelasnya.
“Sebaliknya, kalau meniadakan kegiatan bisnis atau menghambat pelayanan di sektor pertambangan ini sama saja menjadikan rakyat terhambat atau bahkan terhenti pekerjaannya,” sambung mantan senator asal Sulawesi Tenggara (Sultra) ini.
Bagi La Ode, langkah pemerintah mencabut IUP/IUPK dan hanya merujuk UU Minerba tanpa mempertimbangkan regulasi lain atau yang terkait tergolong berbahaya. Alasannya, menunjukkan kompetensi pengambil kebijakan sebagai pelayan publik sangat rendah.
“Pengambil kebijakan harus komprehensif kalau melihat masalah sebelum mengambil kebijakannya sendiri. Jadi, jangan alasan karena ada pasal menyatakan, kalau tidak mengajukan RKAB, maka harus dicabut. Pencabutan itu harus ada mekanismenya,” bebernya.
Masukan
Semestinya, menurut La Ode, pemerintah juga memperhatikan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Berikutnya, melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik sebelum secara resmi mengeluarkan keputusan. “Ini belum dikasih tahu, orang-orang yang masih [pegang IUP/IUPK tiba-tiba] dicabut, tidak dikasih peringatan, dan sebagainya,” katanya.
Dia lantas menyarankan pemerintah mengoreksi keputusan tersebut. Tujuannya, memastikan masyarakat tidak dirugikan akibat investasi yang tidak berjalan imbas kebijakan itu.
“Jangan malu-malulah. Kalau kebijakan yang salah itu, kan, bisa dievalusi secara gentle,” ujarnya.
Apalagi, Ditjen Minerba Kementerian ESDM, yang bertugas memberikan pertimbangan, tidak mengalami penambahan personalia pasca-kewenangannya bertambah menyusul diterbitkannya UU 3/2020 dan membuat kewenangan perizinan berada di pusat, bukan lagi oleh pemerintah daerah (pemda).
“Jadi, ‘bongkok’ sebenarnya orang di Minerba sebenarnya. Jadi, ya, harusnya ‘lempar handuk’ ini,” seloroh mantan anggota Ombudsman RI (ORI) itu.
La Ode juga menyarankan Ditjen Minerba Kementerian ESDM melakukan diskresi pelayanan RKAB, yang disebutnya desentralisasi terpusat. Dalam pelaksanaannya, melibatkan aparat daerah, yang sebelumnya sempat mengurus perizinan sektor pertambangan.
Lalu, membentuk satuan tugas (satgas) penyelesaian masalah dan tak melemparkan masalah ke luar instansi. Pengadilan atau Ombudsman, misalnya.
“Itu fatal nanti. [Artinya] birokrasi yang tidak beradab [karena] itu hanya memperpanjang rantai kesengsaraan para investor, terhambatnya pendapatan masyarakat yang berharap dari sektor itu,” urainya.
Apabila kebijakan tersebut tidak dievaluasi, pemerintah terancam digugat oleh para pengusaha yang IUP/IUPK-nya dicabut. Tidak menuntut peluang pemerintah dituntut mengganti kerugian yang timbul akibat keputusan itu. “Sanggup enggak?” tanya La Ode.
Dalam webinar ini, yang merupakan agenda rutin Kajian Reboan dan digelar Lembaga Kajian Strategis Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (LKS MN KAHMI), turut menghadirkan beberapa pembicara. Salah satunya, Dirtipidter Bareskrim Polri, Brigjen Pipit Rismanto.
Kemudian, Staf Khusus Menteri ESDM, Irwandy Arif; Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno; pakar hukum pertambangan, Abrar Saleng; dan akademisi Universitas Tarumanegara (Untar), Ahmad Redi.