Oleh Fathorrahman Fadli, akademisi Universitas Pamulang
Berhati-hatilah dengan hati-hati. Sebab, hati tak seperti bening embun pagi yang menyepi.
Ada saat, di suatu gurun pasir berdebu nan luas, Tuhan melukiskan hati manusia yang luas tak bertepi. Ia sulit untuk diduga seberapa tinggi kedalamannya dan seberapa jauh keluasannya. Kedalaman hati juga sulit dimengerti nalar. Ia hanya bisa dipahami dengan kecekatan rasa. Walau terkadang rasa itu juga kerap berubah karena situasinya.
Tuhan pernah melukiskan perkara hati ini dalam Al-Qur’an secara sinistik. Tuhan berfirman, “Orang-orang itu mengira bahwa mereka terlihat bersatu padu, padahal hati mereka sejatinya telah bercerai-berai.”
Bersatu tetapi bercerai-berai adalah lukisan hidup yang sinistikal. Ia memberikan petunjuk pada manusia tentang perumpamaan-perumpamaan hidup yang kerap berkebalikan; bersatu namun bercerai-berai.
Berkumpul namun membeda-bedakan. Bergumul namun tak melebur. Bereaksi namun tak bersenyawa. Berkiblat namun tak menghadap. Bekerja namun tak berkeringat.
Berhasil namun tanpa hasil. Menjiwai namun tanpa raga. Mengguncang tetapi tak bergerak. Gelisah namun tidak resah. Tertawa namun tanpa rasa. Bergiat meski tanpa sebab. Menghukum tanpa ampunan. Semua itu adalah lukisan hidup dunia yang jelas-jelas fana.
Tuhan dalam aneka pemahaman manusia berilmu seringkali berbeda. Bukan karena pahamnya berbeda, melainkan karena metode penalarannya berbeda. Hasil itu sejatinya hanya akibat dari konsistensi dan kedisiplinan mengikuti alurnya. Begitulah Tuhan memberikan jalan-jalan nalar manusia dengan kebebasan yang ilmiah.
Hati manusia yang berkumpul dan tetap tercerai-berai adalah lukisan Al-Qur’an atas orang-orang musyrikin, di mana satu dengan yang lain saling membinasakan.
Agar lebih jelas, ada baiknya saya sitir QS Al-Hasyr (59) ayat 13 ini sangat menarik untuk kita renungkan.
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada berakal.”
Secara singkat di antara penafsiran ayat di atas adalah tahsabuhum jami’an, maksudnya orang-orang munafik dan ahli kitab, mereka menyangka berada dalam sebuah persatuan. Wa qubulubum syatta, hati mereka berpecah belah karena permusuhan yang dahsyat kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Ayat tersebut salah satu gambaran tentang dahsyatnya perpecahan di antara kelompok ahlul bathil. Namun, mereka selalu bersatu dalam memerangi ahlul haq, sebagaimana bunyi kutipan berikut:
فَأَهْلٌ الْبَاطِلُ مُخْتَلِفَةٌ آرَاؤُهُمْ، مُخْتَلِفَةٌ شَهَادَتُهُمْ، مُخْتَلِفَةٌ أَهْوَاؤُهُمْ وَهُمْ مُجْتَمِعُونَ فِي عَدَاوَةِ أَهْلِ الْحَقِّ
“Pejuang kebatilan selalu berselisih dalam segala hal baik pemikiran mereka, persaksian mereka, dan hawa nafsu mereka, namun mereka selalu bersatu padu dalam memusuhi pejuang kebenaran.”
Oleh karena itu, kita sebagai muslim jangan sampai bertikai akibat berebut posisi duniawi yang sementara sifatnya. Misalnya, bertikai soal yang tidak substantif dalam hidup, soal lokasi kongres harus di mana, soal rebutan kursi, soal akses terhadap uang dan kekuasaan, dan lainnya. Itu semua tidak lebih dari urusan dan hiruk pikuk dunia belaka yang menggelincirkan kita dari persahabatan dan persaudaraan sejati.