Kahminasional.com, Lampung – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegur hingga memanggil produsen minyak goreng yang berpotensi melakukan pelanggaran.
Upaya ini, terang Kepala Kanwil II KPPU, Wahyu Bekti Anggoro, dilakukan pihaknya dalam merespons gejolak stok dan harga minyak goreng di pasaran dalam beberapa bulan terakhir.
“KPPU memberikan teguran tertulis dan memanggil pelaku usaha yang berpotensi melakukan pelanggaran,” ucapnya dalam webinar Ngopii #34 yang digelar Majelis Rayon KAHMI Komisariat Ekonomi (Komek) Unila, Jumat (4/3).
Wilayah tugas Kanwil II KPPU mencakup Sumatra bagian selatan. Perinciannya, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Bangka Belitung.
Mulanya, terang Wahyu, harga minyak goreng naik pada awal Januari sehingga pemerintah memberlakukan subsidi. Namun, justru membuat stok di pasaran langka karena masyarakat melakukan panic buying.
Pemerintah kemudian menerapkan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) per 1 Februari 2022. Isinya, perusahaan minyak goreng wajib memasok 20% produknya dari total volume ekspor.
Selain itu, pemerintah menetapkan harga crude palm oil (CPO) sebesar Rp9.300 per kilogram. Namun, harga eceran tertinggi (HET) tidak bisa sepenuhnya berjalan di lapangan karena adanya kelangkaan.
HET minyak goreng ditetapkan Rp14.000 per liter. Ini sesuai Permendag 3/2022 dan 6/2022. Sayangnya, pemerintah tak mengatur HET CPO secara menyeluruh, kecuali HET CPO 4 (DMO/DPO).
Kenaikan CPO dunia juga menjadi salah satu penyebab harga meroket dan barang menjadi langka. Harga CPO dibentuk berdasarkan permintaan dan penawaran pasar global.
Sementara itu, permintaan CPO belakangan naik lantaran industri biodiesel mulai tumbuh. Pajak ekspor di India pun mengalami penurunan.
Permasalahan tersebut mengakibatkan produsen minyak goreng setop berproduksi. Alasannya, tak mendapatkan bahan baku CPO sesuai HET (DMO/DPO).
“Akhirnya, eksportir CPO yang berkewajiban menjual 20% CPO lebih memilih menjual kewajibannya kepada pabrik minyak goreng yang terafiliasi dengan perusahaannya,” beber Wahyu.
Wahyu menambahkan, struktur pasar yang loose oligopoly dan terintegrasi vertikal mengakibatkan pelaku usaha memaksimalkan keuntungan melalui komoditas CPO dan minyak goreng.
“Produsen minyak goreng sulit untuk bersaing dengan pasar ekspor CPO. Padahal, produsen minyak goreng masih satu kelompok usaha dengan pelaku usaha eksportir CPO,” ungkapnya.
Menurutnya, ada beberapa regulasi yang menghambat munculnya pelaku usaha baru dalam industri minyak goreng. Permentan 21/2007 yang mewajibkan bahan baku sekurang-kurangnya 20% dari kebun sendiri, salah satunya.
Terdapat tiga produsen minyak goreng di Lampung, yaitu PT Bumi Waras, PT Sinar Laut, dan PT Domus Jaya. Namun, hanya satu yang terafiliasi dengan pabrik CPO dan perkebunan sawit.
Di sisi lain, Kanwil II KPPU mendapati harga minyak goreng di atas HET, menahan stok, dan produsen PT Sinar Laut tak mendistribusikan stoknya dalam jumlah besar sejak akhir Januari.
KPPU pun menemukan praktik tying-in dan bundling atau pembelian bersyarat dan paketan minyak goreng serta adanya informasi masih berlangsungnya ekspor CPO dengan dalih ekspor limbah sawit.