Oleh Muhammad Shofa As-Syadzili, kerani arsip Historia HMI*
Pada tengah hari di hari Sabtu, 19 September 1987, enam bus dan berpuluh-puluh mobil berarak keluar dari pelataran Masjid Salman ITB, Bandung. Iring-iringan itu bergerak secara bersamaan menuju sebuah pemakaman keluarga di Panyingkiran, Garut, Jawa Barat. Iring-iringan itu juga membawa serta jenazah seorang guru besar, ulama, sekaligus pelukis pencipta aliran abstrak, Ahmad Sadali. Begitulah suasana prosesi pemakaman pencipta lambang HMI ini sebagaimana laporan Majalah Tempo edisi 26 September 1987.
Kepergiannya saat itu membuat duka yang mendalam tak hanya bagi para pegiat seni lukis Tanah Air, tetapi juga bagi para aktivis dakwah Islam, terutama HMI, organisasi yang menjadi tempat Ahmad Sadali berkecimpung di dalamnya. Ahmad Sadali dan HMI ibarat satu mata keping uang yang sama. Posisinya sama persis dengan, misalnya, posisi dokter Dardiri bagi HMI Cabang Surabaya.
Ahmad Sadali adalah pendiri HMI Cabang Bandung sekaligus Ketua Umum pertamanya. Demikian penuturan saudara kandungnya yang juga seorang arsitek, Ir. Ahmad No’eman dalam Bang Imad: Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya.
Lahir dari Benih Aktivis Pergerakan Islam
Ahmad Sadali lahir di Garut pada 29 Juli 1924. Ia putra dari Haji Muhammad Djamhari, salah seorang aktivis Syarekat Islam yang berasal dari Kudus. Pada paruh kedua abad lalu, Haji Muhammad Djamhari bersama dengan sekelompok orang lainnya pergi meninggalkan Kudus dan memilih untuk menetap di Garut.
Pada masa itu, Garut memang menjadi jujugan para imigran pribumi yang pergi merantau dikarenakan kota ini menjadi salah satu pusat perkembangan perdagangan di Tanah Air selain Keresidenan Surakarta dengan Solo sebagai pusat kotanya. Oleh pemerintah Hindia Belanda, Garut dikembangkan menjadi kota industri kreatif dan agrowisata yang indah pada masa itu. Tak heran apabila karena keeksotisan kotanya, orang-orang Eropa dan dunia menyebut Garut sebagai Swissnya Jawa atau Swiss van Java.
Di kota inilah Muhammad Djamhari mengadu peruntungannya dengan menjadi pengusaha batik, pengumpul dan penjual barang seni kerajinan, pemilik percetakan dan kebun jeruk, serta penggemar musik-musik Barat. Di kota ini pula ia menemukan jodohnya dan menikahi perempuan hingga memiliki keturunan sebanyak 13 anak.
Meski memiliki usaha yang begitu maju, Muhammad Djamhari tak begitu saja melupakan jiwanya sebagai seorang aktivis Islam. Dikarenakan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang melahirkan sistem pendidikan yang rasis serta upaya untuk mengerem gerakan zending dan misionarisme, Muhammad Djamhari bersama dengan rekan-rekan SI lainnya akhirnya mendirikan Madrasah Al-Hidayah pada tahun 1919. Tak cukup satu. Ia bahkan mengonsolidasi beberapa kalangan priayi Garut untuk mendirikan sekolah bagi rakyat, HIS Budi Priyayi.
Gerakan yang dilakukan Muhammad Djamhari lewat sektor pendidikan bersama dengan aktivis SI lainnya ini tak bertahan lama. Pasca-terjadinya peristiwa Cimareme, tanpa menyatakan diri keluar dari SI, Muhammad Djamhari merintis berdirinya organisasi Persyarikatan Muhammadiyah di Garut pada 1922.
Peristiwa Cimareme dikenal juga dengan gerakan radikal SI Afdeling B. Peristiwa ini bermula dari fatwa yang dikeluarkan KH. Adra’i dari Pesantren Nangkapait, Cilame, berkaitan dengan persoalan pajak. Menurutnya, pajak dan semua peraturan yang dilahirkan dan dikeluarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda wajib ditolak.
Menurut Mohammad Iskandar dalam Para Pengemban Amanah, fatwa ini kemudian disebarkan para pimpinan SI lokal ke kampung-kampung dan desa-desa di wilayah Garut. Fatwa ini kemudian mendorong KH. Hasan Arif dari Cimareme, Banyuresmi, menolak menjual 42 pikul padi miliknya kepada pemerintah Hindia Belanda. Keruan saja aksi penolakan yang dilakukan KH. Hasan Arif ini membuat kolonial berang. Hingga akhirnya pada 7 Juli 1919, KH. Hasan Arif bersama keluarganya dikepung dan ditembak mati oleh tentara Belanda di bawah pimpinan Residen dan Bupati Garut.
Akibat peristiwa ini, pemerintah kolonial menuding SI ada di belakang gerakan perlawanan. Akibatnya, banyak tokoh SI, baik kiai dan santrinya, yang digelandang ke penjara oleh pemerintah kolonial.
Muhammad Djamhari adalah simpul penggerak gerakan Islam yang ada di Garut. Sopaat Rahmat Selamet dalam tesisnya berjudul Peranan Pengusaha Pribumi dalam Menghadapi Kolonialisme di Garut 1903-1924 menulis, kediaman Muhammad Djamhari kerap dikunjungi para tokoh Islam, seperti KH. Ahmad Dahlan, HOS Tjokroaminoto, dan beberapa tokoh SI lainnya. Kedatangan para tokoh Islam ke kediaman Muhammad Djamhari ini tentu menegaskan betapa besar kontribusi ayah dari Ahmad Sadali bagi gerakan Islam di Garut.
Darah Seni Ahmad Sadali
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Demikian pepatah yang kerap kali kita dengar berkaitan dengan karakter atau sesuatu apa pun yang merupakan turunan dari orang tuanya. Didikan orang tua biasanya melekat kuat dalam karakter sang anak. Begitu pula dengan Ahmad Sadali. Kesukaan Haji Muhammad Djamhari kepada seni, terutama seni batik, serta kesukaannya kepada keapikan pakaian akhirnya menurun kepada anaknya yang bernama Ahmad Sadali.
Suasana lingkungan di dalam rumah juga menyesap kuat dalam kepribadian Ahmad Sadali. Sebagai anak dari seorang tokoh pergerakan Islam, Ahmad Sadali berada dalam lingkungan keluarga yang taat beribadah, terpelajar, dan menyukai dunia seni. Agaknya ketiga hal inilah yang memengaruhi cara pandang Ahmad Sadali dalam melihat hidup dan kehidupan yang itu semua ditorehkan lewat kanvas-kanvas lukisan yang dihasilkannya. Sanggar batik milik H. Muhammad Djamhari dinilai mempunyai pengaruh yang besar dalam kecenderungan Ahmad Sadali kepada menggambar, ketekunan, dan kecermatan bekerja.
“Dari kecil, ia memang senang menggambar. Yang paling menonjol pada Ahmad Sadali adalah jiwa artistiknya,” demikian penuturan Ahmad Noe’man, sebagaimana ditulis Tempo edisi September 1987.
Pada masa kecilnya, Ahmad Sadali sering mengambil kertas-kertas di percetakan ayahnya. Kertas-kertas itu kemudian digambarinya dengan warna-warna yang diambilnya dari perusahaan batik milik ayahnya.
“Apalagi, saya tinggal bersama nenek yang pembatik. Banyak ilmu yang saya dapatkan dari beliau,” ujarnya dalam Majalah Tempo edisi 10 September 1983. Dari pengakuannya ini, jelas sekali peran keluarga, terutama nenek serta lingkungan masa kecilnya, memiliki peran besar dalam mendorong bakat dan kreativitasnya di dunia seni lukis.
Latar belakang pendidikan Ahmad Sadali dimulai sejak menginjakkan kakinya di MULO Pasundan, Tasikmalaya. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke Algemeene Middlebare School (setingkat SMA sekarang) di Yogyakarta, yang diselesaikannya pada tahun 1944. Saat masa-masa sekolahnya ini, minat menggambarnya tak menyusut dan hilang bahkan semakin terasah dan menuai pujian dari guru-gurunya. Saat di AMS Yogya, Katamsi, guru gambarnya waktu itu, berkata, “Saya ingin memberi nilai 10 untuk lukisanmu, tapi karena itu tak boleh, saya beri angka sembilan.” Guru gambar Ahmad Sadali di AMS Yogyakarta ini merupakan seorang pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogya.
Pada tahun yang sama, yakni 1944, Ahmad Sadali kemudian masuk ke Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Ia hanya setahun di sana dikarenakan perjuangan kemerdekaan mulai berkobar. Akibatnya, selain ibu kota negara dipindah ke Yogyakarta, Sekolah Tinggi Islam yang menjadi tempat Ahmad Sadali menuntut ilmu juga ikutan dipindah. Saat di Yogyakarta inilah Sekolah Tinggi Islam menjadi tempat dilahirkannya HMI.
Pada masa pergolakan kemerdekaan itu, Ahmad Sadali juga turut berperan serta membangkitkan semangat patriotik rakyat dan pejuang Republik. Bersama teman-temannya yang juga pelukis, Ahmad Sadali menggambari dinding-dinding bangunan umum dan kereta api dengan kobaran semangat juang lewat gambaran mural yang dilukisnya.
Selanjutnya, ia pulang ke Garut dan menjadi Kepala Siaran RRI Darurat. Di sana, ia juga membuat poster-poster perjuangan hingga akhirnya di tahun 1947, Ahmad Sadali diringkus dan dimasukkan ke dalam kamp tahanan Belanda.
Tulisan ini disadur dari HistoriaHMI.com