Oleh Muhammad Fauzi, Presidium MW KAHM Sulsel dan Anggota Komisi V DPR
Nama Cak Nur nyaris tidak pernah absen di dalam proses kaderisasi. Saat LK I, pemateri acapkali menceritakan kiprah mantan Ketum PB HMI itu. Termasuk pemikiran-pemikirannya.
Pemikiran Cak Nur memang melampaui zamannya. Visioner. Relevan dengan kondisi hari ini. Tak heran apabila banyak yang merujuk dan mengadopsinya. Termasuk figur-figur di luar HMI. Dia bahkan disandingkan dengan Gus Dur. Dus, romantisme atas kebesaran Nurcholis Madjid, nama lengkap Cak Nur, terus “didaur ulang” sampai sekarang. Lantas, seberapa banyak kader yang menapaki jalannya?
Nyaris setiap pekan sepanjang tahun, LK I–ajang melipatgandakan kader–terus berlangsung. Kerja-kerja kaderisasi tidak pernah kering sekalipun di tengah pandemi. Proses penggemblengan menghasilkan banyak kader HMI yang menjadi pesohor, termasuk mengisi pos-pos strategis, tidak dapat dinafikan. Jumlahnya mungkin ribuan.
Sayangnya, setelah lebih dari 16 tahun Cak Nur berpulang, tak banyak kader HMI yang dapat melanjutkan kiprahnya. Ada pun masih dapat dihitung jumlahnya. Endang Saifuddin Anshari, Mahmum Djunaidi, Agussalim Sitompul, Fachry Ali, Yudi Latief, dan Alfan Alfian, misalnya. Nama-nama yang beredar selalu berotasi di situ-situ saja. Kita besar secara statistik, tetapi kering kerontang dalam isi.
Apabila menurut ke belakang, ini tidak lepas dari perjalanan kaderisasi. Banyak kader yang “dilepas” bahkan berkembang sebelum proses kaderisasinya tuntas, kafah. Dampaknya, kemandirian sulit tercapai karena minimnya penghargaan pada proses. Merencanakan hingga mengadakan aktivitas keorganisasian–di luar agenda wajib kaderisasi dan pergantian pengurus–pun akhirnya menjadi “barang mewah”. Kalaupun ada cenderung monoton. Papa gagasan dan terobosan.
***
HMI merayakan dies natalis ke-75 tepat pada 5 Februari lalu. Usia ini tergolong matang dan dewasa dalam siklus kehidupan. Dies natalis tahun ini mengusung tema “Arah Baru HMI; Berdaya Bersama Menuju Indonesia Emas 2045”. Sebuah visi besar dan serius. Seberapa kuat komitmen untuk mewujudkannya?
Mencetak insan berkualitas sejatinya bukan hal muskil bagi HMI mengingat gennya berasal dari kaum terdidik. Ia dilahirkan dari para pelajar “beruntung”. Hanya 8,5% dari total populasi penduduk Indonesia (Susenas BPS 2018). Wajar kemudian jika HMI bertujuan melahirkan insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernapaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah Swt.
Misi besar tersebut menugaskan kader HMI seperti mata air. Ia menghidupi. Agar berfaerdah bagi banyak orang, syarat-syarat tertentu harus terjamin. Sumber mata air tidak dirusak dan dicemari tangan-tangan jahil sehingga jernih dan laik pakai. Pun harus terus mengalir tanpa henti.
Kaum terdidik dan unggul secara kuantitas mestinya menjadi modal yang dapat dikapitalisasi. Ia mestinya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Apalagi, modernitas membawa berbagai konsekuensi. Menurut Giddens (1990), kehidupan modern bak panser raksasa (juggernaut), mesin berkekuatan besar dan memiliki kuasa penuh atas dirinya sendiri. Ia dapat dikendalikan, tetapi pada tingkat tertentu sehingga tindakan sebuah sistem tidak pernah dapat diramalkan sepenuhnya.
Kekhawatiran akan masa depan yang diselimuti perkembangan teknologi ini telah diprediksi Jepang. “Negeri Sakura” mencemaskan dominasi teknologi mengabaikan sisi manusia. Kabinet lantas mencetuskan inisiatif “Society 5.0” dalam Rencana Dasar Sains dan Teknologi V. Gagasan ini–yang mengusung semangat memanusikan manusia dengan teknologi–telah dipresentasikan kepada sejumlah perusahaan dalam event CeBIT 2017.
Seperti revolusi industri 4.0, society 5.0 juga menuntut kemampuang kognitif, soft skill, dan teknologi untuk “menghidupinya”. Kompleksnya kehidupan manusia modern membuat peran manusia sebagai mahluk sosial menjadi vital. Kolaborasi menjadi penting. Bukan lagi mengedepankan kompetisi satu sama lain. Pun kita tak bisa lagi berdiam diri bahkan hanya mengamati dari kejauhan dalam merespons dinamika zaman. Tetapi, harus terlibat aktif.
Pandemi Covid-19 pun menuntut kita berpikir dan bertindak kreatif. Masa disrupsi ini memaksa kita beradaptasi. Seperti Charles Darwin (1859) bilang, mereka yang dapat bertahan bukanlah yang kuat, melainkan mampu beradaptasi. Dus, sudah tidak lagi eranya untuk berpangku tangan.
Infrastruktur digital belakangan berkembang pesat. Aset tidak lagi dimonopoli pada sesuatu yang berwujud secara materiel, tetapi digital. Kripto, NFT, dan metaverse adalah manifestasinya. Luasnya “arena bermain” dengan pemanfaatan teknologi informasi juga semakin meluas menyusul masifnya aplikasi, seperti Zoom, Gojek atau Grab, dan bisnis online lainnya. Peluang ini mestinya bisa direngkuh dan digenggam.
Semoga peringatan dies natalis tahun ini tidak sekadar seremonial. Namun, menjadi momentum untuk berkontempelasi dan introspeksi dalam memajukan himpunan dengan menata ulang proses kaderisasi dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sehingga, HMI betul-betul menjadi kawah candradimuka dalam mencetak insan akademis, pencipta, dan pengabdi. Keberadaannya sebagai organisasi kader juga dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat luas dan bangsa.