Oleh Muliansyah Abdurrahman Ways, entrepreneur, pegiat demokrasi, dan politik lokal
Bertebaran ribuan flyer, video, foto, catatan hingga tulisan dari berbagai latar belakang tokoh hingga masyarakat biasa, yang intinya satu persatu mencoba menghadirkan dirinya sebagai kader, alumni, pengurus, tokoh, kolega, hingga patner dan biasa juga tampil sebagai bagian dari momentum penting peristiwa ini: dies natalis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
Dies natalis HMI bisa kita jadikan romantisme masa lalu berdirinya HMI dan Indonesia yang penuh inspiratif. Bisa juga di masa transisi HMI dan cerita HMI ingin dibubarkan oknum penguasa saat itu, atau peran HMI di masa Angkatan ’66 menuju era Orde Baru, atau juga kita menarasikan para intelektual HMI dari generasi Lafran Pane, generasi cendekiawan Cak Nur, generasi pengusaha sukses Jusuf Kalla (JK), generasi Angkatan ’98, hingga menuju generasi reformis dan kini kita berada pada generasi milenial.
Apalagi, mendekati tahun politik 2022 hingga 2024, penulis yakin, politisi dan elite selalu menghembuskan momentum dengan menampilkan dirinya sebagai bagian dari keluarga besar HMI ataupun warga negara dalam memberi ucapan kepada siapa dan elemen apa saja dengan dalih kepentingan bangsa dan negara.
Sebagaimana kita juga melihat spirit awal berdirinya HMI yang diprakarsai Lafran Pane—salah satu tokoh bangsa dan pahlawan nasional—yang saat itu, di salah satu ruangan kuliah STI (Sekolah Tinggi Islam)—yang sekarang UII (Universitas Islam Indonesia)—di Jalan Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati). Dalam memimpin rapat tersebut, Lafran Pane mengatakan, “Hari ini, Rabu, tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5 Februari 1947, kita siap membentuk organisasi mahasiswa Islam karena persiapan yang diperlukan sudah beres”. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI dan yang menentang biarlah terus menentang. Toh, tanpa mereka, organisasi ini bisa berdiri dan berjalan.
HMI akhirnya berproses dan berumur dewasa hingga kini, masuk 75 tahun, menjadi bagian dari perjuangan perjalanan bangsa. Ibarat kapal, ada HMI di dalam NKRI dan mengarungi bahtera kehidupan kapal yang sedang menuju pada satu tujuan. Di dalamnya terisi jutaan penumpang menuju satu tujuan.
Bung Hatta pernah berkata, “Kaderisasi dalam kerangka kebangsaan adalah kaderisasi sama artinya dengan menanam bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya harus menanam dan setiap organisasi punya konsep kepemimpinan tersendiri yang diimplementasikan dalam jenjang pengaderan”. Di sinilah HMI mengajarkan kepada generasi masa depan, HMI hadir bersama penumpang yang lain untuk menyeimbangkan kehidupan keumatan dan keindonesiaan. HMI menjadi garda terdepan untuk kemaslahatan umat dan bangsa. HMI hadir menjadi benteng kemerdekaan Republik Indonesia dan HMI hadir dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Akhirnya, terbukti 75 tahun bakti HMI untuk Indonesia. Ia berdiri bersama, menjadi lokomotif seluruh elemen untuk kepentingan bersama.
Kita juga berjumpa dengan teori yang mengedepankan seorang kader terbentuk menjadi pemimpin, “leader are made not born (pemimpin itu dibuat atau dididik, bukannya kodrati atau dari lahir)”. Teori ini berpandangan, setiap orang mempunyai potensi yang sama untuk menjadi pemimpin atau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja faktor lingkungan atau faktor pendukung yang mengakibatkan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan inilah yang disebut dengan faktor “ajar” atau “latihan”.
Pandangan di atas juga menyatakan, setiap orang dapat dididik, diajar, dan dilatih untuk menjadi pemimpin. Intinya, setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, meskipun dia bukan keturunan seorang pemimpin atau raja (Aspizain Chaniago, 2010). Pandangan Chaniago sangat mendasar dan bersenyawa dengan lahirnya HMI untuk Indonesia, yakni HMI membina dan mencerdaskan anak bangsa dari Sabang hingga Mareuke.
Tujuh puluh lima tahun bukan waktu yang pendek. Tujuh puluh lima tahun adalah masa keemasan tingkat perkaderan HMI, masa-masa jaya suatu organisasi sosial di tingkatan mahasiswa. Oleh karena itu, dalam narasi ini, penulis menghadirkan HMI sebagai wadah era milenial yang dianggap mampu menghadirkan genarasi baru menuju pencerahan HMI hingga 100 tahun ke depan.
Garis Politik HMI: Politik Kanan, Tengah, dan Kiri
Hingga hari ini, konsistensi kader/alumni HMI tak pernah padam dengan sejuta tantangan dan kompetisi. Namun, barisan HMI masih tetap pada garis dan haluan independensi etik. Yang artinya, kemerdekaan insan menjadi dasar dia berpijak dalam politik gagasan maupun politik praktis.
Lihat pemikiran Macionis dan Gerber pada bukunya yang berjudul Sociology yang ditulis tahun 2004, bahwa setiap negara memiliki karakter spektrum, arah haluan yang berbeda dari negara-negara lain, seperti kita lihat di Amerika, Inggris, RRC, sebagaimana Kanada. Spektrum arah haluan partai politik ekstrem kiri berada di partai komunis, spektrum haluan partai politik ekstrem kanan ada di partai konservatif, dan yang berada di tengah dinamakan partai politik berhaluan liberal. Artinya, setiap negara memiliki karakteristik politiknya masing-masing. Dalam bahasa lain adalah kultur politik berbeda-beda.
Jika kita telisik perjalanan demokrasi di Indonesia, jika kita melihat secara sosiologis partai politik di Indonesia, partai yang berada di spektrum haluan kiri adalah partai yang dekat dengan paham sosialisme (Partai Sosialis Indonesia, Partai Buruh, Partai Pekerja Indonesia); di kanan ada paham konservatisme yang langsung diterjemahkan sebagai partai yang berbasis agama (tetapi dalam beberapa literasi partai politik berbasis agama lebih condong ke paham sosialis, seperti PKS, PAN, PPP, dan lain-lain); sedangkan yang berada di tengah adalah partai konservatif yang diterjemahkan sebagai partai nasionalis yang bisa saja arah kebijakannya condong ke kiri ataupun ke kanan serta kecenderungan menjadi partai tengah yang nasionalis (Golkar, PDIP, Gerindra, dan lain-lain).
Sebenarnya, konsep spektrum partai politik yang condong ke kanan bukanlah tentang keyakinan yang bersumber dari agama, tetapi ini adalah bentuk perlawanan dari paham Marxisme yang dikenal sebagai paham kiri dan diterapkan di partai politik. Paham kanan beranggapan pemerintah sudah terlalu jauh mengintervensi pasar dan paham ini memercayakan pasar untuk berjalan dengan sendirinya (KISP).
Dasar sosiologi politik inilah membuat alumni atau kader HMI harus memilih di berbagai pilihan-pilihan politik yang sesuai selera agar kepentinganya tercapai dan yang paling utama tidak bertolak belakang dengan ajaran Islam dan ideologi nasional bangsa Indonesia, Pancasila. Akhinya, kader dan alumni tersebar dan terdistribusi di berbagai jalur kepemimpinan, yakni kepentingan organisasi masyarakat, organisasi profesi, birokrasi, pengusaha, partai politik, kepala daerah, wakil rakyat, hingga menteri dan presiden.
Kelompok HMI adalah kelompok Islam masa kini dan masa depan; memilih Islam yang moderasi, yakni punya pilihan Islam yang rahmatan lil alamin, sebagaimana menjadi Islam yang tradisional hingga modern. Sebagaimana dalam melihat politik masa kini dan masa depan, ia tak berada pada kultur politik sektarian, tidak politik kaku, dan tidak anti terhadap politik tradisional yang dianggap populis.
Kelompok HMI hidup sejalan dengan perkembangan bangsa Indonesia. HMI tetap menjadi gerakan Islam politik tengah yang moderat tanpa mendiskreditkan kelopok Islam politik dan kelompok politik mana pun karena kelompok HMI didorong menjadi kelopok Islam terpelajar yang moderat dan selalu menjaga nilai-nilai Islam yang terbuka dan tergugah dalam umat dan bangsa Indonesia.
Semoga pada 2022, genap HMI berusia 75 tahun, tetap menjadi kelompok terpelajar yang intelektual; HMI tetap menjadi Islam tengah yang selalu moderasi dalam keberagaman. Islam Indonesia adalah peradaban bangsa yang harus dijaga dan dirawat oleh HMI karena HMI hadir untuk Indonesia.