Oleh Puji Hartoyo, Ketua Umum PB HMI MPO 2013-2015/alumnus Ponpes Krapyak Yogyakarta 1998-2004
KH Yahya Cholil Staquf atau biasa dipanggil Gus Yahya baru saja terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmat 2021-2026 secara demokratis dalam Sidang Pleno Muktamar NU di Lampung pada 22-24 Desember 2021.
Pemilihan sendiri berlangsung cukup lama karena dimulai dari malam hari setelah Isya sampai ke esokan harinya menjelang siang (salat Jumat). Hal yang menarik dari pemilihan kali ini adalah soal kandidat yang terlibat dalam kontestasi bursa calon Ketua Umum (Tanfidziyah) PBNU.
Tiga kandidat, KH Said Aqil Siraj, KH Yahya Cholil Staquf, dan KH As’ad Ali, adalah sama-sama alumni Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Satu almamater, tetapi beradu haluan dalam Muktamar ke-34.
Hadirnya ketiga figur tersebut sebagai pilihan utama para muktamirin yang merepresentasikan suara resmi NU tingkat wilayah dan cabang tentu karena melihat ketiganya adalah kader terbaik NU saat ini yang dianggap siap dan mampu untuk menahkodai NU ke depan.
Banyak di antara muktamirin dan anggota NU lainnya yang bertanya ke saya, “Sakti sekali ini Pesantren Krapyak bisa mengantarkan tiga kandidat ketum sekaligus dalam satu Muktamar”. Bahkan, sebelum ini ada nama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah menjabat Ketum PBNU tiga periode dan akhirnya terpilih sebagai Presiden keempat Indonesia.
Lahirnya tokoh-tokoh besar NU dari alumni Krapyak merupakan buah dari ilmu dan keberkahan doa yang KH Moenawwir dan KH Ali Maksum tanamkan. Ali Maksum merupakan tokoh intelektual NU pada masanya. Beliau telah mengarang beberapa kitab, di antaranya Al-Amtsilah at-Tashrifiyyah, Fathul Qadir, Ad-Durus al Falakiyah, dan sebagainya.
Keintelektualan KH Ali Maksum membuat dirinya dipercaya warga NU menjadi Rais Aam tahun 1980-1984 saat Muktamar di Yogyakarta. Kemudian, merangkap jabatan sebagai Ketua Umum PBNU saat Idham Chalid mengundurkan diri tahun 1983-1984.
KH Ali Maksum dan tradisi intelektual yang beliau pelihara menjadikannya mendapat julukan “munjid (kamus) berjalan”. Yang kemudian tradisi intelektual ini beliau ejawantahkan ke dalam metode belajar di pesantren. Maka, di Pesantren Krapyak dalam keseharian ada tradisi belajar namanya “musyawarah”. Musyawarah adalah bentuk belajar bersama para santri untuk berbagi dan berdiskusi tentang pelajaran yang lalu dan akan datang seraya berdiskusi soal isu-isu terkini.
Tradisi intelektual Pondok Pesantren Krapyak, buat saya, adalah kesamaan tradisi di dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tradisi intelektual dengan membaca, diskusi, serta adu gagasan dan ide adalah sesuatu yang hidup di HMI. Apalagi, di buku Pedoman Perkaderan HMI, aktivitas di dalamnya berupa diskusi, membaca, dan menulis adalah bagian dari pedoman perkaderan itu sendiri.
Diketahui, Gus Yahya semasa remaja dan muda banyak dihabiskan nyantri dan menjadi aktivis. Saat SMP sampai kuliah di UGM, Gus Yahya sambil nyantri di Pesantren Al Munawwir Krapyak di bawah asuhan KH Ali Maksum. Sementara saat kuliah di Fisipol UGM, Gus Yahya aktif di HMI hingga terpilih menjadi Ketum Komisariat Fisipol UGM.
Gus Yahya adalah santri dan kiai yang lahir dari tradisi intelektual melalui inkubator Pesantren Krapyak dan HMI sebagai stimulator keintelektualan Gus Yahya. Meskipun tentu pascaera tersebut Gus Yahya lebih terasah dalam banyak wadah lainnya, terutama saat berada dalam circle Gus Dur. Apalagi, Gus Yahya pernah ikut terlibat aktif dalam banyak aktivitas Gus Dur, baik saat menjabat sebagai Presiden maupun sebelum dan sesudahnya.
Pergumulannya dengan Gus Dur menjadikan Gus Yahya lebih tarasah dalam intelektual, terutama dalam gagasan yang sering Gus Dur jadikan platformnya soal moderasi beragama (Islam). Bahkan, Gus Ipul, sapaan akrab Gus Syaifullah Yusuf, menyebutnya sebagai Gus Dur muda. Ini hanya perumpamaan karena tentunya pemikiran dan aktivitas Gus Yahya secara personifikasi masih belum bisa menyamai Gus Dur.
Tapi, setidaknya Gus Yahya adalah wajah baru Ketum PBNU yang mewarisi gagasan Gus Dur dalam menggaungkan wajah Islam yang toleran, terbuka, dan mau berdialog dengan siapa pun, seperti pemikiran Gus Dur yang dinaskahkan Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Gus Dur di sini ingin menampilkan Islam yang hadir bersama dan berempati untuk kepentingan bersama.
Kita patut berterima kasih juga kepada KH Said Aqil Siradj yang telah memimpin PBNU pada periode 2010-2021. Di bawah kepemimpinan beliau, PBNU berani kembali bergairah menyuarakan moderasi agama (Islam) seperti yang juga Gus Dur perjuangkan semasa hidupnya. Kang Said, panggilan familiar KH Said Aqil, setidaknya telah membawa PBNU makin melangkah maju dalam membangun organisasi yang kontekstual terhadap tantangan zaman.
Maka, dalam konteks membangun NU dan Islam Indonesia, tentu yang kita harapkan adalah kebersamaan dalam keragaman. NU, Muhammadiyah, HMI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan sebagainya adalah sejatinya sama dalam tujuan kebaikan dan kemaslahatan bangsa dan umat. Jika ada alumni HMI yang dipercaya untuk menjadi Ketum PBNU, itu sebagai bentuk kebersamaan dalam visi kebangsaan dan keumatan bukan karena adanya dikotomi HMI dan PMII di tubuh NU.
Dalam sejarahnya saja NU dengan HMI tidak berada pada jalur yang berseberangan. Justru NU selalu menjadi kakak yang peduli bagi HMI, terutama saat rencana Presiden Soekarno karena desakan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) ingin membubarkan HMI tahun 1965. Di situ, NU yang terdepan membela HMI agar tidak jadi dibubarkan.
Ketika suasana memanas dan CGMI dan PKI terus mendesak Presiden Soekarno agar membubarkan HMI, sang Pemimpin Besar mengundang Subandrio dan KH Saifuddin Zuhri ke Istana. Sesuai dengan pesan Sulastomo, Ketua Umum PB HMI saat itu, Subandrio tidak setuju jika HMI dibubarkan. KH Saifuddin Zuhri atas nama NU malah mengancam Bung Karno.
“Kalau Bung Karno membubarkan HMI karena desakan CGMI dan PKI, saya serahkan mandat sebagai menteri [agama]. Saya tidak bertanggung jawab jika massa NU melawan negara.”
Begitulah sejarah cerita manis antara NU dan HMI. Agaknya cerita menjadi getir kemudian karena sedikit ternodai saat peristiwa lengsernya Gus Dur dari kursi Presiden tahun 2001. Sebagian warga NU menganggap, ini ulah HMI connection karena para pimpinan lembaga negara dan beberapa petinggi partai adalah alumni HMI saat itu.
Bagi saya, itu pengkaitan berlebihan yang dituduhkan kepada HMI atau Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Apakah karena potret tersebut lantas bisa menjustifikasi HMI connection yang terlibat dalam pelengseran Gus Dur?
Sementara, di pihak Gus Dur, saat itu ada Gus Yahya, alumni HMI Yogyakarta, sebagai Juru bicaranya di kepresidenan. Ada juga Mahfud MD, pengikut Gus Dur yang menjadi Menteri Pertahanan saat itu juga jebolan HMI Yogyakarta bahkan kemudian menjadi Ketua Umum MN KAHMI di tahun 2012-2017.
Di luar nama-nama itu, banyak lagi alumni HMI yang punya kedekatan khusus dengan mantan Presiden ke-4 RI tersebut. Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, dan Dawam Rahardjo adalah alumni HMI yang sudah berkawan dengan Gus Dur sejak lama, termasuk Deliar Noer, Ketum PB HMI periode 1953-1955, yang sering berkunjung ke rumah KH A. Wahid Hasyim (Ayah Gus Dur) dan kerap menyapa Gus Dur kecil.
Jadi, tesis yang mengatakan HMI connection motor pelengseran Gus Dur, menurut saya, tidak tepat. Di alumni dan KAHMI sendiri terdapat fragmentasi dan polarisasi kepentingan yang sering beradu dan tidak menyatu.
Dan perlu diketahui, PB HMI MPO (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) di bawah Ketua Umum periode 2001-2003, Syafinuddin Al Mandari, yang pertama kali silaturahmi, kemudian mengundang Gus Dur ke forum resmi publik setelah Gus Dur turun dari kursi Presiden. Saat itu, pesannya adalah bahwa HMI mendukung secara morel kepada Gus Dur dan sebagai penanda bahwa HMI tidak ada persoalan apa pun dengan Gus Dur.
Terpilihnya Gus Yahya di Muktamar ke-34 NU di Lampung sebagai penanda warga NU sudah mulai sadar bahwa HMI connection yang dialamatkan sebagai biang kerok lengsernya Gus Dur adalah penggiringan opini belaka. NU dan HMI dari dulu hingga kini tetaplah kakak beradik yang selalu bersama dalam satu tujuan membangun bangsa dan umat agar tercapai kemaslahatan.