Kahminasional.com, Jakarta – Sektor perikanan dan kelautan menjadi salah satu bidang potensial yang berkontribusi besar dalam perekonomian nasional. Produktivitasnya mencapai US$5,2 miliar pada. Sayangnya, sektor ini masih diliputi persoalan klasik: keterbatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bagi nelayan untuk melaut dan menangkap ikan.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Hery Susanto, menyatakan, pengembangan sektor perikanan nasional dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) bertumpu pada harmoni dari peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup, dan pengelolaan yang berkelanjutan.
“Tata kelola kebijakan kelautan dan perikanan kita dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan diperlukan keterlibatan semua pihak secara bertanggung jawab dan berkelanjutan agar bisa mendukung kelestarian ekosistem dan mewujudkan kesejahteraan rakyat,” ucapnya dalam diskusi di Jakarta, Jumat (17/12).
Problem BBM bersubsi bagi nelayan, terangnya, karena sukarnya menetapkan jumlah kebutuhan yang tepat bagi kapal-kapal ikan lantaran tidak ada/sulitnya mendapatkan data kapal dan data operasionalnya yang valid.
Faktor berikutnya, banyak nelayan tradisional yang tak memiliki surat rekomendasi membeli BBM bersubsidi. Kuota yang diberikan kepada SPBU nelayan juga kerap habis pada pertengahan bulan.
“Meski mayoritas nelayan bisa urus rekomendasi membeli BBM bersubsidi, namun barang itu masih sulit didapatkan karena terbatasnya kuota BBM bersubsidi hingga tidak ada stok di lapangan,” jelas Ketua Bidang Kesehatan Majelis Nasional KAHMI ini.
Hery menambahkan, skema pembelian oleh nelayan umumnya BBM dibeli juragan, lalu menyuplai paket BBM. Akibatnya, nelayan tradisional sulit mendapati penjual BBM bersubsidi di lingkungan sekitarnya dan selalu kehabisan.
Karenanya, ORI berencana melakukan investigasi inisiatif dan mengaktifkan Respons Cepat Ombudsman (RCO) berkaitan dengan masalah ini pada 2022. Untuk sementara, dirinya menawarkan beberapa solusi alternatif, salah satunya distribusi BBM bersubsidi bagi nelayan menggunakan kartu pintar sehingga memudahkan dalam proses transaksi.
Dia mendorong demikian karena kartu pintar sesuai kuota yang diterima dalam rangka pengawasan dan pelaporan penyaluran BBM subsidi bagi nelayan dapat terintegrasi dan dipantau langsung oleh Dinas Kelautan Perikanan (DKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta BPH Migas. “Namun … masih minim pengawasan.”
Di sisi lain, Hery meminta kebijakan penangkapan ikan secara terukur berkorelasi dengan dukungan pemerintah dalam penyediaan BBM bersubsidi secara proporsional dan terukur sesuai data riil jumlah kapal nelayan kecil tradisional.
“Jika tidak itu akan membebani nelayan sebab sudah sulit memperoleh BBM bersubsidi dan terpaksa membeli yang nonsubsidi ditambah adanya pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak [PNBP] tentu merugikan nelayan,” paparnya.
KKP berencana memberlakukan kebijakan penangkapan terukur di 11 wilayah pengelolaan perikanan negara RI (WPPNRI) pada awal 2022. Langkah ini diklaim untuk pemerataan kesejahteraan ekonomi.
Untuk mewujudkannya, KKP berjanji, turut terlibat dalam pemerataan dan memudahkan akses BBM bersubsidi bagi nelayan. Dicontohkannya dengan penyederhaan regulasi seiring dengan terbitnya Peraturan Kepala (Perka) BPH Migas Nomor 17/2019.