Oleh Hamid Basyaib, mantan kader HMI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Mendengarkan pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Pelita Harapan (UPH), Franky Budi Hardiman (FBH), di YouTube, keheranan saya akan “misteri” ini menguat: Mengapa para filosof atau ahli sejarah filsafat seperti FBH sama belaka tendensi mentalnya, mereka gemar meratapi perkembangan sosial baru dengan murung dan hati pilu?
FBH memotret dunia digital dengan lensa yang sepenuhnya buram, seolah-olah seluruh isi dan materi yang memenuhi media sosial (medsos) buruk belaka, seburuk apa yang dia keluhkan sepanjang pidato tersebut. Bagi FBH, medsos semata-mata berisi timbunan hoaks, caci maki yang menghancurkan hakikat komunikasi, potensial merongrong demokrasi, ajang penebar fitnah, dan sejenisnya (Pengguna internet Indonesia per Maret 2021 sudah di atas 212 juta, jauh dari 125 juta seperti disebut FBH).
Serentak dengan itu: FBH merindukan dan mengelus-elus masa silam yang diandaikannya berisi kebaikan dan kemuliaan belaka tanpa rangkaian perang yang keji, tanpa kelaparan massal, tanpa banyaknya jenis penyakit yang tak tersembuhkan.
Unit analisis FBH juga campur aduk, antara individu dan kolektivitas. Dahulu orang mencari kebenaran dengan refleksi diri, katanya; sekarang orang mencarinya di Google dan YouTube. Dan yang dia beri contoh tentang “orang dahulu” itu adalah Rene Descartes—bukan warga kebanyakan, misalnya penjual daging.
Jadi keluhan umum ditujukannya pada situasi sosial kontemporer (melibatkan banyak orang), sedangkan contoh baik yang diajukannya (tentang ketekunan berefleksi diri) adalah individu istimewa dalam kolektivitas masa silam itu.
Padahal, sejak dahulu yang berefleksi seperti itu memang hanya individu-individu tertentu seperti Descartes. Mayoritas massa—mungkin termasuk saudara, pacar, dan kerabat Descartes sendiri—tetap saja hidup dari hari ke hari dengan keluyuran tak tentu arah (karena diversifikasi sosial masih sangat terbatas) atau melakukan pekerjaan-pekerjaan rutin secara mekanistik tanpa sempat renungkan maknanya bagi kehidupan personal maupun sosial.
Justru sekarang, berkat akses luas publik ke sumber-sumber informasi yang melimpah ruah dengan gratis, sudah pasti jauh lebih banyak orang yang mampu “berefleksi diri” karena dirangsang dan dibantu cetusan-cetusan ide yang mereka dapatkan dari dunia digital.
Sejak era digital dimulai, penghancuran elitisme dan kemewahan “refleksi diri” seperti yang dahulu hanya bisa dinikmati orang-orang seperti Descartes mencapai puncaknya. Sekarang, warga di tempat paling terpencil pun dapat terhubung dan saling menginspirasi dengan warga lain yang tinggal di tempat lebih terpencil.
Tanpa teknologi digital, pidato FBH hanya akan didengarkan oleh 60-an orang yang hadir di acara pengukuhan guru besarnya. Dengan di-posting di YouTube, pidatonya yang mengeluhkan kehadiran YouTube itu bisa dinikmati oleh beribu-ribu orang di tempat-tempat yang jauh, bisa didengarkan kapan saja—tetapi saya harap tak menginspirasi banyak orang karena kelemahan-kelemahan cara pandangnya yang tipikal penekun filsafat, yaitu non-evidence-based.
Pandangan dasar apokaliptiknya tipikal penggandrung agama, membuat FBH tidak mampu melihat the elephant in the room.
***
Tugas utama filsafat, kata FBH, adalah menjadi sumber tiga hal: kebenaran, keindahan, kebaikan—seolah-olah ketiganya mungkin mendapat penerimaan universal, padahal itu semua sepenuhnya subjektif; jumlah pandangan tentang ketiga hal itu sebanyak jumlah manusia atau setidaknya sebanyak jumlah filosof.
FBH juga dengan sekenanya menetapkan bahwa mitra senior filsafat adalah teologi dan mitra juniornya adalah sains. Penetapan ini sungguh membingungkan. Apa yang dia harapkan dari teologi? Dengan dinobatkan sebagai mitra senior filsafat, apakah berarti filsafat harus dibimbing oleh teologi dalam operasinya?
FBH tampaknya menganggap teologi adalah suatu disiplin yang kokoh dari segi metodologi dan epistemologi, sementara makin disadari bahwa teologi bukanlah suatu disiplin akademis meski ada imbuhan “logi” di dalamnya.
Sains pun ditempatkannya sebagai “mitra junior” filsafat. Apakah dia ingin operasi sains harus dituntun oleh filsafat? Hasrat ini sama sekali tak masuk akal. Suatu disiplin yang begitu kokoh, dengan percabangannya yang makin kaya dan metodologi yang terus disempurnakan dan dengan hasil-hasil yang begitu nyata dan telah mengubah besar-besaran wajah dunia dan cara orang memandang dunia dan dirinya sendiri, perlu dibimbing oleh cetusan-cetusan spekulasi pikiran para filosof, yang tak pernah melakukan eksperimentasi empiris dalam bentuk apa pun. Tidak ada yang lebih absurd daripada cita-cita yang salah sejak di pangkal ini.
FBH tampak sulit sekali keluar dari corak berpikir apokaliptik; suatu keyakinan bahwa dunia ini terus memburuk untuk akhirnya hancur lebur dihantam kiamat (meskipun dunia ini sendiri tak mungkin ada tanpa kiamat—yang sudah sangat sering terjadi selama 13,8 miliar tahun usia alam semesta).
Dengan tendensi apokaliptiknya itu, maka perkembangan-perkembangan baru yang sangat bermanfaat bagi umat manusia pun seperti mekarnya dunia digital, bagi FBH, adalah isyarat lain bahwa dunia ini memang terus memburuk. Dia berfokus penuh pada dampak-dampak negatifnya (yang tentu saja ada dan terus dilunakkan oleh para perancangnya), seakan-akan negativitas adalah isi tunggal dunia digital; kalaupun dia tak berpandangan bahwa digitalisasi justru dimaksudkan untuk memperburuk situasi dunia.
***
Niat FBH patut dihargai, yaitu agar filsafat merespons perkembangan-perkembangan terbaru sejarah, yang ditandai oleh pesatnya kemajuan iptek. Sayangnya, dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak selalu tepat atau pertanyaan-pertanyaan non-saintifik, yang belum tentu bisa diajukan meski mungkin orang punya jawabannya (agama, misalnya, sering memberikan jawaban atas pertanyaan yang tidak bisa diajukan karena konfirmasi dan proses pembuktiannya mustahil dilakukan).
Kenyataan di dunia digital, kata FBH, bukanlah seluruh kenyataan, melainkan “kenyataan sejauh dibicarakan”. Jauh sebelum era digital pun situasinya memang seperti itu. Bagaimana cara menyajikan dan membahas “seluruh kenyataan”? Saya berani menyatakan, FBH pendusta jika dia mengaku sanggup melakukannya—mampu menghadirkan “seluruh kenyataan”.
“Kenyataan sejauh dibicarakan” itu terjadi sejak hari pertama media massa seperti koran ditemukan orang, maka New York Times (NYT) dahulu membual: suatu isu (“kenyataan”) tidak ada sebelum ia dicetak di halaman NYT.
Jadi soal “kenyataan sejauh dibicarakan” itu bukan ciri khas dunia digital. Justru dengan datangnya era digital, cakupan isu yang dibahas publik jauh lebih luas (meski tentu saja tetap bukan “seluruh kenyataan”) sebab agenda publik tidak dipancang hanya oleh para redaktur media massa tradisional, yang menyeleksi peristiwa yang pantas diberitakan semata-mata berdasar kriteria “layak muat” versi masing-masing.
Bagaimanapun, saya ucapkan selamat kepada rekan Prof. Dr. Franky Budi Hardiman atas pengukuhannya sebagai guru besar.