Anggota Ombudsman RI (ORI), Hery Susanto, menyatakan, nelayan tradisional hingga kini masih sulit mengakses BBM bersubsidi karena beberapa faktor. Pertama, sulitnya menetapkan jumlah kebutuhan BBM karena terkendala tidak adanya atau sukarnya memperoleh data kapal dan operasional yang valid.
Kemudian, banyak nelayan tradisional tidak memiliki surat rekomendasi untuk membeli BBM bersubsidi, kuota yang diberikan kepada SPBU nelayan sering habis di pertengahan bulan karena musim melaut nelayan, dan adanya perpindahan kelompok nelayan ke lokasi lain sesuai musim sehingga menyulitkan penetapan alokasi BBM subsidi di suatu daerah dengan tepat.
Selain itu, skema pembelian BBM oleh nelayan umumnya dibeli juragan yang selanjutnya menyuplai paket BBM dan sembako kepada nelayan, nelayan tradisional sulit menemukan penjual BBM bersubsidi di lingkungan sekitarnya dan selalu kehabisan, serta nelayan tradisional tak memiliki persyaratan pencatatan kapal perikanan bahkan tidak mempunyai identitas padahal itu memengaruhi akses ke BBM bersubsidi.
Padahal, terang Ketua Bidang Kesehatan Majelis Nasional KAHMI ini, pemerintah atas persetujuan DPR rutin menetapkan kuota jenis BBM tertentu (JBT) atau BBM bersubsidi, yang terdiri dari minyak solar dan minyak tanah, setiap tahunnya dan tertuang dalam Nota Keuangan Rancangan APBN.
“Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 191 Tahun 2014, BPH Migas memberikan penugasan kepada badan usaha untuk menyalurkan BBM subsidi tersebut ke masyarakat melalui penunjukan langsung dan/atau melalui seleksi,” ucapnya dalam seminar “Kebijakan Anggaran BBM Bersubsidi dan Perlindungan Nelayan Tradisional Kecil” di Jakarta, Kamis (25/11).
“BPH Migas juga diamanatkan untuk menetapkan kuota badan usaha yang mendapat penugasan dan kuota untuk masing-masing provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia serta kuota untuk masing-masing sektor pengguna,” sambungnya dalam keterangan tertulis. “Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) secara teknis juga berperan dalam menyampaikan data nelayan penerima BBM bersubsidi.”
Hery melanjutkan, BPH Migas pun menugaskan Tim Pengawasan Bersama, yang melibatkan Ditjen Migas Kementerian ESDM, pemda, TNI/Polri, BIN, Komisi VII DPR, dan PT Pertamina (Persero), untuk mengawasi langsung di lapangan. Pengawasan dan pelaporan penyaluran BBM subsidi untuk nelayan dapat terintegrasi dan dipantau langsung Dinas Kelautan Perikanan, KKP, ataupun BPH Migas.
Dia menambahkan, skema pembelian BBM bersubsidi untuk nelayan menggunakan kartu pintar. “Dengan sekali tap, nelayan akan sangat dimudahkan dalam proses pembeliannya karena sesuai dengan kuota yang diterima,” jelasnya.
Sayangnya, ungkap Hery, tidak semua SPBU nelayan berada di pelabuhan perikanan. Karenanya, Ombudsman merekomendasikan gerai SPBU nelayan harus mempermudah nelayan kecil dalam pengurusan izin.
“Hal ini mengingat prasyarat pengajuan rekomendasi kuota BBM subsidi harus melampirkan SIUP, SIPI, dan TDKP bagi nelayan kecil. Apalagi nelayan yang akan mengajukan rekomendasi BBM subsidi harus melakukan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang legal sesuai regulasi,” paparnya.
Agar optimal, menurutnya, perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi sehingga pemberdayaan nelayan kecil tradisional berjalan. “Ini tanggung jawab penyelenggara pelayanan publik di sektor tersebut dari kementerian/lembaga negara/BUMN, kelompok masyarakat, dan pihak terkait lainnya,” tegasnya.
Di sisi lain, Hery memaparkan, Ombudsman dalam tiga tahun terakhir menerima 26 laporan masyarakat tentang sektor perikanan. Aduan yang diterima di antaranya keberatan atas ketentuan dan kebijakan yang dianggap menyulitkan nelayan, pelayanan di balai karantina ikan, dan bantuan program oleh Dinas Perikanan.
Baginya, jumlah tersebut minim dan tidak menjadi indikator sektor perikanan tanpa masalahnya. Dia mensinyalir rendahnya jumlah aduan akibat minimnya kualitas SDM, akses, dan keberanian kelompok nelayan dalam melapor kasus dugaan malaadministrasi yang dialaminya.
Karenanya, Ombudsman mencoba mempermudah akses dengan mekanisme Respons Cepat via berbagai saluran komunikasi dan media sosialnya, seperti pesan singkat (SMS) dan WhatsApp di nomor 08119063737 hingga Instagram.
Hery meminta nelayan yang mengadukan tentang masalah pelayanan publik yang dialaminya dengan memperhatikan beberapa hal. Menuliskan kronologis singkat, menyertakan identitas pelapor, dan bukti otentik berupa foto atau video, contohnya.
Pada kesempatan tersebut, turut dilakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) tentang kerja sama peningkatan penyelenggaraan pelayanan publik untuk perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil dan tradisional antara ORI dengan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). MoU ditandatangani Ketua ORI, M. Najih, dan Ketua Umum KNTI, M. Riza Adha Damanik.