Kahminasional.com, Jakarta – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel), mendapati sejumlah problem dalam melakukan perampingan birokrasi dan penyetaraan jabatan aparatur sipil negara (ASN).
Hal tersebut diungkapkan Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsa, dalam Kajian Reboan #14 bertajuk “Reformasi Birokrasi; Harapan, Tantangan, dan Problematika Penyetaraan Jabatan Struktural dan Fungsional ASN” yang digelar Lembaga Kajian Strategis MN KAHMI, Kamis (3/2).
Setidaknya ada tiga masalah yang timbul. Pertama, belum adanya penyesuaian terhadap mekanisme kerja baru, adanya kesenjangan kompetensi, dan terdapat ketidaksesuaian jenjang dan kualifikasi pendidikan pejabat fungsional hasil penyetaraan.
Baca juga: Koorpres KAHMI: Good Governance Harus Diwujudkan Secara Serius
Ketiadaan mekanisme kerja baru terjadi menyusul adanya perubahan pola kerja imbas penyederhanaan struktur organisasi menjadi dua eselon.
Sedangkan kesenjangan kompetensi muncul akibat peralihan kompetensi dari pejabat struktural yang berbasis manajerial menjadi pejabat fungsional yang berbasis keahlian.
Adapun ketaksesuaian jenjang dan kualifikasi pendidikan, dicontohkan Adnan dengan adanya peneliti yang mensyaratkan diisi aparatur lulusan S-2, tetapi ditempati S-1 dan jabatan fungsional ahli muda pranata komputer diisi sarjana yang bukan bidang komputer.
Problem kedua, terdapat jabatan fungsional hasil penyetaraan yang kurang relevan dengan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
“Contoh pada Dinas Pemuda dan Olahraga, PTSP, [dan] Dinas Perhubungan tidak punya jabatan fungsional relevan sehingga dipilih jabatan fungsi analisis kebijakan,” jelas Adnan.
Selain itu, lanjut Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) ini, keterbatasan anggaran dalam pengembangan kompetensi bagi pejabat fungsi hasil penyetaraan.
Baca juga: Bupati Gowa soal Reformasi Birokrasi ala Jokowi: Sesuai Perkembangan Zaman
Pemkab Gowa, ungkapnya, membutuhkan anggaran sekitar Rp3,3 miliar atau setara Rp13 juta/orang untuk pengembangan kompetensi 260 pejabat fungsional, yang sebelumnya pejabat administratif.
“Tunjangan jabatan fungsional hasil penyetaraan rata-rata lebih rendah daripada tunjangan jabatan fungsional murni, padahal beban kerjanya lebih berat karena diberikan tugas tambahan sebagai subkoordinator,” imbuhnya.
Ketiga, belum optimalnya pembinaan pasca penyetaraan, belum terbentuknya pola pikir dan budaya kerja, terbatasnya kesempatan berkarier bagi aparatur, serta terhambatnya pola karier sebagian pejabat fungsional.
“Ini … carikan solusinya secara bersama-sama agar penyederhanaan birokrasi bisa terlaksana dengan baik sesuai harapan Bapak Presiden dan Menteri sehingga daerah bisa betul-betul melaksanakan penyederhanaan birokrasi,” urainya.
Oleh karena itu, Pemkab Gowa mengharapkan beberapa hal. Pertama, penetapan regulasi terkait pedoman mekanisme kerja.
Baca juga: Ada Masalah Hukum dalam Kebijakan Penyetaraan Birokrasi Jokowi
Lalu, pengembangan kompetensi pejabat fungsional hasil penyetaraan melalui pendidikan dan latihan serta ujian kompetensi.
Ketiga, perpindahan pada jabatan fungsional sesuai jenjang dan kualifikasi pendidikan. Kemudian, penetapan jenis jabatan fungsional baru sesuai kebutuhan daerah.
Selanjutnya, penambahan anggaran untuk pengembangan kompetensi. Keenam, akselerasi pembinaan jabatan fungsional pasca-penyetaraan.
Ketujuh, transformasi pola pikir dan budaya kerja. Berikutnya, kemudahan perpindahan dari jabatan pelaksana ke jabatan fungsional. Terakhir, kemudahan perpindahan antara jabatan fungsional yang relevan.