in

Kak Aida, perempuan mentor tangguh

Aida Vitayala Sjafri Hubeis (28 September 1947-12 Juli 2024), pakar gender Indonesia. Istimewa
Aida Vitayala Sjafri Hubeis (28 September 1947-12 Juli 2024), pakar gender Indonesia. Istimewa

Oleh Lena Maryana Mukti, Duta Besar LBBP RI untuk Kuwait dan Koordinator MPI

“Len, apa kabar?” Begitu suara Kak Aida menyapa setiap kali kami berkesempatan saling mengubungi. Biasanya kami menanyakan kesehatan masing-masing.

Saya sangat menyesal tidak bisa bertemu fisik dengan beliau saat berkunjung ke tanah air pada bulan Mei 2024. Kami hanya sempat bertukar kabar melalui telepon. Saat itu, beliau minta didoakan karena akhir-akhir ini merasa tidak sehat. Yang dikeluhkan beliau adalah rasa sakit di tangan dan bagian belakang punggungnya.

Saya mengenal Kak Aida ketika saya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat 1983-1989. Saat itu, saya mengikuti training HMI, yang salah satu narasumbernya adalah Kak Aida. Saya tidak ingat kapan tahunnya. Yang masih melekat di ingatan saya, meskipun sudah lewat kurang lebih 40 tahun, adalah sosok perempuan yang bertubuh tidak terlalu besar, tetapi suaranya sangat tegas dan jelas. Gaya bicara beliau runtut dan kadang diselingi pernyataan yang membuat kami tersenyum. Gaya bicara Kak Aida masih tetap sama meskipun sudah menginjak usia 70 tahunan.

Baca Juga :  Nuansa Kongres HMI dalam Muswil KAHMI Malut

Beliau selalu semangat apabila bertutur tentang pengawalan partisipasi dan representasi perempuan, baik di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), di mana beliau mengabdikan diri sepanjang hidupnya, maupun di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), organisasi intelektual muslim Indonesia yang ikut beliau dirikan dan di berbagai organisasi lainnya, termasuk di Maju Perempuan Indonesia (MPI), yang terbentuk pada 09 November 2011.

Dalam semua kegiatan MPI, Kak Aida tidak pernah absen memberi sumbang saran. Beliau akan tekun mengikuti meskipun sebagai seorang Guru Besar, kadang kegiatan diskusi virtual yang MPI lakukan sudah sangat beliau pahami. Beliau akan hadir dari awal hingga akhir diskusi. Beliau sangat paham bahwa kehadiran beliau akan memberi semangat kepada juniornya.

Beberapa tahun yang lalu, saat ultah beliau ke-70 tahun, saya dan Mbak Yuda berniat mengunjungi kediaman Kak Aida di Bogor. Bahkan, kami sudah membelikan bunga ucapan selamat ultah untuk beliau. Keinginan kami dengan alasan akan cari lain waktu karena saat itu hari sudah menjelang sore. Hingga wafatnya beliau, niat mengunjungi beliau di Bogor tidak terwujud.

Baca Juga :  Evaluasi ulang pemilu

Kabar sakitnya Kak Aida saya dengar dari anaknya tanggal 30 Juni 2024. Bunyi pesan WhatsApp (WA) yang saya terima sebagai berikut:

“Assalamualaikum, Bu Lena, saya Desina putrinya Bu Aida, mohon maaf baru mengabarkan bahwa Ibu Aida sedang dirawat sudah selama 17 hari. Saat ini, komunikasinya sangat terbatas, tetapi barusan minta saya info ke Ibu. Mohon doanya, ya, Bu, untuk kesembuhan Bu Aida. Terima kasih.”

Saya langsung telepon dan menanyakan kondisi beliau. Dari anak keduanya, saya mendapat tambahan informasi bahwa sesungguhnya Kak Aida bersiap keluar dari rumah sakit, tetapi tiba-tiba kondisinya menurun dan harus diobservasi kembali. Belakangan, saya mendapat informasi bahwa beliau menderita CA dan sudah menyebar.

Dada saya langsung sesak dan tidak kuasa menahan tangis.

Kembali saya hubungi anak beliau, Jumat, 12 Juli 2024, pukul 04.00 waktu Kuwait (pukul 08.00 WIB), saat bersiap akan salat Subuh untuk menanyakan perkembangan terakhir kesehatannya. Karena anaknya sedang dalam perjalanan ke RS, saya dijanjikan akan diberi kabar tentang kondisi Kak Aida.

Saat menunggu kabar, saya buka Al-Qur’an dan membacakan Surat Yasin untuk memohon kepada Sang Khalik, Allah Swt agar memberikan yang terbaik untuk Kak Aida.

Baca Juga :  Qulubuhum Syatta

Setelah memanjatkan doa selesai Yasinan, saya membatin, “Jika Allah berkehendak, mudahkanlah jalan Kak Aida menghadap-Nya di hari Jumat yang penuh keberkahan.”

Ternyata, berita wafatnya Kak Aida datang beberapa jam setelah itu. Air mata saya tidak terbendung karena kesedihan yang luar biasa ditinggal seorang kakak, mentor, guru, sekaligus panutan saya. Duka saya bertambah karena belum sempat menghadirkan Kak Aida di Kuwait, seperti yang selalu saya sampaikan ke beliau ketika kami berkomunikasi.

Saya ingin memperkenalkan beliau ke perempuan Kuwait bahwa kami punya perempuan intelektual tangguh yang sempurna sebagai sosok pendidik, sosok istri yang luar biasa ketika almarhum suami Kak Aida masih ada, juga sosok seorang ibu sekaligus nenek yang tidak pernah berhenti membagi ilmu dan membagi kebaikan.

Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, terimalah kembalinya Kak Aida ke haribaan-Mu. Terangilah alam kuburnya, ampuni segala dosa dan kesalahannya, dan tempatkanlah almarhumah di jannah-Mu. Lahal Fatihah. Amin.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.