Oleh Lukman Hakiem, Plt. Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Yogyakarta 1979-1981
Walaupun hanya Wakil Ketua Dewan Mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, akan tetapi kualitas aktivisme Maqdir Ismail boleh disejajarkan dengan tokoh-tokoh mahasiswa dari perguruan tinggi lain, seperti Lukman Hakim (Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia), Iskadir Chotob (Dewan Mahasiswa Unpad), Chudori Hamid (Dewan Masiswa IKIP Jakarta), Heri Ahmadi (Dewan Mahasiswa ITB), AR Nur (Dewan Mahasiswa IKIP Bandung), Baharuddin Aritonang dan Zulyaden (Dewan Mahasiswa UGM), serta Said Tuhuleley dan MT Arifin (Dewan Mahasiswa IKIP Yogyakarta).
Berbadan kecil, tidak berarti Maqdir berpikir kecil. Sikap kritisnya terhadap rezim Orde Baru menyebabkan penguasa murka. Apalagi, Maqdir turut menandatangani ikrar mahasiswa Indonesia yang meminta MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soeharto atas berbagai penyelewengan yang dilakukan. Bersama sejumlah penandatangan ikrar mahasiswa Indonesia lainnya, Maqdir kemudian ditangkap dan dipenjara di Markas Tentara di Semarang selama hampir 1 tahun.
Selepas dari tahanan rezim Orde Baru, Maqdir tidak terus tiarap. Dia menyediakan kantor Dewan Mahasiswa UII untuk tempat konsolidasi para mahasiswa penolak NKK/BKK ala Daoed Yoesoef. Padahal, Maqdir sendiri saat itu sedang menghadapi persidangan di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Maqdir memang piawai mengonsolidasikan kekuatan para mahasiswa pengeritik pemerintah. Para Mahasiswa yang kritis itu diminta oleh Maqdir untuk turut menyiapkan naskah pembelaan (pledoi) yang akan dibacakan Maqdir di Pengadilan.
Ditemani kopi dan pisang goreng yang besarnya luar biasa, para aktivis mahasiswa junior Maqdir itu dengan bersemangat menumpahkan seluruh pikirannya untuk menyusun pledoi Maqdir.
Pada masa mencekam itu, ada saja orang yang bersedia membantu perjuangan mahasiswa. Karena asyik menghantam pemerintah melalui naskah pledoi, seringkali para aktivis mahasiswa itu lupa waktu sehingga sudah lewat tengah malam naskah pledoi yang akan dibacakan Maqdir keesokan harinya belum siap. Dalam keadaan seperti itu, para penulis pledoi amatir itu segera melapor kepada Maqdir dan Maqdir menyampaikan hal itu kepada kawannya seorang dokter, yang kemudian dokter tersebut dengan senang hati mengeluarkan surat keterangan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta berisi pemberitahuan bahwa Maqdir Ismail terganggu kesehatannya sehingga tidak bisa menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Yogyakarta seperti biasanya.
Sikap Maqdir yang teguh pendirian dan tidak mengenal rasa takut itu tentu saja karena didukung oleh lingkungan sekitar. Maqdir dan para aktivis para mahasiswa UII beruntung karena memiliki rektor, GBPH Prabuningrat, seorang ningrat, yang sudah selesai dengan dirinya. Dan karena itu, tanpa ragu selalu tampil di depan mendukung dan membela perjuangan para mahasiswa UII. Populer di kalangan mahasiswa cerita tentang tentara yang akan memasuki kampus UII di Jalan Cikditiro menarik mundur pasukannya hanya karena melihat Prabuningrat berdiri tegak di gerbang kampus UII. Para tentara dengan senjata lengkap itu ternyata segan kepada adik Sri Sultan Hamengkubuwono IX tersebut.
Maqdir juga beruntung ditemani oleh para aktivis yang lurus seperti Artidjo Alkostar (Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UII), SF Marbun (Ketua Dewan Mahasiswa UII), dan aktivis lain seperti Daris Purba. Maqdir beruntung bukan saja karena mendapat dukungan moral dan wibawa dari rektor dan kolega-koleganya, bahkan Dekan FH UII, Imam Suhadi, memimpin langsung Tim Pembela Maqdir Ismail di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Maqdir dan Petisi 50
Sesudah peristiwa 15 Januari 1974, yang berakhir dengan ditangkapnya sejumlah tokoh dan diberangusnya sejumlah koran, aksi-aksi protes dari kampus juga tidak surut. Puncaknya adalah gerakan mahasiwa 1977/1978. Dan sekali lagi, sejumlah orang ditangkap, sejumlah koran dihentikan terbit sementara, lembaga-lembaga mahasiswa dibekukan, dan pers kampus dilarang terbit.
Keprihatinan yang sama rupanya menyentuh pula para purnawirawan ABRI tertentu, terutama dari Divisi Brawijaya, Siliwangi, dan Diponegoro, yang sejak pertengahan 1970-an kerap bertemu dalam wadah keluarga besar Brawijaya-Siliwangi-Diponegoro (Brasildi) guna mendiskusikan situasi nasional pada umumnya dan peranan sosial politik ABRI pada khususnya.
Kelompok diskusi inilah yang kemudian diwadahi secara formal oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Widodo. Dalam kedudukannya sebagai Ketua Yayasan Kartika Eka Paksi, Widodo mengeluarkan SK No. 060/YKEP/1978 tertanggal 12 April 1978 tentang Pembentukan Forum Studi Komunikasi Para Purnawirawan Perwira Tinggi TNI AD (Fosko AD) sebagai suborganisasi YKEP. Widodo pula yang membiayai kegiatan Fosko AD ini.
Susunan pengurus Fosko AD ini ialah presidium, terdiri dari Letjen GPH Djatikusumo, Letjen Soedirman, dan Mayjen A. Sukendro. Sekretaris Jenderal Letjen HR Dharsono, Departemen Politik Letjen AY Mokoginta dan Brigjen Daan Jahja, Departemen Ekonomi Letjen M. Jasin dan Brigjen Agus Prasmono, Departemen Sosial Mayjen Munadi dan Mayjen Drs. Iskandar Ranuwihardjo, Departemen Budaya Mayjen Brotosewoyo dan Brigjen Broto Hamidjojo, Departemen Hukum Letjen Sugih Arto dan Mayjen Muamil Effendy, dan anggota-anggota Kolonel Alex Kawilarang, Kolonel Candra Hasan, Mayjen Harun Sohar, dan Brigjen Sukanda Bratamenggala.
Sejak dibentuk, Fosko AD telah mengeluarkan beberapa memorandum. Pertama, tentang Sidang Umum MPR 1978. Dikatakan oleh Fosko AD, kendati Soeharto terpilih kembali sebagai presiden untuk ketiga kalinya, tetapi langkah ke arah itu dilakukannya dengan menciptakan semacam “suasana perang” dalam sidang-sidang MPR guna memperoleh dukungan mutlak. Hal ini harus diubah. Juga disebutkan, perlu mendengarkan suara generasi muda, terutama mahasiswa dan mengakui apa yang benar dari perkataan mereka.
Kedua, tentang TNI dan dwifungsinya. Ada tiga hal yang disoroti Fosko AD. Prinsip-prinsip dwifungsi yang dicetuskan pada masa revolusi perlu ditinjau kembali, disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dwifungsi adalah misi bukan demi pekerjaan. Kehidupan politik Indonesia harus diperbaiki sesuai prinsip-prinsip demokratis, memberi kesempatan yang sama bagi kelompok masyarakat untuk berpolitik agar TNI tidak mendukung atau menjadi bagian Golkar sesuai nilai-nilai moralnya (Sapta Marga): TNI atau ABRI harus tetap berada diatas semua golongan.
Ketiga, tentang Golkar dan permasalahannya. Memorandum yang dikeluarkan menjelang Musyawarah Nasional (Munas) II Golkar, Oktober 1978, yang intinya menyerukan seluruh jajaran ABRI meninggalkan dukungan aktif kepada Golkar dan berdiri di atas semua golongan sesuai pesan almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman. Golkar harus dikembalikan pada proposinya sebagai partai politik yang mandiri, dewasa, dan tidak dianakemaskan. Golkar dikritik tidak mampu membentuk kader-kader tangguh karena tergantung pada birokrasi dan ABRI.
Keempat, pada pokoknya memberi catatan sekitar konsolidasi dan penertiban TNI/ABRI, TNI/ABRI sebagai kekuatan sosial, kemanunggalan ABRI dengan rakyat, dan stabilitas nasional yang dinamis. Semua hal itu perlu ditata dengan baik agar tidak menimbulkan ekses bagi semua pihak.
Kelima, tentang pemerataan pembangunan, yang intinya menyatakan bahwa pemerataan pembangunan belum sepenuhnya tercapai, terutama di lapisan masyarakat miskin.
Keprihatinan terhadap situasi nasional tidak hanya dimiliki mereka yang berada di luar sistem kekuasaan, seperti para bekas politisi, bekas pejabat negara, atau bekas tentara. Perasaan prihatin pun meliputi pula Ketua Umum Kosgoro, Mayjen Mas Isman. Selama Kongres IV organisasi pendukung Golkar itu, Isman menyeru kaum intelektual Indonesia agar berorientasi kepada rakyat, undang-undang, dan peraturan negara harus ditegakkan, perasaan keadilan harus diciptakan, konsep massa mengambang dikritik sebagai bakal melahirkan pemimpin yang mengambang dan oportunis-oportunis politik yang akan menghambat pembangunan bangsa, dan hubungan antara Golkar dan militer harus diperbaiki.
Isman menganggap Golkar tidak perlu terus-menerus bergantung pada pemerintah dan militer. Jika ini terjadi, Golkar tidak akan melahirkan gagasan-gagasannya sendiri, tetapi hanya menjadi alat birokrasi. Isman pun berharap pemilihan umum di masa depan harus dimenangkan tidak melalui cara-cara abnormal dan tidak perlu dengan mayoritas suara yang begitu besar. Isman menyatakan, lebih baik menang sebagai kekuatan politik yang benar-benar memperoleh mandat dari rakyat.
Suara kritis juga muncul dari kalangan resmi. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung 1973-1978, Letjen Alamsjah Ratoe Perwiranegara, dalam pidato berjudul “Keadilan Sosial sebagai Tantangan Pembangunan Dewasa Ini” pada Seminar Nasional Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS) di Manado, 14-20 November 1977, menyoroti berbagai ketimpangan yang terjadi di masyarakat sejak dimulainya pembangunan oleh Orde Baru.
Mengenai sistem politik, Alamsjah menegaskan, bahwa esensi suatu sistem politik ialah pembagian kekuasaan di antara kekuatan-kekuatan sosial. Namun, kata Alamsjah, sekarang ini kekuatan politik dipegang oleh golongan yang memenangkan pemilihan umum dan ditunjang oleh ABRI. Menurut Alamsjah, menyitir pandangan sementara kalangan, praktik demokrasi Pancasila dalam perkembangannya sekarang ini menunjukkan bahwa peranan utama pada hakikatnya dijalankan oleh ABRI yang telah berhasil menumbuhkan dukungan dalam masyarakat berupa organisasi Golongan Karya. Partai-partai yang sebenarnya sudah mulai terpojok dalam periode demokrasi terpimpin, dalam Orde Baru tidak mendapatkan iklim yang menguntungkan bagi perkembangannnya sehingga lebih mengalami kemunduran. Apalagi, setelah diadakan fusi dalam rangka penyederhanaan kepartaian, kedudukan partai menjadi semakin lemah dan tidak cukup bobot untuk memegang peranan yang berarti dalam kehidupan bernegara. Hal ini tecermin dalam komposisi badan-badan perwakilan rakyat, di mana perimbangannya sangat timpang.
Alamsjah mencatat, akibat ketimpangan dalam badan perwakilan rakyat, lembaga-lembaga tersebut tidak bisa menjalankan fungsi pengawasannya seperti dikehendaki oleh UUD 1945. Padahal, kata Alamsjah, mestinya kedudukan sama kuat antara presiden dan parlemen merupakan cornerstone sistem pemerintahan menurut demokrasi Pancasila. Akibat lemahnya kontrol, pemerintah beserta birokrasinya ditambah karyawan yang ikut dalam Golkar dan duduk dalam DPR dapat bergerak leluasa.
“Kurang adanya kegiatan partai politik, seperti lazimnya dalam negara demokrasi yang dikenal selama ini, menyebabkan tidak dapat terbentuknya organized opinion sebagai salah satu pencerminan kontrol sosial masyarakat. Akibat berikutnya, di hampir semua segi kehidupan, wajar aparatur negara menampakkan diri. Inilah yang oleh banyak orang dimaksudkan dengan ambtenarenstaat, yang jelas tidak menguntungkan bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat menurut ukuran yang dikenal sebelumnya dan memberikan kesan negatif bagi pandangan dunia luar,” ujar Alamsjah.
Tidak kurang dari Wakil Presiden 1973-1983, Adam Malik, memperdengarkan suara kritisnya. Pada puncak peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan bersama Fosko AD, DHD Angkatan 45 Jakarta, LBH, dan lain-lain, 1 Juni 1979, Adam Malik berkata, “Kita semua telah berikrar akan setia, menghayati, dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Namun, sering ucapan itu hanya di bibir saja tanpa diikuti dengan perbuatan yang nyata. Ini dosa kita. Inilah pokok masalah sekarang. Inilah penyebab utama yang membuat kemacetan-kemacetan sehingga mekanisme pemerintahan tidak jalan dengan selayaknya.”
Pada pidato di Auditorium Graha Purna Yudha itu, Adam Malik juga berkata, ” … banjir, serangan wereng, gempa bumi, dab berbagai penyakit melanda Indonesia saat ini merupakan peringatan Tuhan kepada kita. Kita semua telah berdosa, kita telah menyanggupi untuk setia kepada Pancasila dan UUD 1945, tapi tidak dipenuhi. Ini merupakan masalah mendasar dan penyebab utama keruwetan praktik pemerintahan sekarang. Sebagian pejabat hanya melihat, tapi tidak berusaha untuk mengerti. Orang-orang semacam ini tidak peduli terhadap Pancasila, UUD 1945, dan nasib rakyat ….”
Pidato Adam Malik itu tentu saja terasa bagai halilintar di siang bolong. Yang segera merasakan akibatnya adalah Fosko AD. Forum tersebut dibekukan oleh KSAD Jenderal Widodo. Sebagai gantinya, pada tanggal 21 Juni 1979, melalui SK No. 059/YKEP/1979, Widodo menyetujui pembentukan Forum Komunikasi dan Studi Purna Yudha, dengan catatan seluruh kegiatannya tidak boleh dibawa keluar. Namun, menurut Sukendro, kecuali nama, tidak ada yang berubah. Semuanya tetap, intensitas kegiatannya tetap, dan tujuannya tetap sama dengan Fosko AD: mengubah sistem agar infrastruktur politik dapat berjalan lebih baik.
Sementara itu, penting juga dicatat pada Sidang Umum MPR 1978, terjadi walk out Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) dari Komisi B yang membahas Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. FPP tidak berkeberatan adanya suatu pedoman untuk mengamalkan Pancasila asal tidak berbentuk Ketetapan MPR dan tidak berbeda dengan jiwa dan makna Pancasila yang terdapat dalam UUD 1945. FPP juga meninggalkan ruangan ketika Komisi A hendak melakukan pemungutan suara tentang masuknya aliran kepercayaan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Pada saat yang bersamaan, melalui pengadilan yang tidak bebas dan penuh rekayasa, Maqdir dijatuhi hukuman penjara yang sesungguhnya sekadar untuk melegitimasi pemenjaraan sebelumnya. Meskipun menyandang status sebagai “terhukum”, Maqdir memperlihatkan kualitasnya sebagai aktivis yang tidak mengenal rasa takut. Maqdir, yang sejak lulus kuliah menetap di Jakarta, tidak menghentikan sikap kritisnya kepada Orde Baru.
Bersama teman-temannya sesama aktivis Mahasiswa dan para negarawan senior, seperti Jenderal AH Nasution, Jenderal Polisi Hoegeng, Letnan Jenderal Marinir (Purn.) Ali Sadikin, Mohammad Natsir, Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Dr. Anwar Harjono, Maqdir turut menandatangani Petisi 50. Akibatnya, Maqdir harus mengalami pembunuhan hak-hak sipilnya sehingga kariernya sebagai pengacara terhambat. Pengacara Maqdir baru muncul kembali kepermukaan setelah Presiden Soeharto berhenti dan datang era reformasi.
Dalam persahabatan lebih dari 4 dasawarsa, saya menimba ilmu dan belajar dari Maqdir. Saya belajar mengenai keteguhan pendirian dan sikap pantang menyerah dari Maqdir.
Pada ulang tahun ke-70, saya berdoa semoga Maqdir Ismail diberi umur panjang dalam sehat dan taat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Jangan lupa bahagia.