Oleh Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional (PKN), Presidium MN KAHMI 2012-2017
Sambil terus mengikuti proses rekapitulasi nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), mari kita lihat kembali realitas di lapangan yang cenderung tidak mendukung hadirnya pemilu yang sehat dan demokratis. Pemilu telah bergeser dari kontestasi politik menjadi pertandingan logistik alias amplop. Gejala “amplopisme” sudah hampir merata di seluruh daerah pemilihan (dapil) dan tingkatan pemilihan.
Mendengar cerita dari calon legislatif (caleg) yang berhasil maupun tidak berhasil, termasuk memantau sendiri dengan detail di lapangan, rasanya sulit menemukan caleg yang tidak menggunakan teknik amplop. Jikapun ada, persentasenya sangat kecil. Jikapun ada, ya.
Tentu hal ini terkait dengan pilihan sistem pemilu kita yang bertemu dengan realitas politik partai–dan caleg–dan keadaan para pemilih.
Sistem proporsional terbuka, yang selama ini saya yakini lebih baik, turut berkontribusi terjadinya “brutalisme kompetisi” logistik. Sistem ini sudah seperti mengundang dan bahkan (hampir) memaksa para caleg untuk menempuh ideologi “amplopisme” dalam mendapatkan dan mengumpulkan suara. Ironis banget!
Sudah lazim kalau terdengar ada caleg DPR yang habis puluhan miliar untuk berhasil. Bahkan, tidak sedikit yang masih gagal juga. Di beberapa daerah, saya bertemu dengan fakta bahwa untuk DPRD kabupaten/kota perlu miliaran juga. Ada yang habis Rp1,5 miliar bahkan lebih yang juga tetap belum berhasil. Sungguh realitas yang mengerikan dan menyedihkan.
Ini sudah jauh dari tujuan dasar sistem proporsional terbuka untuk membangun akuntabilitas politik wakil rakyat dan mendorong partai untuk memperbaiki rekrutmen politik. Keadaan di lapangan sudah cenderung destruktif.
Budaya politik demokrasi tidak saja tidak terbentuk, tetapi bibit-bibit yang telah tersemaikan sudah tergejala layu. Pemilih termobilisasi oleh kuasa logistik atau “daya sihir” amplop. Realitas ini mengubah cara pandang saya tentang sistem proporsional terbuka yang ternyata diselenggarakan dengan penuh distorsi.
Saatnya kita evaluasi lagi sistem pemilu. Jika keadaan lapangan begini, sistem proporsional semiterbuka perlu dilihat lagi: kembali ke nomor urut kecuali caleg yang mendapatkan 1 kuota kursi. Bahkan, mungkin sekalian sistem proporsional tertutup: coblos partai saja.
Jika sistem proporsional semiterbuka yang dipilih (kembali) atau bahkan sistem proporsional tertutup, yang perlu “ditertibkan” adalah partai, khususnya dalam proses rekrutmen dan penyusunan daftar caleg. Partai harus disiplin dan menghindari transaksi politik gelap dalam proses penyusunan nomor urut dalam daftar caleg.