in

Modal Sosial dalam Bingkai Desentralisasi dan Demokrasi

Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Untad Palu serta Pembina Indonesia Care, Iqbal Setyarso. Istimewa
Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Untad Palu serta Pembina Indonesia Care, Iqbal Setyarso. Istimewa

Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Pembina Indonesia Care

Modal Sosial menjadi salah satu kekayaan gerakan sosial sebagai tantangan menghadapi warisan feodalisme-birokratisme-sentralisme pada masa lalu. Sebuah ikhtiar tanpa henti dalam masyarakat yang mengidap low trust sekaligus menjadikan demokrasi lebih bermakna.

Fenomena desentralisasi yang berdentang keras sejak 1970-an telah menjadi komitmen global di dunia. Berangsur-angsur dunia menyempurnakan geliat pro demokrasi dengan menjadikan modal sosial simultan dengan desentralisasi banyak hal dalam negara bangsa yang kian memenuhi keinginan masyarakatnya.

Selama satu dekade terakhir, modal sosial menjadi perhatian serius dalam sosiologi, ekonomi, ilmu politik, kesehatan, dan bahkan dikembangkan oleh agen-agen pembangunan internasional. Perhatian pada modal sosial tampak paralel dengan perhatian pada good governance desentralisasi, demokrasi lokal, pemberdayaan, civil society, dan seterusnya.

Coleman (1988) adalah sosiolog pertama yang mengusung modal sosial ke dalam mainstream ilmu sosial Amerika, yang kemudian semakin dipopulerkan oleh studi Putnam (1993, 1995, 2000).

Membincang isu modal sosial ini demikian penting, setara dengan perhatian dunia pada good governance dan menjadikan sense of urgency kita perlu memiliki porsi yang setara dalam mengeksplorasi modal sosial.

Memahami Modal Sosial
Menurut Coleman (1998), modal sosial adalah inherently functional dan modal sosial adalah apa saja yang memungkinkan orang atau institusi bertindak. Karena itu, modal sosial bukan merupakan suatu mekanisme, sesuatu atau hasil, tetapi merupakan beberapa atau semua semua dari mereka (mekanisme, sesuatu, dan hasil) secara simultan. Portes (1998) melihat ini sebagai sebuah langkah pengembangan (proliferation) ide modal sosial dan negara. “Coleman sendiri memulai pengembangan (proliferation) itu dengan memasukkan beberapa istilah mekanisme yang menghasilkan modal sosial; konsekuensi dari kepemilikannya yang menyediakan konteks bagi sumber dan pengaruh”.

Baca Juga :  World Without Agriculture?

Akhirnya, modal sosial, bagi Coleman (1998), adalah netral secara normative dan moral, yaitu bahwa modal sosial diinginkan sekaligus juga tidak diinginkan; modal sosial hanya memungkinkan tindakan terjadi dengan menyediakan sumber daya yang diperlukan.

Meskipun kerja Coleman (1988) membawa modal sosial ke dalam ilmu-ilmu sosial, menjadi sumber pokok ide bagi para praktisi dan peneliti adalah Putnam (1993a, 1993b, 1995, 1996, 2000). Ada beberapa transisi kunci yang muncul ketika Putnam (1993a) pertama kali menggunakan istilah modal sosial.

Pertama, modal sosial diubah dari sesuatu yang didapat oleh individu kepada sesuatu yang dimiliki (atau tidak dimiliki) oleh individu lain atau kelompok orang di daerah, komunitas, kota, negara, atau benua. Kedua, modal sosial bisa dipertukarkan dengan masyarakat sipil atau secara lebih tepat dengan pandangan baru Tocqueville yang khusus tentang masyarakat sipil. Dengan demikian, asosiasi sukarela, organisasi nonpemerintah, berdasarkan kepercayaan, menjadi institusi yang menghasilkan modal sosial.

Ketiga, modal sosial terutama menjadi sebuah hal yang secara normatif baik dan diberikan untuk (1) mempromosikan pemerintah yang baik (demokratis) dan (2) menghasilkan dan membuat keberlanjutan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Keempat, ketika Putnam membawa kerangka kerja ini kepada konteks Amerika, dia melakukannya dnegan membuat argument, bahwa modal sosial dan masyarakat sipil sedang merosot di Amerika Serikat dan sejak pertengahan tahun 1960-an (1993b, 1995, 1996, 2000), kecenderungan ini menandakan masalah ekonomi dan politik jangka panjang.

Secara umum, modal sosial menjadi indikator positif dalam menakar kesungguhan pro rakyat isme pada era modern. Era modern itu kalau di Inggris dianggap dimulai saat Perdana Menteri Margareth Tatcher sehingga merombak birokrasi negara meskipun harus berhadapan dengan gelombang protes dari elemen-elemen birokrasi negara–sehingga dijuluki “bertangan besi”. Namun demikian, di Indonesia, ini solusi kepemimpinan yang hanya masuk akal secara teoritis, tetapi tidak masuk akal secara empiris. Solusi kepemimpinan yang volunteristik gagal memunculkan titik terang yang sanggup melahirkan pemimpin yang bersih, bertangan bersih, dan berbasis massa.

Baca Juga :  Malu sebagai Core of Leadership

Sebelumnya, elemen-elemen pendukung demokratisasi sangat berharap ketika kepemimpinan di tangan Gus Dur karena beliau tampil sebagai pemimpin visioner, berbasis massa, dan bertangan bersih. Namun, sayang Gus Dur tidak bersih dari praktik KKN dan kemudian membuatnya terdepak oleh patronasi politik.

Gebyar pro rakyat isme berpendekatan bersifat volunteristik adalah konvergensi elite, yang menekankan perlunya konsensus bersama di kalangan elite untuk membawa Indonesia keluar dari krisis sekaligus menjadi titik awal membangun Indonesia yang demokratis dan desentralistik. Lagi-lagi solusi ini tidak masuk akal secara politik dan empiris. Mengapa? Menurut Suroro Eko (2004), “Masyarakat Indonesia selama era reformasi justru menyaksikan oligarki elite yang lebih banyak memperjuangkan kepentingan kekuasaan mereka sendiri daripada mendorong demokratisasi untuk Indonesia. Elite politik tidak punya komitmen terhadap perubahan; sebaliknya, mereka sibuk menghabiskan energinya untuk berbagi-bagoi kekuasaan dan kekayaan.”

Statement Surono Eko itu bukan kemarin, tetapi sejak tahun 2004 yang silam. Kalau kini fenomena itu “masih terasa”, perlu gerakan apalagi menghadapi krisi dari dalam “batang tubuh negeri ini”?

Lingkaran Setan Krisis
Problem dasarnya, yang cukup mencuat, capacity building dan reformasi birokrasi. Menjadi pertanyaan serius, sejauh mana pendekatan ini relevan secara empiris? Penguatan kapasitas birokrasi adalah “paradigma jadul” dalam khazanah pemerintahan di Indonesia–apa yang dahulu dikenal sebagai pengembangan sumber daya manusia. Di atas kertas, pendekatan ini sangat penting demi mendorong kemampuan birokrasi negara agar mereka mampu bekerja secara akuntabel, responsif, dan profesional. Namun, capacity building tidak pernah bekerja di ruang kosong. Secara empiris, birokrasi Indonesia memang sangat lemah kapasitasnya, tetapi problem dasarnya bukan pada lemahnya kapasitas, melainkan struktur birokrasi negara yang terlalu besar, dominatif, feodal, dan korup. Ketika struktur birokrasi ini masih mencengkeram, maka capacity building hanya mampu membuahkan peningkatan perorangan, tetapi tidak mampu membuahkan perubahan secara institusional.

Baca Juga :  K-Pay dan Revolusi Kebudayaan

Pada zamannya, kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri pernah melontarkan pernyataan kritik, “Birokrasi adalah keranjang sampah yang sarat dengan korupsi”. Namun, nyaris tidak pernah melahirkan kebijakan radikal (radical policy) untuk reformasi birokrasi. Menpan Faisal Tamin ketika itu mengedepankan data bahwa sejumlah 60% PNS (kini istilahnya ASN, aparatur sipil begara) di Indonesia tidak produktif sehingga harus dipangkas. Namun, Menpan pun tidak membuat kebijakan konkret untuk memotong birokrasi itu. Karena itu, agenda reformasi birokrasi hanya masuk akal secara teoritis, tetapi tidak masuk akal secara empiris. Fenomenanya, vicious circle atau lingkaran setan dalam birokrasi kita.

Meskipun begitu, demokratisasi dan desentralisasi memang membuahkan segudang masalah baru dan civil society sebagai gerakan pro perubahan amat terseok-seok, tetapi tidak boleh berhenti apalagi mundur. Semua ikhtiar senantiasa harus optimistis demi kemaslahatan pada masa depan. Bagaimanapun, demokratisasi yang berbasis pada gerakan civil society merupakan pendorong perubahan untuk Indonesia yang lebih baik, makmur, sejahtera, dan berkeadilan.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.