Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care
Saat pro kontra pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menderas, saya sampai pada keinsafan untuk berpikir realistis. Pertama, bukankah Indonesia sedang didera krisis ekonomi dengan angka utang luar negeri (menurut Katadata, Rp7.052,5 triliun sampai Maret 2022)? itu pun kini pandemi sudah memasuki tahun ketiga. Kedua, sejauh ini, belum ada negara yang mau memberi pinjaman luar negeri.
Dengan kondisi ini, sangat tidak realistis (meskipun sangat ingin) untuk tidak meneruskan gagasan itu. Misalnya, dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua ini ada legacy agar bisa melahirkan kebijakan yang dahulu pernah digagas Presiden pertama Indonesia dan belum terwujud. Sungguh tidak realistis dalam perspektif banyak rakyat Indonesia, kecuali yang mengidolakan Presiden Joko Widodo.
Nrimo, Bukan Pasrah
Dalam kosa kata bahasa Jawa, terdapat istilah nrimo. Nrimo adalah menerima keadaan, tetapi tidak sekadar pasrah. Nrimo yang bukan pasrah sebagai ekspresi tidak ngoyo memburu pencapaian. Bisa dikatakan nrimo dengan sikap positif. Nrimo yang dimaknai realistis apalagi sampai “memburu” utangan. Realistis dengan trilunan rupiah per Maret 2022, berkonsentrasi untuk mengikhtiarkan pembayaran sembari mendorong ekspor komoditas dalam negeri. Saatnya menjawab tantangan, menggenjot ekspor, bukan dengan ramai-ramai bancakan menghabisi anggaran pembangunan.
Sejumlah kementerian, seperti Koperasi (plus UMKM), Perindustrian (berkonsentrasi pada industri kerajinan berteknologi tepat guna selain mengembangkan teknologi informatika dan komputer), Perdagangan, semua kompak membangun ikhtiar bersama untuk Indonesia maju. Wujud kemauan kuat ditunjukkan dengan melahirkan sejumlah policy ke arah conditioning iklim berusaha demi mengakselerasi usaha. Dalam kondisi kegentingan “darurat ekonomi” sangat realistis menciptakan kondisi percepatan berusaha, bukan saja usaha berbasis industri “basah” dan “bernilai ekonomi tinggi”, seperti pertambangan, tetapi juga UMKM (usaha menengah, kecil, dan mikro).
Kalau memang demikian, maka relevan dengan pilihan penyelengaraan Musyawarah Nasional (Munas) KAHMI sehingga bertempat di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng). Pilihan Kota Palu sebagai sentra Munas KAHMI mengandung misi mulia dengan empati total kepada Palu, yang pernah menjadi menyandang bencana alam multidisaster, triple disaster: gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami. Meskipun sudah berlalu sejak tahun 2018 silam, ekses dan dampak fisiknya masih membekas dan sejumlah korban yang belum memperoleh bantuan, terutama rumah (hunian tetap), masih menunggu uluran bantuan.
Realistis dengan Gagasan
Bencana Palu (meskipun telah empat tahun silam berlaju) masih menyisakan penyintas dengan problematikanya. Terlalu cuek atas fakta banyaknya penyintas dengan problematika pascabencana itu seakan mengekspresikan kebekuan hati. Terlebih, ada perhelatan seakbar musyawarah nasional sekelas alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Rasanya, sangat tidak elok “membekukan perasaan” komunitas alumni HMI dari fakta mengenaskan itu.
Maka, “penebus kebekuan hati” itu kompak siap mengimplementasikan tiga semangat Munas KAHMI. Pertama, menghalau stigma Poso dari persepsi sebagai sarang terorisme dan konflik; kedua, mengedepankan kerelawanan sosial; dan ketiga, mengembangkan UMKM dan pengelolaan sumber daya secara sustainable. Ini cara bijak dan realistis dalam merayakan perhelatan bernama Munas KAHMI. Hanya dengan cara ini Munas KAHMI selain menjawab panggilan zaman yang kian kekinian, juga secara realistis membuktikan HMI sebagai organisasi kader masih relevan dengan zaman. Untuk itu, steering committee (panitia pengarah) dan organizing committee (panitia pelaksana) akan berupaya keras untuk memenuhi mandatnya.
Steering committee (SC) akan dilibati sejumlah orang dengan kompetensi lebih. Kompetensi lebih karena pengalaman dan jam terbang, wawasan dan perspektif yang luas, dan berbagai pertimbangan mungkin pula karena kebijaksanaannya dengan mempertimbangkan berbagai hal. Karena kompetensinya, maka orang-orang di SC mendapat mandat mengarahkan organizing committee (OC). OC mendapat mandat untuk berkoordinasi dengan bidang kerja lainnya dalam kepanitiaan event, berpartisipasi aktif melaksanakan kegiatan sesuai rencana, saling memberikan bantuan lintas divisi, melaporkan perkembangan kerjanya dalam rapat-rapat kepanitiaan, menyusun laporan alokasi anggaran di tiap divisi.