Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care
Judul artikel ini sama sekali bukan mempertanyakan, tetapi sekadar menghadirkan perspektif “mengapa harus pindah”? Indonesia salah satu bangsa yang punya orientasi ke masa lalu. Ini bukan sesuatu yang negatif. Artinya, bangsa yang punya orientasi pada masa lalu, meletakkan sejarah pada porsinya, dengan ingat sejarah–seperti kata sejarawan Louis Gottschalk, “understanding history“. Tetapi, kita juga bangsa yang futuristik dengan berpikir pada masa depan dan mendorong invention. Ini mengambil ibrah pembelajaran dari para ilmuwan muslim pada masa lalu. Kecenderungan berpikir jauh ke depan harus menjadi sikap dan cara pandang bangsa muslim karena pesan kenabian sarat dengan pembelajaran, baik dari masa lalu, merenungkan kekinian, sekaligus berpikir keakanan (masa depan).
Bahkan, sebuah hadis menyatakan, “Barang siapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung. Barang siapa yang harinya sama dengan kemarin, maka dia adalah orang yang merugi. Barang siapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin, maka dia terlaknat”. Ini hadis yang perawinya daif, tetapi begitu masyhur dan memasyarakat. Menurut fukaha, karena secara substantif tidak bertentangan dengan hadis-hadis lainnya dan kontennya juga baik, maka hadis itu dibiarkan beredar di masyarakat.
Dalil lain, ini firman Allah, “Dan [ingatlah], tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah [nikmat] kepadamu dan jika kamu mengingkari [nikmat-Ku], maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim: 7)”. Konstatasi ini lebih “mengena” untuk ikhtiar penghargaan bagi seorang hamba dalam memaknai hidupnya. Dimensi keakanan muslim mendorong optimisme sehingga senantiasa memandang hari esok lebih baik. Kesanggupan seorang muslim menempatkan kehidupan selanjutnya selalu lebih baik. Selalu do it better, lakukan dengan lebih baik. Dengan itu, pertanyaan di awal artikel ini mendapatkan konteksnya, “mengapa harus pindah”? Ada sejumlah argumentasi membingkai perspektif ini.
Asas spatiality. Ini bicara tentang Jakarta, Ibu Kota Negara (IKN). Spatiality adalah istilah yang digunakan dalam arsitektur untuk karakteristik yang dilihat dari aspek tertentu, menentukan kualitas sebuah ruang. Dibandingkan dengan istilah kelapangan, yang mencakup formal, penentuan dimensi ukuran–kedalaman, lebar, atau tinggi–spasitas adalah istilah kategori yang lebih tinggi. Mengacu Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, saya ingin katakan, dengan sejumlah pertimbangan sehingga perlu pindah. Asas spatiality menjadi dalih rasional. Untuk tumbuh kembang, manusianya perlu ruang. Tidak cukup “hanya di sini” saja.
Munculnya IKN yang baru (katakanlah Kalimantan Timur), membetot perspektif baru, membuat semua yang suka atau tidak suka beradu argumentasi. Fakta tak terbantah bahwa Pulau Jawa padat penduduk berdasarkan Survei Penduduk Antarsensus (Supas) tahun 2015. Sebanyak 56,56% penduduk di Indonesia berada di Pulau Jawa. Pulau Jawa menjadi pulau paling padat di Indonesia. Sedangkan pulau lain, persentase kepadatan penduduk kurang dari Jawa. Data dari Supas tahun 2020, Pulau Jawa berada di peringkat pertama dengan persentase penduduk sebanyak 56,10%. Sementara itu, di posisi kedua, penduduk di Kalimantan bertambah menjadi 6,15%.
Asas disparitas kontribusi ekonomi. Tidak nyaman untuk berkutat mempertahankan disparitas kontribusi ekonomi (mengutip data BPS, Pulau Jawa pada tahun 2020 berada di peringkat pertama kontribusi ekonomi produk domestik bruto/PDB sebesar 59,14%, posisi kedua adalah Pulau Sumatra dengan PDB 21,4%, Pulau Kalimantan PDB 8,12%, Pulau Sulawesi PDB 6,19%, sedangkan Bali dan Nusa Tenggara PDB 2,95%. Kontribusi PDB paling rendah berada di Pulau Maluku dan Papua. Kedua pulau ini berkontribusi sebanyak 2,24% untuk Indonesia). Dalih disparitas ekonomi ini menguatkan tekad Indonesia perlu memindahkan ibu kotanya.
Asas darurat air bersih. Realistis ketika keberadaan air bersih dilanda kelangkaan, padahal air sumber kehidupan. Multiplying effect mendera saat kris air bersih menjadi masalah. Krisis air bersih menjadi masalah di Pulau Jawa. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Pulau Jawa pada 2016 engalami krisis air yang parah. Salah satu indikator krisis air bersih adalah ketersediaan air yang berkurang, seperti daerah Jawa Tengah.
Asas security. Untuk menjadi kawasan aman dalam jangka panjang, kini waktu semakin pendek untuk bisa menikmati keamanan-ketentraman Jakarta. Ibu kota tumpuan negara seharusnya menjadi kawasan teraman dibanding daerah lain. Untuk menjadi kawasan aman dalam jangka panjang, kini waktu semakin pendek untuk bisa menikmati keamanan-ketentraman Jakarta. Selain itu, sekitar 50% daerah Jakarta mengalami penurunan keamanan banjir dalam waktu kurang dari 10 tahun. Padahal, kota besar idealnya memiliki tingkat keamanan banjir minimal 50 tahun. Tanah di Jakarta mengalami penurunan sekitar 35-50 cm dalam kurun waktu 10 tahun (2007-2017). Faktor bencana alam lain adalah aktivitas gunung berapi, seperti Gunung Krakatau dan Gunung Gede. Daerah Jakarta memiliki ancaman besar, seperti potensi gempa bumi, tsunami, banjir, dan penurunan tanah.
Asas pengendalian urbanisasi. Pertumbuhan urbanisasi sangat tinggi. Setiap tahun, provinsi Jakarta mengalami peningkatan urbanisasi terbanyak dibanding daerah lain. Contohnya, tahun 2017, Indonesia berada di peringkat ke-9 sebagai kota terpadat di dunia. Itu urgensi pemindahan ibu kota negara. Tanpa pengendalian, Jakarta secara statistical mengalami pemadatan karena derasnya arus urbanisasi. Sebelum “membeludak”, memindahkan ibu kota harus menjadi pilihan realistis. Harus ada kerelaan memilih aspek-aspek apa yang perlu tetap dipertahankan di Jakarta dan aspek-aspek apa yang harus pindah. Pemindahan ini pun bukan tanpa konsekuensi. Sejumlah hal harus disiapkan mengingat ibu kota negara perlu daya dukung keberadaannya. Perlu dipikirkan prioritas apa yang harus riil berpindah dan prioritas apa yang dipertahankan.
Pertama, aspek historis; kedua, sisi analogi atau pembanding; ketiga, secara ekonomi harus menguntungkan; keempat, secara sosial mesti diterima; kelima, secara strategis lebih efektif dan efisien; keenam, secara ekologis lebih berkelanjutan; ketujuh, secara teknik memungkinkan dan dari dukungan ketersediaan sumber daya, terutama lokal, tersedia cukup dan memadai.
Saya sengaja tidak memasukkan aspek politik sebagai pertimbangan karena hiruk pikuk selama ini adalah soal politik itu. Dan jika pertimbangan ketujuh aspek ini telah diletakkan dengan jujur, tulus, dan elegan, maka politik tinggal mengikuti saja. Dan ini baru mungkin kalau para politician kita adalah juga negarawan. Loh, apa bedanya? Ada ahli yang bilang, “The politician always thinking their next position. While, the state man always thinking their next generation“. Wallahu a’lam.
Ibu Kota Berpindah dari Masa ke Masa
Secara historis, ide tentang pindah ibu kota telah ada sejak zaman Orde Baru. Presiden Soekarno pada tahun 1960-an telah menggagas perpindahan ibu kota ke Kalimantan. Sama pulaunya seperti yang direncanakan sekarang. Bahkan, kalau tarik lebih ke belakang, pusat pemerintahan pada era kolonial Belanda dipindahkan dari Kota Ternate ke Kota Batavia atau Jakarta yang sekarang.
Saiful Rurai, pengkaji sejarah, kebudayaan, politik, dan pembangunan Maluku Utara, mengonfirmasi kebenaran historis ini. Beliau menunjuk catatan FSA de’Clercq (De Boijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate, 1890) dan disertasi Pastor Dr. Kareel Steenbrink, ibu kota VOC adalah dari Ternate. Nanti, Gubernur Jenderal ke-4, Jan Peterzoon Coen, memindahkan ke Batavia (1916) setelah mengirim dua surat dari Ternate kepada Heren Zeventijn, Dewan Direksi VOC/Dewan 17.
Apabila kita mundur lebih jauh lagi ke belakang, jauh sebelum kedatangan Portugis dan Spanyol ke Indonesia (baca: Maluku), Kesultanan Tidore memiliki tradisi pindah ibu kota secara periodik. Saat kapal Trinidad dan Victoria milik Spanyol tiba di Pulau Tidore tahun 1521, Ibu kota Kesultanan Tidore ada di Desa Mareku. Sisa-sisa peninggalan istananya masih terlihat. Saat ini, ibu kota kesultanannya ada di Desa Soasio.
Bila kita bandingkan dengan negara modern sebagai analogi, kita bisa tunjukkan beberapa saja sebagai contoh. Amerika Serikat dari Washington ke New York, Australia dari Melbourne ke Canberra, Belanda dari Amsterdam ke Den Haag. Pastilah semua negara ini punya pertimbangan sendiri-sendiri.
Asas Efisiensi
Sekarang, coba kita tinjau dari aspek efisiensi. Posisi Jakarta yang letaknya relatif terlalu ke barat sangat merugikan kawasan timur dari jangkauan akses transportasi. Penerbangan Papua atau Maluku Utara butuh jarak dan ongkos perjalanan yang tidak kecil. Meletakkannya di tengah membuat posisi dan biaya menjadi lebih seimbang, adil, dan proporsional. Ekonomi biaya tinggi bisa ditekan.
Ada lagi satu soal yang jarang terdengar dalam diskursus pindah ibu kota ini. Yaitu, aspek pemerintahan. Negeri, yang pernah bernama Nusantara dan kini bernama Indonesia, ini pernah punya pemerintahan pertama di era kerajaan. Namanya Kerajaan Kutai Kertanegara. Ini kerajaan pertama dan letaknya pun ada di Kalimantan.