Oleh: Usni Hasanudin, Wakil Departemen Pertahanan MN KAHMI dan Kaprodi Ilmu Politik FISIP UMJ
Jakarta Bertuan. Undang-Undang Ibukota Negara (UU IKN) selesai diundangkan, bernomor 3 Tahun 2022. Keberlangsungan UU itu kini masuk babak baru di Mahkamah Konstitusi (MK). Terlepas soal UU 3/2022, negara masih memiliki UU 29 Tahun 2007, sama dalam hal kedudukan, sebagai ibu kota negara. Dua regulasi sekaligus dengan “kedudukan sama, hanya fungsi berbeda”. Biarlah itu menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
Jakarta tetaplah Jakarta dengan daya tariknya sendiri. Episentrumnya Indonesia, tentu dengan pengertian berbeda pada ilmu bumi. Pada konteks ini, episentrum Jakarta memiliki kesamaan dalam hal keseimbangan (equilibrium) dengan ilmu alam. Keduanya sama-sama memiliki satu titik tegak lurus. Ketika terjadi ketidakseimbangan, akan menimbulkan pergeseran, berdampak secara langsung, serta menciptakan rasa takut dan mencekam.
Ketakutan dan kecemasan akibat pergeseran lempeng dalam bumi akan terasa dipermukaan bumi (gempa). Begitu pun Jakarta sebagai episentrum ekonomi (investasi), kekuasaan (politik), dan peradaban (globalisasi). Keseimbangan ketiganya harus selalu terjaga manakala ketidakseimbangan ketiganya terjadi, suasana mencekam, ketidaknyamanan dan kegelisahan menyelimuti setiap langkah masyarakat. Bukan saja bagi warga Jakarta, tetapi warga negara Indonesia secara umum.
Pasca-diundangkan, banyak suara bahkan pandangan sejumlah pihak meminta dijaganya keseimbangan pasca-Jakarta dalam kekhususannya diambil alih dengan terbitnya UU 3/2022. Revisi UU 29/2007 pun menjadi menarik. Diperlukan kehati-hatian bahkan kajian tepat dan mendalam agar tidak menimbulkan pergeseran. Memang seakan tak substantif. Sebaliknya, keseimbangan ekonomi, kekuasaan, hingga peradaban menjadi persoalan krusial bahkan menentukan nasib Jakarta dengan tuannya.
Investasi, sejarah peradaban, globalisasi, metropolitan, bahkan megapolitan menjadi pilihan. Akan tetapi, semua bergantung pada pusaran politik kekuasaan. Kita yakini memang pusaran kekuasaan tidak selalu dimenangi ketika ekonomi masyarakat mengalami penurunan. Kekalahan politik dan menurunnya perekonomian masyarakat menyebabkan pusaran yang tidak stabil, saling terkait dan mengikat, mengalami pergeseran berarti guncangan. Di sisi lain, kondisi tersebut akan berpulang pada Betawi sebagai tuan di Jakarta, masyarakat inti Jakarta.
Di era keterbukaan informasi, Betawi semestinya menjadi bagian dari keseimbangan. Satu di antara keinginan untuk menghadirkan tuan rumah di daerahnya sebagai objek untuk menggawangi ekonomi, kekuasaan, dan peradaban Jakarta yang multikultural kosmopolitan dengan nilai, budaya, dan sosial kebetawian. Apa jadinya jika episentrum Jakarta tidak mengindahkan nilai budaya, sosial, dan kearifan lokal Jakarta? Atau sebaliknya, apa jadinya ketika sebagai tuan di Jakarta tidak menyadari pentingnya untuk ambil bagian dari episentrumnya Jakarta?
Sebagai tuan, Betawi selama ini memiliki talenta yang unik. Sikap yang berusaha menghapus batas-batas kultural untuk menciptakan sebuah masyarakat, di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu bahkan sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus tetap mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
Sejatinya sebagai tuannya Jakarta, aransemen yang harus diiramakan masyarakat Betawi salah satunya dapat menjaga keseimbangan, baik ekonomi, kekuasaan, maupun peradaban. Masyarakat Betawi dapat menunjukkan kehendaknya dalam memecahkan masalah persoalan Jakarta tanpa harus mempertontonkan dominasi. Justru harus membuka ruang bersama yang di dalamnya berbagai perbedaan dibicarakan, dihargai, dan menekan kepentingan Betawi yang notabenenya adalah tuannya Jakarta.
Tidak berlebihan kalau saya mengatakan Betawi memiliki kode ganda. Charles Jenks, mendefinisikan kode ganda sebagai pengombinasian teknik modern dengan merujuk secara simultan pada dua konteks, masa kini dan masa lalu. Sebagai tuan di Jakarta, Betawi adalah ikon keterbukaan, yang memberikan kesempatan sama bagi berbagai lapisan masyarakat, tidak ada ornamen maupun simbol yang menciptakan rasa takut masyarakat. Sebaliknya, Betawi menciptakan kegembiraan dalam interaksi sosial dan budaya yang berbeda di Jakarta.
Kesadaran selaku tuan di Jakarta tidak keliru ketika mengutip Ryaas Rasyid, yang menjelaskan visi otonomi daerah yang dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi utama, yakni politik, ekonomi, dan sosial budaya. Khusus untuk lingkup sosial budaya, dikatakannya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat dalam merespons dinamika kehidupan di sekitarnya.
Yang disampaikan Ryaas Rasyid dapat diterjemahkan sebagai memiliki kewenangan dalam hal memengaruhi kebijakan di Jakarta, yang bagi masyarakat Betawi dapat dibilang keharusan. Belum lagi ketika terjadi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Selaku tuan di Jakarta, Betawi semestinya mampu memengaruhi dan memiliki posisi tawar dengan memperhatikan banyaknya kepentingan di Jakarta.
Dengan demikian, Jakarta bertuan–satu hal yang selalu dilupakan bahkan seakan seperti tak bernilai. Jakarta masih memiliki tuan yang secara gamblang dapat menjadi bagian episentrum Jakarta atau sebagai tuan di Jakarta, Betawi tidak pernah menyadari pentingnya menjadi bagian untuk menjaga keseimbangan. Semua dikembalikan pada Jakarta dengan tuannya.
***
Betawi Berperadaban. Anies Baswedan pada kultumnya beberapa waktu lalu menyampaikan, “Orang tua akan bercerita masa lalu, anak muda akan bercerita masa depan”. Di antara keduanya memerlukan penyetara yang menghubungkan agar satu perubahan ke perubahan nilai tetap terjaga: yang muda belum merasakan tua, yang tua menghadapi zaman berbeda. Keduanya saling melengkapi, bukan sebaliknya, penyetara dalam Betawi dikenal dengan “adab” atau tata krama yang muda kepada yang tua, yang tua penuntun nilai bagi yang muda.
Perubahan satu hal yang pasti, nilai adalah satu hal yang hakiki (abadi). Menolak perubahan akan tertinggal peradaban, meninggalkan nilai akan tersesat pada peradaban. Membangun peradaban Betawi pada dasarnya pembangunan aspek sosial budaya karena yang dibangun adalah pranata sosial berunsurkan sistem nilai dan norma sehingga dapat membentuk pola perilaku berkelanjutan untuk generasi selanjutnya dalam hubungan-hubungan sosial, ekonomi, dan politik.
Betawi merupakan satu di antara banyak suku bangsa di Indonesia. Sebagai negara dengan keragaman budaya, Betawi tidak serta merta hadir, tetapi memiliki andil bahkan berkontribusi besar dalam kemerdekaan dan pembangunan di Indonesia, terlebih Betawi sebagai suku yang matang di setiap perubahan Indonesia karena posisinya di episentrum Indonesia. Perubahan inilah yang memengaruhi relasi nilai Betawi dan negara sebagai pintu peradaban Jakarta. Logis jika kemudian menciptakan suatu identitas Betawi bercampur dengan ragam baru menuntut pengembangan inovasi kreasi, baik secara pelembagaan maupun peningkatan pada aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk dapat bertahan.
Perubahan di atas perubahan: skala kecil perubahan perilaku dan pola pikir, skala besar perubahan struktur masyarakat yang secara langsung memengaruhi perkembangan positioning masyarakat Betawi. Kemampuan beradaptasi dalam setiap perubahan inilah “Betawi berperadaban”. Di tengah tekanan kolonial, demokrasi terpimpin, Orde Baru, sampai pada masa penuh persaingan demokrasi, Betawi tidak serta menonjolkan pola hidup individualis bahkan meneguhkan dirinya dalam identitas kebangsaan di tengah menguatnya arus kepentingan local wisdom di setiap daerah.
Berbeda ketika pemindahan ibu kota. Akselarasi peradaban membuka ruang untuk meningkatkan Betawi pada level lebih tinggi. Sebelumnya, hanya pengakuan dalam pelestarian budaya; sedangkan secara kelembagaan, Betawi belum menyentuh kewenangan istimewa di tataran pemerintah daerah. Bamus, misalnya, hanya sebatas koordinasi dengan pemerintah daerah.
Pembangunan identitas lokal masyarakat Betawi pada revisi UU 29/2007 adalah objek pembangunan politik masyarakat lokal. Pembangunan politik dan masyarakat lokal selain terkait identitas, dapat juga dilihat dengan pengamatan struktur masyarakat tradisional dan kosmologi yang menunjukkan perbedaan elemen fungsional dalam masyarakat. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang harus dihapuskan atau dihindari, justru perlu dipertegas dengan jalur pertimbangan dan konsultasi. Tidak cukup sebatas koordinasi.
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, tingkat pendidikan yang lebih tinggi membawa dampak bagi pelestarian dan pengembangan nilai-nilai hukum adat Betawi dalam masyarakat. Dampak yang dirasakan bahwa ada nilai-nilai dalam masyarakat Jakarta yang mulai mengalami perubahan nilai.
Sisi lain, kehidupan sosial-budaya, etik-moral, estetika, eko-lingkungan, religiusitas, dan pandangan tentang keberagamaan juga mengalami perubahan. Oleh karena itu, modernitas akan menimbulkan efek ambivalen, yaitu bukan hanya menguntungkan, melainkan juga merugikan dan ada kalanya menimbulkan kerusakan yang sangat tragis.
Berperadabannya Betawi dalam zaman modern saat ini perlu berpikir ke depan melalui revisi UU 29/2007 agar Betawi memperhatikan kehidupan sosio-budaya yang santun, etika hidup yang berbudaya, budaya hidup rukun dan damai, bekerja sama dan bekerja bersama-sama, budaya hidup dalam kecukupan dan kesederhanaan, budaya melestarikan alam, hingga budaya ketimuran yang selalu beradab dan berperikemanusiaan melalui pelembagaan formal dalam aturan perundangan.
Sebagai penutup, Jakarta Bertuan dengan Betawi berperadaban secara kelembagaan dapat kembali menghidupkan nilai Betawi yang telah menurun seakan kehilangan identitas budayanya. Upaya pembangunan budaya, yang bukan sebatas pelestarian dengan pendekatan desentralisasi dan otonomi daerah, membuka ruang bagi tumbuh dan berkembangnya masyarakat adat Betawi dalam proses pembangunan demokrasi dan otonomi daerah. Dengan kewenangan yang diberikan secara proporisonal antara kepentingan nasional, daerah, dan kepentingan masyarakat Betawi. Melalui revisi UU 29/2007, Betawi bukan saja menjadi episentrum, melainkan menjadi ekuilibrium melalui pembangunan budaya yang berkelanjutan.