Oleh Fathorrahman Fadli, Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera
Andai saja kita rajin bangun pagi sebelum Subuh tiba, maka kita akan mendengar tarhim dari menara menara masjid tua menggema. Di berbagai kota di seluruh negeri ini.
Suara Tarhim itu begitu indahnya. Meresap ke seluruh tubuh. Merasuk hingga ke sumsum tulang belakang. Suara tarhim itu seolah menyayat hati, menggetarkan jiwa, membasahi ruang-ruang hati yang seharian dikotori oleh maksiat kepada Allah, oleh kesombongan kita di kantor, oleh keangkuhan akan wewenang dan kuasa atas manusia lainnya.
Begitu tarhim itu menggema, rasa-rasanya bulu kuduk kita berdiri. Merasakan ketakutan kita akan masa lalu yang kita bentengi dengan topeng-topeng palsu peran gagah kita sendiri.
Ketika tarhim itu menggema, telinga kita seolah mendapatkan siraman rohani yang asli. Betul-betul asli buatan Tuhan.
Ketika tarhim itu menggema, kita seakan betul-betul merindukan sosok Rasulullah Muhammad saw hadir di hadapan kita, memimpin kita, membimbing kita, mengarahkan kita. Apalagi, di tengah kepemimpinan nasional kita yang jauh dari harapan umat.
Ketika tarhim itu menggema, kita merindukan Rasulullah memberi tahu jalan keluar dari kepenatan hidup di atas kepalsuan dan kejumudan kekuasaan. Ketika tarhim itu menggema, deretan para pejuang seolah kehilangan pemimpin untuk melawan kezaliman sebuah rezim. Mereka betul-betul sedang merindukan Imamul Mujahidin. Hati dan jiwa mereka meronta sambil berteriak memanggil pemimpin mereka; pemimpin para pejuang.
“Ya Imamul Mujahidin … Ya Rasulullah … Wahai pemimpin para pejuang, wahai Rasulullah … .”
Ketika tarhim itu menggema, jiwa-jiwa yang suci itu menangis meneteskan air mata; rindu bercampur duka. Rindu dipimpin, duka melihat dosa-dosa mereka menggunung oleh maksiat dan keangkuhan di masa lalu.
Ketika tarhim itu menggema, seolah ancaman neraka sedang tergambar di depan mata. Mereka berderet, berjubel dengan rasa ketakutan nan getir. Keresahan, kegetiran, ketakutan, duka yang mendalam meleleh melebur menjadi satu. Mereka menunggu syafaat dari Rasulullah.
Ketika tarhim itu menggema, kita sedang merindukan Rasulullah hadir memimpin kita. Kita muak dipimpin manusia palsu tanpa jiwa. Kita bosan berhadapan dengan kelicikan dan kebohongan yang bertumpuk semrawut. Kita jijik melihat para penjilat beraksi saling sikut demi sampah-sampah kuasa yang kotor.
Saat tarhim itu menggema, kita sedang merindukan jalan terang, petunjuk yang penuh harapan bagi jiwa-jiwa suci yang sedang ketakutan.
“Ya Nashirol huda … Duhai petunjuk yang sebenarnya petunjuk … .”
Para pejuang itu berkata dalam hatinya, “Andai saja datang pemimpin para mujahid … aku akan menyerahkan jiwaku untuk perjuanganmu … .”
Andai saja pemimpin para pejuang itu datang, aku akan serahkan seluruh waktuku untuk menemani dalam berjuang.
Andai saja pemimpin para pejuang itu hadir dihadapan mereka, mereka akan selalu berada di sampingnya. Membentengi mereka menyirami jiwa-jiwa yang kering dari nilai-nilai ketuhanan.
Lalu, ketika tarhim itu menggema lagi … hati mereka bening kembali seperti bayi. Suci, lembut, kenyal, dan penuh harap rida Allah Swt.