Oleh Moksen Idris Sirfefa (Ochen), Pengurus MN KAHMI
Kebersihan dan kesucian–dua kata yang kadang dipakai secara acak dan bergantian–adalah ajaran pokok Islam. Para ulama fikih (ahli syariat) dan ulama tasawuf (ahli hakikat/sufi) mengutamakan kebersihan jasmani (thaharah) dan kesucian rohani (tazakkah) sebagai jalan lapang (tharîqah) menuju pencapaian realitas mutlak (haqîqah) ketuhanan. Titik fokus penyucian di sini adalah jiwa atau hati, termasuk qalb (heart), fuad (conscience), dan roh (soul) yang menjadi wilayah rohani.
Al-Qur’an menyebutkan, “Qad aflaha manzakkâhâ waqad khâba man dassâhâ (Sungguh beruntung orang yang menyucikan [jiwanya] dan sungguh merugi orang yang mengotorinya [QS. 91: 9-10]).”
“Qad aflaha mantazakká wadzakara-sma-rabbihí fashallá (Sungguh beruntung orang yang menyucikan [jiwanya] dan berzikir, lalu ia sembahyang [QS. 87: 14-15]).”
Mengapa harus jiwa dan bukan tubuh jasmani? Jawabnya, seberapa ganteng atau cantiknya tubuh jasmani, semewah apa penampilannya, ia akan menjadi santapan cacing tanah. Hanya jiwa yang tenteram (al-nafs al-muthmainnah) yang kembali menghadap Yang Mahasuci (QS. 89: 27-30). Itu sebabnya, titik tekan agama adalah peningkatan kualitas rohani.
Di beberapa tempat di dalam Al-Qur’an, Tuhan selalu “menafikan” hal-hal yang lahiriah dan menonjolkan hal-hal yang batiniah. Misalnya, dalam melakukan “pendekatan/keakraban” dengan Tuhan (qurbân), yang dinilai bukanlah daging dan darah hewan yang dipersembahkan, melainkan ketakwaan (QS. 22: 37).
Manusia tidak akan mampu mencapai derajat tertinggi keperiadaannya (taqwá) kecuali dengan meningkatkan kualitas rohaninya. Dan kualitas rohani (taqwá) itu hanya bisa dicapai dengan penyucian jiwa (tazkiyatu al-nafs), antara lain seperti termaktub dalam perintah puasa (QS. 2: 183). Berpuasa tidak sekadar menahan hawa nafsu dari makan, minum, dan seks, tetapi juga menahan diri dari sifat-sifat tercela, seperti amarah (gadhab), dengki (hasad), dendam (hiqd), kikir (bukhl), angkuh (kibr), congkak (ujub), terlena (ghurur), pamer (riyâ), dan lain-lain.
Puasa berfungsi membersihkan hati atau jiwa dari sifat tercela itu karena “hati laksana besi yang bisa berkarat,” demikian Nabi saw dalam salah satu sabdanya. Al-Qur’an pun mengungkapkan, ” … dosa yang mereka lakukan menutupi hati mereka (QS. 83: 14)”. Hati atau jiwa yang ternoda dengan karat dosa harus dicuci agar mengkilap kembali. Ini yang disebut nûrâni, hati yang bercahaya.
Jasmani manusia pada dasarnya adalah kumpulan kotoran dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sebab, ia bersumber dari cairan yang hina (QS. 32:8). Ungkapan “cairan yang hina (mâ-in-maħîn)” kurang banyak mendapat penjelasan yang memuaskan dari para mufasir, tetapi merujuk pada suatu zat yang rendah/najis. Makanya, jika seseorang keluar spermanya, baik sengaja ataupun tidak, ia wajib bersuci. Sisi lainnya adalah rohani manusia. Ia adalah zat suci yang melekat dengan eksistensi Tuhan, Sang Pencipta. Melalui kalimat ” … wa-nafakhtu fîhi min rûhí (Dan Aku tiupkan ke dalam tubuhnya roh-Ku. [QS. 15: 29])”, secara tersirat, Tuhan menegaskan, kerohaniaan manusia melekat dengan-Nya (owned).
Dualitas manusia, jasad (al-jism/jasmani) dan jiwa (al-rûh/rohani), menjadi instrumen pokok manusia, apakah ia akan tetap berada pada posisi terbaiknya (ahsani taqwîm) ataukah malah jatuh pada posisi terpuruk (asfala sâfilîn) adalah tergantung pada dua bagian keadaan berikut.
Pertama, puasa sebagai kewajiban muslim dan ibadah universal bagi semua agama mengajak manusia untuk mengisi ruang rohaninya yang kosong. Jika manusia ibarat sebuah kotak kubus yang terbagi dalam dua bilik. Bilik jasmani hanya menempati ruang 0,91%, sementara bilik rohaninya menempati ruang 99,09%. Bilik jasmani yang 0,91% dapat diketahui detail-detailnya melalui ilmu anatomi dan fisiologi modern (meskipun hingga kini manusia belum mampu mengetahui seberapa banyak sel pembentuk struktur tubuh manusia).
Kapasitas bilik jasmani sangat terbatas, namun manusia terus mengikuti tuntutan hawa nafsunya dengan mengisi ruang sempit yang 0,91% itu. Semua kebutuhan jasmani dijejali hingga tumplak blak (overcapacity), tetapi terus saja dipaksa guna memenuhi hasrat jasmani yang tak pernah terpuaskan. Sementara, bilik rohani yang menguasai ruang sebesar 99,09% tak termanfaatkan dengan kebutuhan rohani berupa ibadah dan amal saleh. Kekosongan yang lama tak terawat ini kemudian dimanfaatkan oleh para reptil dan serangga untuk bersarang di sana. Ketika 99,09% bilik rohani manusia dikuasai oleh unsur keburukan ini, maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan psikologis dan kegagalan kepribadian.
Kedua, ruang rohani yang berkapasitas 99,09% itu apakah berstruktur atau bersel dan seterusnya, sejauh ini tak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan manusia. Filsafat dan psikologi hanya mampu menangkap gejala yang nampak, lalu melahirkan teori-teori yang asumtif. Rohani manusia bukan saja unidentified, tetapi unlimited dan karena itu ia menjadi sisi misteri manusia.
Mengapa misteri? Karena rohani manusia adalah milik Yang Mahamisteri. Wayas-alûnaka ‘ani al-rûhi, quli al-rûhu min amri rabbi wamâ ûtîtum min al-‘ilmi illâ qalîlá (QS. 17: 85). Mungkin Tuhan ingin berkata begini, “Pengetahuan Anda yang terbatas menyulitkan Anda ‘tuk mengetahui roh Anda sendiri.” Di sini, Tuhan mendeklarasikan kembali bahwa kerohanian manusia itu given milik-Nya. Sisi misteri kerohanian manusia ini hanya akan “dikenal” melalui disiplin tasawuf. Hanya dengan tasawuf, manusia dipertemukan dengan Sang Pemilik Roh.
Hubungan antar keduanya bersifat resiprokal, di mana gerakan dari bawah ke atas (ittihâd) maupun dari atas ke bawah (hulûl) melahirkan persenyawaan kimiawi antara makhlûq-Khâliq atau antara Khâliq-makhlûq. Terjadi perselingkungan rahasia antara keduanya memunculkan klaim saling merahasiakan seperti bunyi hadis Qudsi, “Al-insânu sirrí wa anâ sirruhu (manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya)”.
Penyatuan eksistensial (wihdat al-wujûd) antara hamba dan Tuhan (kawula lan Gusti) menjadi doktrin sentral dalam dunia tasawuf, yakni pengenalan atau makrifat. Ungkapan hadis Qudsi dan maqâl yang mengungkapkan afinitas dan keintiman keduanya sebagai berikut:
“Kuntu kanzan makhfiyyan fa-ahbabtu an u’rafa fakhalaqtu al-khalqa likay u’rafa (Aku adalah harta tersembunyi. Aku ingin dikenali. Karena itulah Aku ciptakan makhluk agar Aku dikenali).”
“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (Siapa mengenal dirinya, sungguh ia mengenal Tuhannya).”
Mengungkapkan afinitas dan keintiman antara Sang Khalik dan makhluk-Nya. Keduanya menunjukkan saling ketergantungan bahkan dalam ritual puasa, Tuhan mengajak hamba-Nya untuk menjadi Diri-Nya. Hal itu terbaca dari hadis Qudsi tentang puasa, “Kullu ‘amali ibni âdama lahu illâ al-shiyâma, fa-innahu lí wa Anâ al-ladzî ajzîbihí (Semua amal anak Adam untuk dirinya kecuali puasa. Karena sesungguhnya puasa itu kepunyaan-Ku. Akulah yang membalas pahalanya).”
Puasa adalah sesuatu yang melekat sejak azali (innate) dengan Tuhan, di mana Dia tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak berhubungan suami-istri. Tabiat keilahian itu ingin diterapkannya kepada hamba-Nya melalui ibadah puasa. Ia ingin agar hamba-Nya “menjadi” Diri-Nya.