Kahminasional.com, Jakarta – Pemerintah akan mencabut 2.078 izin usaha pertambangan (IUP) dan IUP khusus (IUPK) secara bertahap per 2022. Keputusan itu dinilai menabrak peraturan perundang-undangan sekalipun dengan dalih Pasal 119 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Akademisi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta, Ahmad Redi, lalu menyandingkannya dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Saya ingin menyoal dalam konteks administrasi pertambangan, apakah legal pencabutan izin pertambangan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM ini?” ujarnya dalam webinar “Legalitas dan Transparansi Pencabutan IUP Operasi Produksi dan Percepatan RKAB 2022 untuk PEN Sektor Minerba Pascapandemi Covid-19″, Rabu (16/3).
Di dalam UU 30/2014, terangnya, sebuah keputusan atau tindakan pemerintah dinyatakan sah apabila memenuhi tiga syarat. Sah secara prosedural, benar secara substansi, dan keputusan benar secara kewenangan.
Syarat pertama, sah prosedural. Menurut Ahmad, ini dapat dilihat secara mendalam dengan memperhatikan UU Minerba sebelumnya, yakni UU 4/2009. Di dalamnya, khususnya Pasal 119, menyebutkan, IUP/IUPK dapat dicabut dengan tiga kondisi, yakni perusahaan tidak menjalankan peraturan perundang-undangan, melakukan tindak pidana, dan korporasi dinyatakan pailit.
Sementara itu, di dalam Pasal 116 UU 4/2009 tentang pengenaan sanksi, mengamanatkan adanya aturan pelaksananya (juklak). Lalu, dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Minerba.
Salah satu isi PP itu adalah tahapan-tahapan pencabutan IUP/IUP. Pertama, ada peringatan. “Jadi, Menteri ESDM memberikan peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Masing-masing 30 hari paling lama. Jadi, untuk mencabut IUP itu hilirnya, hulunya adalah harus ada peringatan,” beber Ahmad.
“Jadi, sebelum mencabut IUP secara ugal-ugalan, sporadik, dan suka-suka itu harus ada prosedur yang diatur dulu, ada sanksi dulu. Sanksinya adalah peringatan, sanksi pertama, kedua, ketiga adalah peringatan,” imbuh dia.
Jika pemegang IUP tidak menjalankan kewajibannya, maka sesuai PP 96/2021, kegiatannya disetop sementara selama 60 hari. Jika mbalelo, baru pemerintah dapat mencabut IUP.
“Ini prinsipnya,” tegas Ahmad. “Dalam negara demokrasi, prinsip itu penting. Ada prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia, orang boleh diperlakukan kemudian salah, tapi untuk dinyatakan salah, ada mekanisme, tidak secara serampangan tanpa diingatkan.”
Apalagi, terangnya, di bawah Ditjen Minerba Kementerian ESDM ada Direktorat Pengawasan Mineral dan Batubara. Dengan demikian, dia berpendapat, keputusan Menteri Investasi yang langsung mencabut IUP tanpa peringatan terlebih dahulu berpotensi tidak sah secara administrasi negara.
“Nah, ini dalam konteks negara hukum demokrasi, dalam konteks perlindungan HAM atau perusahaan tambang, ini saya kira, secara prosedural menjadi potensial malaadministrasi,” katanya.
Syarat kedua, secara substantif. Untuk mengetahuinya, bisa dilakukan dengan mengetes apakah 385 IUP/IUPK yang telah dicabut Menteri Investasi/Kepala BKPM per 2 Februari-5 Maret 2022 atas dasar kesalahan yang melanggar UU Minerba.
Yang terakhir, kewenangan. Ahmad berpendapat, Menteri Investasi/Kepala BKPM tidak berwenang mencabut IUP/IUPK. Alasannya, kewenangan atribusi tersebut, termasuk pemberian izin, melekat pada Kementerian ESDM, yang termaktub di dalam UU Minerba.
“Di UU 3/2020 itu jelas di Pasal 25, penerbitan perizinan berusaha itu dilakukan oleh menteri. Nah, apakah sah pendelegasian wewenang dari Menteri ESDM ke Kepala BPKM? Menurut saya, juga potensial bermasalah karena menurut UU 30/2014, pendelagasian wewenang itu enggak sembarangan,” urainya.
Ahmad memaparkan, Pasal 13 dan Pasal 14 UU 30/2014 mengatur tentang pendelegasian wewenang. Isinya, kewenangan atribusi, yang diperoleh melalui UUD atau UU, hanya dapat didelegasikan melalui PP ataupun peraturan presiden (perpres).
“PP atau perpres mana yang mengatur bahwa perizinan atau pencabutan IUP dari Menteri ESDM dilimpahkan kepada Kepala BKPM? Jikapun ada, itu pun Permen [ESDM], bukan PP atau perpres,” tegasnya.
Lebih jauh, Ahmad menyatakan, ada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dalam administrasi negara. Ia di antaranya memuat keterbukaan (transparansi), bermanfaat, dan kepastian hukum.
Bahkan, Pasal 45 UU 30/2014 mengatur agar pejabat/badan harus menyosialisasikan kepada masyarakat yang akan dibebani sebuah tindakan/keputusan terlebih dahulu sebelum akhirnya diberlakukan secara resmi.
Nahasnya, ungkapnya, kebijakan pencabutan IUP/IUPK ini dinilai belum mencerminkan itu. Dicontohkannya dengan isi surat keputusan (SK) Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, tentang pencabutan IUP/IUPK.
“Saya baca SK pencabutannya tidak sesuai dengan prinsip negara hukum, ya, tanpa alasan. Padahal, di UU 30/2014, untuk cabut izin itu harus ada landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis,” ujarnya.
“Pemerintah sebagai orang tua, terus perusahaan tambang sebagai anak. Terus, kan, anak itu enggak langsung diusir, tidak dicoret dari Kartu Keluarga. Tapi, dibina, diawasi, dinasehati dulu. Tapi, kalau bandel, ya, sudah, baru dicoret dari Kartu keluarga,” tutup Ahmad.
Dalam webinar ini, yang merupakan agenda rutin Kajian Reboan dan digelar Lembaga Kajian Strategis Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (LKS MN KAHMI), turut menghadirkan beberapa pembicara. Salah satunya, Staf Khusus Menteri ESDM, Irwandy Arif.
Kemudian, Dirtipidter Bareskrim Polri, Brigjen Pipit Rismanto; Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno; pakar hukum pertambangan, Abrar Saleng; dan pengamat kebijakan pertambangan, La Ode Ida.