in

Prof. Yahya Muhaimin dalam Kenangan…

Oleh: Dr. M. Alfan Alfian

“Mas Alfian, saya mau minta waktu khusus setelah ini ya, ada hal penting yang mau saya bicarakan!” Kata-kata Prof. Yahya yg “andap asor” (sangat santun) itu ditujukan ke saya, usai beliau menguji disertasi saya “Militer dan Politik di Turki” di ujian terbuka FISIP UGM awal 2015. Prof Yahya selalu memanggil saya “Mas Alfian”, bukan “Dik Alfian”.

Saya merasa tersanjung: bagaimana mungkin seorang profesor, “orang besar” mantan Menteri, salah satu tokoh Muhammadiyah yg saya kagumi, kok minta waktu, ingin bicara khusus ke saya.

Dasar anak muda, spontan saya menyahut: “Kenapa nggak disampaikan saja sekarang Prof? Biar langsung saya jawab ..”

Dengan senyumnya yg khas, Profesor legendaris dari Bumiayu ini menjawab: “Ini masalah penting yang tidak bisa saya sampaikan dalam suasana seperti ini,” memang suasana ujian terbuka saya itu cukup ramai tetamu dari Jakarta, Solo, Yogya, Surabaya, Malang … “Begini saja, kalau Mas Alfian masih di Yogya, nanti saya akan datangi.”

Baca Juga :  Darurat Adab

Saya jelaskan saya sekeluarga masih di Yogya, baru besok siangnya balik ke Jakarta. “Oh kalau begitu, saya akan ke sana tolong sebutkan di hotel apa Mas Alfian menginap. Kalau habis maghrib bisa tidak?”

“Baik Prof, kami tunggu!”

Usai sholat maghrib, saya turun ke lobi. Dan Prof Yahya sdh di situ. “Saya sudah sholat magrib tadi di mushola!” katanya, tanpa saya tanya, yang menunjukkan beliau (santri yg taat) sudah tiba sebelum maghrib.

Saya memanggil petugas, untuk pesan minum, saya pesan kopi, Prof Yahya: saya air putih saja.

Lalu Prof Yahya menjelaskan maksudnya dalam pertemuan “khusus” itu. Intinya, beliau meminta “dengan sangat” ke saya supaya mau jadi dosen di kampus yang dikelolanya, di Bumiayu. Beliau menjelaskan sejarahnya, dan prospeknya. Kalimat-kalimat beliau persuasif. “Nanti Mas Alfian di Bumiayu, akan seperti Arief Budiman di Salatiga!”

Baca Juga :  75 Tahun HMI untuk Indonesia: Pilihan Politik Kanan, Tengah, dan Kiri

“Wah, Prof jangan dibandingkan saya dengan Pak Arief Budiman Prof … maqom keilmuan saya cetek sekali!”

“Ya, itu perumpamaan saja yang saya anggap pas,” katanya. Ya sudahlah nggak usah saya bantah ketimbang berpanjang panjang …

Beliau menjelaskan akses ke Bumiayu dari Jakarta bisa ditempuh dengan kereta api … dan seterusnya, bahkan sampai soal penginapan, gaji, segala macam. “Jangan takut kekurangan fasilitas Mas Alfian kalau bersedia ke Bumiayu …!”

Saya memang sering lewat Bumiayu kalau naik kereta api dari Solo atau Yogja ke Jkt.

Di benak saya, lantas saya sibuk menyusun kalimat penolakan. Saya sampaikan secara pelan-pelan, selembut mungkin, agar beliau bisa memahami: saya sudah dosen tetap Prof, kalau saya pindah prosesnya rumit. Tapi bukan masalah itu saja, banyak hal yang menyebabkan saya tidak dapat meninggalkan Jakarta: saya terikat dengan berbagai pihak (saya sebut satu per satu, tentu juga keterikatan saya kepada Pak Akbar Tandjung).

Baca Juga :  Tak Ada Alasan, Penundaan Pemilu Akan Menjadi Skandal Politik dan Catatan Kelam Penganjurnya

Prof Yahya masih berupaya membujuk, penjelasan saya, saya ulangi lagi, untuk pada akhirnya beliau menyerah: bisa memahami kondisi saya.

Pembicaraan diakhiri. Prof Yahya pamit: terimakasih ya Mas Alfian. “Saya minta maaf Prof, sampai-sampai Prof Yahya yang berkunjung ke sini, mestinya saya yang sowan ke Prof …”

“Tidak mengapa,” katanya, “ini masalah teknis saja … lagi pula saya yang berkepentingan”.

Saya sebelumnya beberapa kali bertemu beliau di Univ Al Azhar Jkt, konsultasi disertasi. Beliau cuma mengecek bacaan bacaan saya: “Bacaanya sudah sangat lengkap ini. Sy justru ingin laporan dari Mas Alfian tentang perkembangan politik di Turki … saya akan lebih banyak mendengarkan” begitulah caranya melemparkan kembali masalah ke saya.

Prof Yahya wafat. Semoga almarhum mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Amin YRA. Lahul Fatihah …

Sumber :