Kahminasional.com, Jakarta – Akademisi Universitas Brawijaya (Unibraw), Aan Eko Widiarto, mengakui, Indonesia ke depannya membutuhkan birokrasi yang fleksibel. Namun, semestinya dilakukan dengan proses yang baik dan benar.
Demikian disampaikannya dalam Kajian Reboan #14 bertema “Reformasi Birokrasi; Harapan, Tantangan, dan Problematika Penyetaraan Jabatan Struktural dan Fungsional ASN”, Kamis (3/2).
“Ke depan, ya, memang diperlukan birokrasi yang fleksibel. Tapi, sekali lagi, harus dibuat secara matang,” katanya dalam diskusi yang digelar Lembaga Kajian Strategis MN KAHMI itu.
Baca juga: Koorpres KAHMI: Good Governance Harus Diwujudkan Secara Serius
“Kebijakan tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan. Jadi, tentunya bagaimana membangun birokrasi yang baik, yang bisa membangun suatu team work dan sebagainya,” imbuhnya.
Menurut Eko, reformasi birokrasi harus dilakukan sekalipun masih ada disparitas pengetahuan dan praktik pada masyarakat. Dicontohkannya dengan pemanfaatan teknologi informasi (TI).
“Masyarakat masih ada yang [mempraktikkan society] 1.0, 2.0, 3.0, beberapa 4.0, apalagi 5.0. Ini sebuah tantangan. Tapi sebagai sebuah gebrakan, memang harus dilakukan. Tidak mungkin kita harus tunggu karena zaman harus berubah,” bebernya.
Baca juga: Bupati Gowa soal Reformasi Birokrasi ala Jokowi: Sesuai Perkembangan Zaman
Apalagi, reformasi birokrasi juga mendorong pelayanan publik lebih inklusif. Pangkalnya, mulai menyasar kelompok-kelompok yang terpinggirkan, seperti masyarakat adat dan penyandang disabilitas.
“Jadi intinya, semua itu demi masa depan yang berubah. [Perubahan] ada pengaruh globalisasi, digitalisasi, milenialisasi. Semua untuk mencapai kesesuaian. Intinya, kan, kebahagian; bahasa undang-undang kita kesejahteran,” urainya.
Baca juga: Tiga Tahap Penyederhanaan Birokrasi Pemkab Gowa
Meskipun demikian, Koordinator Dewan Pakar Majelis Daerah KAHMI Kota Malang ini menilai, kebijakan perampingan birokrasi dan penyetaraan jabatan aparatur sipil negara (ASN) memunculkan beberapa problem.
Dicontohkannya dengan kebijakan tersebut awalnya tidak disertai alas hukum yang kuat. Konsep penyetaraan dalam Permenpan RB 28/2019 tidak dikenal dalam Peraturan Pemerintah (PP) 11/2017.
PP 11/2017 akhirnya direvisi menjadi PP 17/2020. Di dalamnya memuat tentang penyetaraan.
Baca juga: Ada Masalah Hukum dalam Kebijakan Penyetaraan Birokrasi Jokowi
Kemudian, nuansa politik masih kental. Imbasnya, kebijakan memperlunak syarat untuk mengisi sebuah jabatan berpotensi ditunggangi kepentingan tertentu.
“Itu bisa disalahgunakan untuk memuluskan orang-orang yang tidak punya kompetensi, tapi punya interest karena kedekatan emosional dan sebagainya. Itu bisa berbalik arah [dari tujuan awal],” ucapnya.
Lalu, seorang pejabat yang sejak awal mengisi jabatan administratif (JA) bakal mengalami sejumlah kendala ketika digeser menempati jabatan fungsional (JF).
“Kedua, struktur organisasi juga tidak siap sehingga JF rasa JA,” ucapnya.
Baca juga: Penyetaraan ASN, Pemkab Gowa Temukan Tiga Masalah
Eko mengungkapkan, hal tersebut dialaminya di Unibraw. Saat kebijakan penyetaraan diterapkan, tidak ada lagi posisi kepala bagian (kabag) atau induk organisasi.
“Siapa yang koordinir? Akhirnya kabag jadi kasubkoordinator. Jadi, ini masing turbulensi,” terangnya.
Selain itu, kerja sama pun sulit terbangun. Berikutnya, tidak memahami penilaian angka kredit (PAK) jabatan fungsional, apalagi sering kali ada penempatan yang tidak sesuai.