Kahminasional.com, Jakarta – Mandeknya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) berdampak terhadap peniadaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2022 dan 2023.
“Selain itu, rakyat sesungguhnya juga mengalami kebingung dengan format penyelenggaraan pemilu serentak pada 2024,” ucap Direktur Eksekutif Jakarta Monitoring Network (JMN), Ahmad Sulhy, dalam diskusi “Format Pemilu Serentak 2024” yang diadakan JMN di Jakarta, Rabu (22/12).
Partai politik (parpol), sambung dia, juga mengalami hal sama, terutama menyangkut rekruitmen saksi dan calon legislatif (caleg). Menurutnya, parpol harus bekerja ekstra karena diprediksi akan ada hingga tujuh kotak suara di setiap tempat pemungutan suara (TPS) nantinya.
“Artinya, sudah bisa dibayangkan saksi harus kuat dan tuntas menyelesaikan tugas bersaksinya hingga subuh,” tegasnya. Tujuh kotak suara masing-masing untuk pemilihan wali kota/bupati dan gubernur, DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta pemilihan presiden (pilpres).
Sulhy, yang juga mantan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jakarta Selatan (Jaksel) ini mengingatkan, Pemilu Serentak 2019 banyak memakan korban. Sedikitnya 894 petugas pemilu meninggal dunia dan 5.175 petugas lainnya yang jatuh sakit akibat beratnya beban kerja.
“Nah, apakah Istana dan Senayan telah merangkai strategi jitu agar Pemilu 2024 berjalan efektif, sehat, jurdil (jujur dan adil) serta partisipasi pemilih sadarnya melampaui 60%?” tanya dia.
Pada kesempatan sama, akademisi Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Amsori Bahrudinsyah, menilai, kampus tidak lagi sebatas mengajarkan teori politik dan demokrasi, tetapi melakukan kajian untuk menyederhanakan pelaksanaan pemilu.
“Karena di akar rumput masih ada lebih dari 65% rakyat yang hanya tamat SMP sehingga jangankan mengenal baik caleg dan capres (calon presiden) secara ide dan gagasan, untuk calon kepala desa saja banyak yang tidak mengenalnya dengan masif dan secara paripurna akibat faktor pokitik uang masih dominan,” tuturnya.
“Buat apa biaya ratusan triliun untuk penyiapan alat peraga media sosialisasi bagi KPU (Komisi Pemilihan Umum), tetapi tingkat partisipasi dan pemahaman pemilih masih jauh dari kata paham?” sambung mantan Ketua Umum HMI Cabang Jaksel ini.
Abin, sapaannya, menambahkan, perlu adanya penyederhanaan pemilu seperti zaman Orde Baru (Orba) yang hanya diikuti tiga parpol. Baginya, langkah tersebut efektif sehingga rakyat hanya memilih saat pileg dan tidak membutuhkan waktu yang panjang.
“[Sistem] itu bahkan tidak menimbulkan jatuhnya korban para petugas KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara) akibat kelelahan dalam proses pemungutan suara,” jelasnya.
Dirinya menerangkan, di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) saja tidak memberlakukan pemilu serentah. Negeri Paman Sam masih mengadopsi pemilihan terpisah antara pileg dan pilpres, termasuk pilkada.
“Justru menjadi rahasia umum soal latar belakang capres, cagub (calon gubernur), dan cawalkot (calon wali kota) di negara maju tetap tidak terelakkan yang di Indonesia dinyatakan masuk katagori rasis serta dikenal politik identitas. Jangan lebaylah,” kritiknya.
Sementara itu, Ketua KPU Jakarta Timur (Jaktim), Wage Wardana, menyatakan, sudah dapat dibayangkan ruwetnya persiapan akan terjadi lagi dalam menghadapi Pemilu 2024. Dicontohkannya dengan biaya penyimpanan alat pereagam sebelum dan setelah “pesta demokrasi” dilaksanakan.
“[Penyimpanan alat peraga] membutuhkan gudang yang banyak dan besar luasannya. Karena gudang yang dulu Pemprov DKI bantu memfasilitasi seperti rusun yang masih kosong, kini telah ada penghuninya full. Begitupun kendala lain, termasuk sosialisasi dengan SDM terbatas, namun cakupan wilayah yang luas,” ungkapnya.
Meskipun demikian, Wage mengklaim, KPU pusat hingga daerah siap melaksanakan pemilu sesuai aturan berlaku. Pengalaman pada 2019 disebut menjadi pelajaran.
“Untuk mengantisipasi persoalan waktu dalam proses di hari pemungutan suara, KPU telah menyiapkan perangkat Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) yang telah dimulai dalam pelaksanaan Pilkada 2020 lalu. Namun, penggunaan Sirekap hanya sebatas untuk membantu percepatan kerja KPU dan memublikasikan hasil penghitungan suara. Jadi, masih terus dicari efektivitas dan aman dalam kerja-kerja petugas level TPS hingga KPU,” urainya.