Kahminasional.com, Jakarta – Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi, menilai, transformasi digital dalam tata kelola sumber daya pertanahan menjadi kebutuhan dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Alasannya, dapat memecahkan citra birokrasi yang lambat, berbelit-belit, dan tidak transparan dalam pengurusan dan penyelesaian masalah pertanahan karena transformasi digital mengandaikan kecepatan dan keterbukaan dalam cara kerjanya.
“Proses transformasi digital membutuhkan kesiapan SDM dan edukasi bagi masyarakat secara luas. Ada pengetahuan dan kecakapan baru yang harus ditansformasikan kepada masyarakat,” ujarnya dalam webinar Kajian Rutin Reboan Lembaga Kajian Strategis Majelis Nasional KAHMI bertema “Transformasi Digital Tata Kelola Sumber Daya Pertanahan (Berantas Mafia Tanah dan Akhiri Tumpang Tindih Lahan)” pada Rabu (17/11).
Senator asal Aceh ini menambahkan, Komite I DPD mendapati banyak konflik agraria di daerah. Konflik tanah adat/ulayat, tapal batas, antara masyarakat dengan badan hukum, serta terkait tata ruang, contohnya.
Alumnus FISIP Universitas Indonesia (UI) itu berkeyakinan, program sertifikasi tanah untuk legalitas hukum atas bidang tanah menjadi salah satu upaya mengurangi sengketa dan konflik pertanahan, termasuk dalam investasi dunia usaha. Agar optimal, menurutnya, pelaksanaan program tersebut harus dibarengi pemberantasan mafia tanah.
“Mafia tanah tidak bisa bekerja apabila tidak ada kerja sama dengan orang dalam yang menerbitkan sertifikat tanah. Pembersihan ke dalam menjadi kebutuhan,” tegasnya.
DPD, terang Fachrul, telah banyak memberikan rekomendasi tentang persoalan tanah, kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pertama, mempercepat proses penataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui penataan aset dan akses dengan memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat.
Kemudian, memberantas mafia pertanahan dan segera menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di daerah dengan melibatkan pemerintah daerah (pemda).
Selanjutnya, mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat yang masih hidup di Indonesia.