in

Akademisi IPB: Food Estate Program Sesat Pikir

Wakil Kepala LPPM IPB University, Sofyan Sjaf. Tangkapan layar akun YouTube KAHMI Nasional

Setidaknya ada 7 faktor kegagalan dan 6 akar masalah Indonesia tidak juga dapat mewujudkan kedaulatan pangannya.

Wakil Kepala LPPM IPB University, Sofyan Sjaf, menyatakan, program food estate (lumbung pangan) yang dicetuskan pemerintah adalah sesat pikir. Dicontohkannya dengan pengalaman-pengalaman yang pernah dilakukan sejak era Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada 1996, misalnya, di mana pemerintah menggas program food estate di lahan gambut di Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan target 1.457.100 ha. Namun, hanya berhasil membuka 48.000 ha lahan.

“Kalau kita lihat, 4.000 (ha) areal yang dibuka ini tidak efektif juga sekarang di Kalimantan,” katanya dalam webinar Reboan bertema “Food Estate; Mewujudkan Ketahanan Pangan untuk Kesejahteraan Petani dan Nelayan” yang diadakan Lembaga Kajian Strategis MN KAHMI secara hibrida, Rabu (20/10).

Pun begitu dengan proyek-proyek berikutnya, seperti hanya mampu membuka 1.024 ha dari target 298.221 ha di Bulungan, Kalimantan Timur (Kaltim), pada 2011 dan yang berhasil hanya 5 ha; lalu cuma merealisasikan 400 ha dari target 1,23 juta ha di Merauke, Papua, pada 2013, padahal dijalankan oleh korporasi bukan rakyat; serta hanya 104 ha yang berjalan berkelanjutan dari 100.000-an ha yang berhasil dibuka dari target 886.956 ha di Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar), pada 2013.

“Cukup sudah kita belajar dari pengalaman-pengalaman yang ada,” ucap Sofyan. “Kalau kita belajar dari sejarah yang ada, kalau kita tidak perbaiki ke depannya, saya kira, kita membuat kecelakaan sejarah lagi.”

Dirinya melanjutkan, ada empat momentum untuk menggeliatkan membangun kedaulatan pangan sebelum pandemi Covid-19. Disebut momentum karena pertumbuhan ekonomi ditopang sektor agromaritim dengan pertumbuhan positif. Namun, semuanya tidak dimanfaatkan dengan baik.

Momentum pertama berkaitan dengan pidato Presiden pertama RI, Soekarno, tentang pangan rakyat pada 1952. “Dengan jelas Bung Karno mengatakan dan menyerukan kepada pemuda-pemudi untuk menggeluti sektor pertanian dan menata pangan. Mengapa demikian? Karena sektor pangan inilah yang akan merespons bencana suatu saat,” jelasnya.

Kedua, kebijakan Revolusi Hijau tahun 1970-an pada rezim Orde Baru (Orba) di bawah Soeharto. Kala itu, terjadi homogenisasi pendekatan melalui proses pertanian sehingga tercapai swasembada pangan, tetapi petani hanya menjadi objek pembangunan. Dengan demikian, modernisasi tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk tumbuh dan berkembang.

Baca Juga :  Rakornas IV KAHMI Hasilkan Dua Rekomendasi Strategis

Momentum selanjutnya adalah agribisnis pada era reformasi ’98 dan agribisnis kerakyataan yang digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lagi-lagi tidak dimanfaatkan dengan baik. Sekalipun modernisasi pertanian masih menjadi “roh”, tetapi perbedaan hulu hingga hilirnya diperkuat dengan mengarusutamakan padat modal, subsidi barang, dan investasi korporasi.

“Ya, memang kita melihat efisiensi menjadi core, kemudian membuka rezim perdagangan masuk jauh dari semanagt the people driven approach. Ini kemudian menjadi kesejahteraan petani tidak tercipta, ketimpangan masih tinggi. Yang kami potret saat Covid ini, Indonesia dalam ketimpangan di desa 0,39 sampai 0,41. ini berbahaya,” tegasnya.

Faktor Kegagalan

Menurut Presidium Majelis Wilayah (MW) KAHMI Jawa Barat (Jabar) itu, kegagalan Indonesia membangunan kedaulatan pangan tersebut disebabkan beberapa faktor. Pertama, desa sebagai lokus produksi pangan karena 73,14% penduduk menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dan 15,11% di desa pesisir dari perikanan/kelautan tidak pernah dikelola dengan baik oleh pemerintah.

“Sebaliknya, fakta impor pangan tidak pernah berhenti. Akibatnya, desa-desa tersebut identik dengan ketertinggalan dan kantong kemiskinan. Sederhananya, kalau kita ingin menyelesaikan kemiskinan dan ketertinggalan, maka perbaiki desa yang kemudian desa tersebut basisnya pertanian dan perikanan,” sarannya.

Kemudian, tenaga kerja muda dan produktif tidak tertarik lagi dengan pertanian sehingga memilih bermigrasi ke kota. Tidak heran jika kemudian ada generasi yang hilang (lost generation), di mana 61,8% petani hari ini di atas 45 tahun dan 12,2% lainnya di bawah 35 tahun. “Artinya, bonus demografi tidak kita manfaatkn untuk membangun kekuataan untuk bangun desa,” katanya.

Ketiga, terjadi pelemahan objek maupun subjek pangan. Keempat, mandegnya kebaruan pendekatan dalam pembangunan pertanian di pedesaan. Kelima, alokasi penggunaan dana desa tidak tepat sasaran dalam mengembangkan potensi desa.

“Desa selalu dijadikan kekuatan, tapi desa tidak pernah diberikan kemerdekaan dalam merumuskan kebijakan pembangunannya sehingga yang terjadi tidak memiliki daya membangkitkan ekonomi pedesaan,” ucapnya.

Baca Juga :  Gubernur Kepri Harap KAHMI-FORHATI Jadi Perekat Kebinekaan

Selanjutnya, lanjutnya, kelembagaan ekonomi rakyat dipedesaan, seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), tidak diorientasikan dan berfungsi untuk mengonsolidasikan kekuatan ekonomi pedesaan. Ia dibiarkan begitu saja tanpa rumusan kebijakan yang tepat.

Terakhir, tidak adanya data desa secara presisi yang kemudian dijadikan sebagai basis perencanaan dan implementasi. Imbasnya, terjadi kegagalan dan konflik kepentingan elite yang sangat besar.

Akar Masalah

Sofyan berpendapat, kegagalan tersebut disebabkan beberapa akar masalah. Pertama, dominasi orientasi pemenuhan kebutuhan pangan melalui rezim perdagangan dibandingkan produksi berbasis lokal melalui pemberdayaan. “Ini yang saya lihat,” ujar Sekretaris Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICWI) Korwilsus Bogor itu.

Lalu, adanya komodifikasi pangan, disorientasi kbijakan, lemahnya politik pangan, dan kepemimpinan yang tidak berkarakter. Ketiga, terjadi ketidakberdayaan desa lantara hak rekognisi dan subsidiritas dijalankan setengah hati, yang mengakibatkan terhambatnya laju pembangunan pertanian dan pedesaan.

Keempat, data tidak terkelola dengan baik. Kelima, adanya problem pola pikir generasi muda “terserap pasar” bukan “menciptakan pasar”. Pemungkas, lemahnya sumber daya di sektor pertanian dan pedesaan.

Karenanya, Sofyan berpendapat, pandemi Covid-19 dapat menjadi momentum membangun kedaulatan pangan. Caranya, dengan mengembangkan desa-desa sebagai pendekatan alternatif. “Tidak perlu lagi kita buka pendekatan-pendekatan yang tidak sesuai dengan struktur masyarakat kita,” ujarnya.

Disarankannya membangun kesadaran produk pangan lokal sebagai faktor pertama dalam membangun kedaulatan pangan dari desa. Hal tersebut dinilainya penting saat terjadi deglobalisasi sebagaimana pengalamaan saat pandemi.

“Seandainya kesadaran ini didorong, bahwa local food production menjadi penting, maka setidaknya kita bisa mempelajari secara mikro bagaimana kontestasi pangan yang terjadi dan tata ruang pembangunan tidak terjadi dengan baik,” tuturnya.

Sofyan lalu merujuk hasil penelitiannya, di mana estimasi uang berputar pada aktor pangan untuk 45 komoditas sebesar Rp4,13 miliar per bulan di Jawa dan Bali serta Rp300 juta-Rp2 miliar per bulan di luar Jawa dan Bali. Untuk komoditas beras saja sebesar Rp828 juta per bulan untuk desa-desa di Jawa-Bali.

“Tapi problemnya yang kemudian terjadi, ini kondisi kasus satu contoh di desa Bogor, Cikarawang, konsolidasi komoditas tidak jalan, padahal seharusnya tadi, seharusnya dalam kerangka konsolidasi pangan dilakukan konsolidasi sesuai skala. Ini adalah wujud tidak hadirnya negara dalam mendorong konsolidasi lahan. Bayangkan, satu desa terdapat 23 komodits pertanian dan tidak terkonsolidasi. Seharusnya di sini bisa kita terapkan 2-3 komoditas (difokuskan) untuk mendorong kedaulatan pangan,” paparnya.

Baca Juga :  Koorpres Mau Kader KAHMI Jadi Pemimpin Masa Depan Indonesia

Selain membangun kesadaran, dia mendorong tata kelola pembangunan pertanian berorientasi kedaulatan pangan melalui kebijakan dan pengelolaan akses petani terhadap input produksi, kemudian penguatan kelembagaan produksi dan pascaproduksi, serta menggencearkan inovasi pengembangan riset pertanian.

Berikutnya, melakukan tiga bentuk pengorganisasian. Pertama, pengorganisasian sosial guna mencetak para inovator. Teknologi dan inovasi yang dilahirkan kampus disarankan bisa dimanfaatkan untuk menghidupkan BUMDes serta membangun produksi dan sarana produksi secara masif.

Kedua, pengorganisasi ekonomi dan produksi dari hulu, produksi, sehingga menjadi kekuatan sociopreneur. Terakhir, pengorganisasi karakter guna memperkuat norma-norma, seperti totalitas, integritas, dedikasi, dan loyalitas.

Upaya berikut dalam membangun kedaulatan pangan dari desa adalah mencetak aktivis desa. “Sudah saatnya orang-orang cerdas ‘kepung desa’, optimalisasi dalam rangka dorong potensi pangan,” serunya.

Kelima, berorientasi ke pertanian presisi. Keenam, membangun sekolah vokasi pembaruan pertanian dan desa.

Sofyan berharap, KAHMI ke depannya dapat membangun agriculture estate, yang berorientasi pada keberlanjutan produksi; membangun kewirausahaan sosial (orientasi bisnis); mendorong rumah tangga petani melalui BUMDes (basis produksi); kolektivisme sebagai pola organisasi kerja; hak guna usaha (HGU), komunal, dan private sebagai pola penguasaan lahan; transaksi produksi dengan mengedepankan berbagi keuntungan; memanfaatkan investasi komunitas/lokal ataupun negara selaku sumber modal produksi; serta agroekologi sebagai etika produksi.

“Yang kedua, menggerakkan BUMDes/BUMDes bersama sebagai penggerak ekonomi desa. Kita jadikan BUMDes sebagai produksi dan pengelolaan dan temukan dengan pasar sehingga margin cost lebih rendah. Dengan demikian, tentunya bagaimana kerja sama yang sama rata, tidak didominasi corporate,” urainya.

“Ketiga, kita perlu pemberdayaan, inovasi, dan solidaritas sebagai kekuatan ekonomi desa. Isu-isu inilah kemudian perlu dilakukan ke depan,” tutup Sofyan.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.

Tinggalkan Balasan